Transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan menjadi ancaman bagi sektor tambang batubara. Beberapa perusahaan mulai beradaptasi mengantisipasi risiko bisnis di masa mendatang.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Beberapa perusahaan di Indonesia yang bisnis utamanya adalah energi fosil, seperti tambang batubara atau minyak dan gas bumi, mulai melirik bisnis energi bersih dan terbarukan. Mereka seakan beradaptasi dengan situasi baru di mana seruan meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan semakin kencang. Beberapa menyebutkan langkah ini adalah strategi perusahaan agar bisa berumur panjang.
Sebut saja, misalnya, PT Bukit Asam Tbk yang tampaknya mulai serius dengan proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Perusahan yang puluhan tahun riwayatnya menambang batubara ini sudah membangun PLTS di area Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, dengan kapasitas 240 kilowatt peak (kWp). Proyek yang menggandeng PT Angkasa Pura II (Persero) dan PT Len Industri (Persero) telah beroperasi komersial pada Oktober 2020.
Dalam skala lebih besar, Bukit Asam tengah mematangkan proyek PLTS berkapasitas 200 megawatt (MW). Lokasi PLTS tersebut akan mengambil area bekas tambang batubara perusahaan di wilayah Sumatera Selatan. Proyek tersebut dijadwalkan bisa beroperasi pada 2022 dan saat ini sedang dalam tahap negosiasi dengan PLN terkait jual beli tenaga listriknya.
Hal serupa dilakukan PT Indika Energy Tbk yang bisnis utamanya juga dari tambang batubara. Lewat anak usahanya, PT Kideco Jaya Agung, Indika telah menuntaskan pembangunan PLTS berkapasitas 409 kWp di Kalimantan Selatan pada Maret 2021. Proyek ini oleh perusahaan dinyatakan sebagai salah satu bentuk diversifikasi usaha.
Dalam skala lebih besar, Bukit Asam tengah mematangkan proyek PLTS berkapasitas 200 MW. Lokasi PLTS tersebut akan mengambil area bekas tambang batubara perusahaan di wilayah Sumatera Selatan.
Pada awal Maret lalu, Indika mengumumkan kemitraan dengan Fourth Partner Energy, sebuah perusahaan pengembang tenaga surya dari India. Keduanya mendirikan perusahaan patungan bernama PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS). EMITS menargetkan pembangunan PLTS dengan kapasitas hingga berkapasitas 550 MW di sejumlah negara, terutama di Asia Tenggara.
Yang terbaru adalah salah satu raksasa tambang batubara Indonesia, yakni PT Adaro Energy Tbk, yang produksi batubara tahunannya mencapai lebih dari 50 juta ton. Adaro seakan mengikut jejak tren bisnis energi bersih dan terbarukan. Perusahaan ini telah menetapkan pilar bisnis baru bernama Adaro Green Inisiatif.
Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir menyatakan bahwa strategi tersebut merupakan bagian transformasi jangka panjang perusahaan untuk mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim di Indonesia. Beberapa bidang yang sedang dikaji adalah pengembangan biomassa dari pelet kayu, tenaga hidro, dan tenaga surya. Pelet kayu yang dikembangkan nantinya adalah untuk campuran batubara sebagai bahan baku pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Adalah wajar ketika perusahaan-perusahaan tambang batubara tersebut mulai melirik pengembangan energi yang lebih bersih dan terbarukan. Dalam kurun beberapa tahun terakhir, seruan untuk menghentikan pemakaian batubara kian keras di seluruh dunia. Batubara dianggap sebagai biang keladi penghasil emisi gas rumah kaca lewat pengoperasian PLTU.
Adaro seakan mengikut jejak tren bisnis energi bersih dan terbarukan. Perusahaan ini telah menetapkan pilar bisnis baru bernama Adaro Green Inisiatif.
Sejumlah lembaga pembiayaan pun menarik dukungan terhadap proyek-proyek pembangunan PLTU. Sebagian perbankan pun demikian. Mereka menolak memberikan kredit untuk proyek pembangunan PLTU baru. Tentu ini bukan kabar bagus bagi pebisnis tambang batubara dan pemilik proyek PLTU di seluruh dunia.
Bagi Indonesia, hal ini bisa menjadi masalah serius nantinya. Pasalnya, sekitar 65 persen sumber energi primer pembangkit listrik di Indonesia datang dari batubara. Suka atau tidak suka, Pemerintah Indonesia harus segera memikirkan prospek pembangunan PLTU di masa mendatang. Dan pilihannya hanya satu, yaitu menggunakan bahan bakar bersih dan berkelanjutan.
Tentu batubara tidak akan menghilang begitu saja sebagai sumber energi primer dalam waktu dekat. Kajian McKinsey & Company Indonesia menyebutkan, batubara masih bakal dominan sebagai sumber energi primer di Indonesia setidaknya dalam kurun 10-15 tahun ke depan. Apalagi, Indonesia masih terikat kontrak dengan pengembang PLTU yang dalam tahap konstruksi dan memiliki masa operasi sedikitnya 20 tahun.
Akan tetapi, Pemerintah Indonesia pun sebaiknya mulai menetapkan visi baru pengelolaan energi. Saat ini adalah eranya energi bersih dan terbarukan. Potensi dan sumber daya energi terbarukan di Indonesia yang mencapai lebih dari 400.000 MW menunggu dioptimalkan. Tidak cukup hanya 10.400 MW yang baru termanfaatkan saat ini.