Pengendalian Populasi Ayam Jadi Andalan Stabilkan Harga
Pelaku industri perunggasan nasional masih menghadapi problem klasik ketidakseimbangan suplai dan permintaan. Padahal, situasi itu berulang menekan usaha di hulu. Pengendalian populasi menjadi andalan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Problem klasik ketidakseimbangan antara produksi dan kebutuhan daging dan telur ayam ras masih terjadi dan berpotensi menekan peternak sebagai pelaku di hulu. Pengaturan ketat mesti dimulai sejak penyediaan indukan dengan mempertimbangkan keseimbangan penawaran dan permintaan guna mengefisienkan produksi, sekaligus menjaga stabilitas harga.
Selama periode Ramadhan dan Lebaran tahun ini, misalnya, potensi surplus dan defisit berpeluang terjadi. Kementerian Pertanian mencatat, produksi daging ayam ras selama April 2021 mencapai 336.311 ton, sementara kebutuhannya diperkirakan 266.536 ton. Artinya, ada potensi surplus 69.775 ton.
Surplus daging ayam juga berpeluang terjadi pada Mei 2021. Sebab, suplainya mencapai 341.359 ton, sementara kebutuhannya 288.237 ton. Sementara neraca telur ayam surplus 3.932 ton di April 2021, tetapi defisit 23.780 ton pada Mei 2021.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Singgih Januratmoko menyatakan, dalam rangka mengantisipasi tekanan harga akibat surplus daging ayam sesudah Lebaran, pengurangan telur siap tetas (hatchery eggs) menjadi pilihan. ”Begitu Lebaran usai, daya beli masyarakat akan turun. Pengurangan (telur siap tetas) diperkirakan mencapai 41 juta butir,” katanya saat dihubungi, Jumat (23/4/2021).
Saat ini, lanjut Singgih, harga daging ayam di tingkat peternak berkisar Rp 19.500 per kilogram (kg) hingga Rp 20.000 per kg. Harga telur ayam cenderung sama. Dengan demikian, para peternak ayam petelur dan pedaging tengah menanggung rugi. Sebab, ongkos produksinya lebih tinggi dari rentang harga tersebut, terutama karena kenaikan harga pakan dan upah tenaga kerja.
Dalam beberapa bulan terakhir, para peternak dan pelaku industri pakan mengeluhkan naiknya harga jagung, komponen utama yang dominan dalam pakan unggas. Harga jagung berangsur naik dari Rp 4.600 per kg pada Januari 2021 dan kini mencapai Rp 5.300 per kg. Di sejumlah lokasi, seperti di Jawa Barat, harga jagung dilaporkan lebih dari Rp 5.500 per kg.
Surplus produksi di tengah kenaikan ongkos produksi menjadi beban ganda bagi peternak. Sebab, ketika harus menanggung ongkos produksi yang lebih tinggi, mereka mesti menghadapi risiko tekanan harga jual karena suplai berlebih.
Solusi hulu-hilir
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, saat diskusi publik ”Menakar Solusi Industri Perunggasan” di Jakarta, Kamis (22/4/2021), menyatakan, industri strategis yang menggerakkan usaha rakyat skala kecil hingga besar itu masih menyimpan sederet problem yang membutuhkan solusi terintegrasi hulu-hilir. Problem itu, antara lain, terkait ketidakseimbangan suplai-permintaan, ketidakstabilan pakan, daya saing produk, dan ketersediaan data yang akurat.
Soal ketidakseimbangan penawaran-permintaan, kata Enny, penyediaan bibit ayam mesti mempertimbangkan keseimbangan permintaan akhir. Pengaturan impor calon indukan pun mesti mempertimbangkan sejumlah faktor, seperti jumlah investasi rumah pemotongan dan gudang pendingin, banyaknya mitra peternak rakyat, jumlah ekspor, kepatuhan terhadap program pemerintah, dan fasilitas kandang.
Soal ketidakstabilan pakan, pemerintah dinilai perlu mengoptimalkan produksi jagung guna memastikan ketersediaan bahan baku. Sumber protein bahan pakan lain yang tersedia di dalam negeri juga perlu dimaksimalkan untuk mengurangi ketergantungan pada jagung dan bahan lain yang masih diimpor Indonesia.
Pemerintah berupaya menjaga keseimbangan produksi.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah menambahkan, pemerintah berupaya menjaga keseimbangan produksi. Tujuannya, memastikan ketersediaannya di tingkat konsumen, sekaligus menjaga harga di tingkat peternak tetap layak.
Upaya stabilisasi ditempuh dengan mengendalikan produksi bibit. Menurut Nasrullah, ada korelasi positif antara pengendalian bibit ayam dan perkembangan harga jual ayam hidup di tingkat peternak.
Terkait potensi defisit telur ayam pada Mei 2021, Singgih memperkirakan, peternak berupaya mengantisipasinya dengan menunda afkir dini. ”Saat ini, peternak ayam layer sedang menunda afkir (ayam petelur) hingga usia 100-120 minggu karena harga bibit ayam yang mahal. Penundaan afkir tersebut dapat memperbanyak populasi. Biasanya, afkir terjadi pada usia 90 minggu,” ujarnya.