Nurita Batik, Tonjolkan Motif Flora Batik Pasuruan
Tak mudah bagi perajin batik baru untuk bertahan di tengah persaingan antarsesama perajin atau dengan kain batik pabrikan yang harganya jauh lebih terjangkau. Namun, Nurita bertahan dan berkembang dengan kekhasannya.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Tidak mudah bagi perajin batik baru untuk bertahan di tengah persaingan antarperajin atau dengan kain batik pabrikan yang harganya lebih terjangkau. Dari segelintir orang yang mampu bertahan, Nurita Iza Rosdiany (54) salah satunya.
Di bawah bendera Nurita Batik di Desa Angkringmalang, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, usaha Nurita tetap eksis dengan menonjolkan motif yang menjadi kekayaan alam setempat. Meski tidak alergi terhadap motif lain, dia lebih memilih flora, seperti krisan atau seruni (Chrysanthemum) dan sedap malam (Polianthes tuberosa), sebagai pilihan.
Sebagaimana daerah lain di pesisir utara Pulau Jawa, batik Pasuruan berkembang sejak lama dengan corak lebih terang dibandingkan dengan batik-batik pedalaman. Motif batik Pasuruan banyak terinspirasi dari alam hingga epos perjuangan masyarakat setempat.
”Motif macam-macam, tetapi desain khusus motif di tempat saya adalah krisan dan sedap malam. Bagaimanapun motif menjadi pembeda, ciri khas antara perajin di satu daerah dan daerah lainnya,” ujarnya, Kamis (3/12/2020).
Nurita meyakini kekhususan motif menjadi modal untuk bisa bertahan di tengah kuatnya persaingan. Dengan harga Rp 150.000-Rp 500.000 per lembar kain untuk teknik cap dan kombinasi serta Rp 1 juta untuk batik tulis, sejauh ini Nurita baru bisa memenuhi pasar lokal.
Dua sistem penjualan, yakni daring dan luring, ditempuh untuk meraih pasar lebih luas. ”Kalau sistem online, saya baru menggunakannya. Saya juga sering update status di media sosial,” ujarnya.
Ia mengakui kondisi pandemi Covid-19 yang belum kunjung reda menjadi salah satu hambatan yang harus dihadapi usaha kecil menengah batik seperti dirinya. Hal itu tidak hanya terjadi di Pasuruan, tetapi juga daerah lain.
”Selama pandemi, pesanan lebih banyak ke seragam instansi. Kalau dulu, seragam juga banyak. Ada juga beberapa teman dari luar daerah yang ambil. Saat ini mereka masih ambil, tetapi jumlahnya berkurang,” tutur Nurita.
Nurita memulai usaha batik sejak enam tahun lalu. Berawal dari sebuah ajang lomba desain batik dalam rangka hari jadi Kabupaten Pasuruan tahun 2013. Karena tidak ada perajin, lomba hanya diikuti empat peserta, dua pebatik dan lainnya pembordir. Adapun Nurita mendapat undangan ikut ajang itu mewakili organisasi Aisyiyah Kabupaten Pasuruan.
Saat itulah tebersit keinginan dari Nurita untuk membuat batik. Gayung bersambut, pada akhir 2013 ada sebuah perusahaan yang menawarkan program tanggung jawab sosial (CSR) batik. Batik dipilih sebagai CSR karena berpotensi besar, tetapi belum banyak perajin batik baru di kawasan itu.
Nurita bersama belasan warga pun ikut dalam program tersebut. Dia harus belajar dari nol, mulai dari membuat desain hingga menorehkan malam. Hasilnya jauh dari kata memuaskan. Berlepotan di sana-sini.
Karena hasilnya tidak maksimal, anggota CSR yang lain merasa kurang puas terhadap karya masing-masing. Melihat hal itu, Nurita kemudian membeli batik buatan kawan-kawannya dengan harga Rp 100.000 per lembar. Oleh Nurita, batik yang ia beli kemudian dipermak lagi dengan menambahkan motif dan warna.
”Batik buatan teman-teman saya beli dan simpan. Hingga suatu ketika ada pameran, batik-batik simpanan dan sudah dipermak itu saya pamerkan. Saya percaya diri saja, nekat. Hasilnya lumayan, ternyata batik-batik itu laku,” kata Nurita yang mengaku, dari 16 peserta CSR, kini tinggal dua orang yang masih bertahan, salah satunya dirinya. Peserta lainnya memilih menjadi karyawan di tempatnya.
Ikut CSR dan beberapa bulan berkutat dengan batik rupanya tidak serta-merta membuat usaha Nurita langsung berkibar. Penjualan belum semudah sekarang, cara daring belum masif kala itu. Alhasil dia lebih banyak mengandalkan ajang pameran. Kondisi ini berbuntut pada kontinuitas produksi.
Hingga akhirnya, pada akhir 2014, ada pendampingan dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Malang. Selain modal, Nurita juga mendapat pelatihan membuat desain, pewarnaan, hingga pemasaran. Setelah itu, produksinya mulai berkesinambungan.
Kini, Nurita tak hanya mengembangkan batik produksinya, tetapi juga berbagi ilmu kepada orang lain. Sejak 2018 dia mengajari orang lain membatik di balai latihan kerja kabupaten dan Provinsi Jawa Timur.
”Awalnya di Aisyiyah ada program pemberdayaan perempuan. Ada pelatihan. Saya nekat, wis tak latih batik saja. Meski ilmu saya masih sedikit, nyanting juga masih jelek, pewarnaan belum bisa, ilmu yang saya dapat saya ajarkan,” katanya.