Asosiasi Asuransi Jiwa Sepakat Regulasi Harus Lindungi Keseimbangan Investasi
Secara garis besar asosiasi asuransi jiwa mendukung adanya pengaturan bagi unitlink. Sebab, kontribusi penjualan terkait produk ini relatif besar terhadap pendapatan premi perusahaan asuransi jiwa.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia sepakat bahwa regulasi terkait instrumen investasi pada produk asuransi berkait investasi diperlukan. Namun, otoritas dinilai tetap perlu memberikan keleluasaan bagi pelaku industri untuk menghindari potensi kerugian yang ujungnya tetap akan ditanggung oleh nasabah.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan, secara garis besar asosiasi mendukung pengaturan unitlink mengingat besarnya kontribusi penjualan produk ini terhadap pendapatan premi perusahaan asuransi jiwa.
Menurut dia, regulasi perlu diarahkan untuk mendukung kinerja industri sekaligus memastikan tata kelola yang baik. Keberadaan regulasi menjadi penting karena investasi adalah alat bagi industri asuransi dalam memenuhi liabilitas dan meraih profitabilitas.
”Industri ini berinvestasi di pasar modal sekitar Rp 300 triliun sehingga perlu dicari jalan tengah supaya bisnis tetap jalan dan regulasi menjaga agar investasi tidak sembarangan,” kata Togar saat dihubungi Sabtu (24/4/2021).
Industri asuransi jiwa berinvestasi di pasar modal sekitar Rp 300 triliun sehingga perlu dicari jalan tengah supaya bisnis tetap jalan dan regulasi menjaga agar investasi tidak sembarangan.
Akan tetapi, lanjut Togar, perusahaan anggota AAJI juga sepakat bahwa regulasi terkait produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) yang tengah disiapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jangan sampai malah mengekang kinerja industri.
”Sekarang kalau ditentukan investasi harus di LQ45, lalu ternyata kinerjanya imbal hasil terus turun, industri harus berbuat apa? Saya berharap aturan yang ada harus memberi keleluasaan bagi industri untuk berinvestasi. Leluasa di sini bukan berarti serampangan,” ujarnya.
Sebelumnya, OJK berencana segera menuntaskan pembahasan rencana pembatasan pemasaran dan pengaturan investasi produk asuransi berkait investasi (PAYDI) atau unitlink. Pengetatan sejalan dengan lonjakan aduan masyarakat yang merasa dirugikan produk asuransi berbasis investasi.
Paydi merupakan produk asuransi yang dikombinasikan dengan produk investasi. Premi yang dibayarkan pemegang polis sebagian digunakan untuk proteksi, sebagian lagi disisihkan untuk investasi. Instrumen yang digunakan perusahaan asuransi untuk berinvestasi bermacam-macam, mulai dari saham, surat berharga negara, hingga obligasi swasta.
Dengan demikian, selain klaim, nasabah berpotensi mendapatkan dana dari hasil investasi saat polis berakhir. Hal ini berbeda dengan produksi asuransi murni yang tidak menawarkan manfaat lain selain klaim.
Togar memastikan seluruh perusahaan asuransi jiwa di bawah naungan AAJI telah memiliki komite manajemen risiko serta komite investasi sesuai amanat OJK. Komite-komite ini berfungsi untuk memastikan pelaksanaan investasi unit-link dapat berjalan lebih baik.
Ia pun tidak menampik bila jumlah aduan masyarakat kepada OJK terkait produk PAYDI terus meningkat. Meningkatnya aduan, menurut dia, karena penurunan hasil investasi dari produk PAYDI. Situasi ini terjadi tidak luput dari anjloknya pasar saham sepanjang tahun 2020 kemarin karena sentimen pandemi Covid-19.
”Perusahaan asuransi jiwa swasta sudah melakukan penghitungan dan analisis terkait instrumen saham karena mereka perlu juga menyesuaikan dengan kewajiban atas asuransi jiwa yang kebanyakan juga jangka panjang,” ujar Togar.
Berdasarkan catatan OJK, pada 2019 terdapat 360 aduan masyarakat terkait produk PAYDI. Jumlah aduan meningkat pada 2020 menjadi 593 laporan. Adapun tahun ini hingga awal April 2021 sudah terdapat 273 pengaduan masyarakat terkait produk PAYDI.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank 2A OJK Ahmad Nasrullah mengatakan, penggodokan aturan terkait pengelolaan investasi pada Paydi diperkirakan tuntas pada triwulan II-2021. Untuk saat ini, pembatasan itu masih dibahas, apakah akan bersifat kuantitatif, kualitatif, atau keduanya, dengan tujuan utama menjadi jalan tengah dalam menjaga nasabah dan kinerja industri.
Kesadaran rendah
Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK Agus Fajri Zam mengatakan, dari sisi nasabah, tingkat kesadaran maupun pengetahuan mereka terkait risiko dari produk PAYDI masih cukup rendah. Sementara dari sisi perusahaan, kebanyakan masalah timbul akibat penawaran produk yang kurang memiliki transparansi.
”Dari hasil pemetaan OJK, karena proses pemasaran lebih menekankan bonus pemasukan untuk agen, para agen tidak mengungkap histori kinerja dari produk dan selalu menjamin kepastian bahwa nasabah bakal mendapat profit,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Bidang Aktuaria dan Manajemen Risiko Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Fauzi Arfan telah mengungkapkan bahwa asosiasi telah menerima sejumlah poin dari rancangan aturan terkait PAYDI.
Pembatasan pertama terkait penempatan investasi pada pihak yang terafiliasi dengan perusahaan. Dalam rancangan pembatasan tersebut, semua jenis investasi hanya diperbolehkan maksimal 10 persen dari aset setiap subdana, kecuali afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah.
Sementara pembatasan kedua terkait penempatan investasi di satu pihak maksimal 15 persen dari aset setiap subdana, tetapi dikecualikan bagi deposito bank umum dan investasi di surat berharga negara (SBN).
Adapun pembatasan ketiga, dalam pemilihan surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN), OJK akan mengatur penempatan dana hanya di instrumen MTN dengan rating paling rendah idAA.