Transaksi di Atas Tanah HGB Mesti Melindungi Publik
Perlu ada aturan tegas dalam praktik jual beli bangunan dan/atau unit pada bangunan di atas HGB yang mewajibkan penjual memberikan pemahaman terlebih dahulu kepada pembeli perihal batas waktu HGB dan konsekuensinya.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hak guna bangunan memiliki batasan jangka waktu pemberian dan perpanjangan. Terkait hal tersebut, perlu ada pengaturan tegas praktik jual beli bangunan dan/atau unit bangunan yang berdiri di atas tanah hak guna bangunan. Langkah ini dibutuhkan demi melindungi publik.
Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri (Raperman) tentang Hak Atas Tanah sebagai bagian dari aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Draf aturan itu, antara lain, mengatur hak guna bangunan (HGB) diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun, diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
Di Rapermen itu juga disebutkan, setelah jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan berakhir atau tidak dimohonkan perpanjangan dan/atau pembaruan hak paling lama dua tahun setelah berakhir hak atau perpanjangannya berakhir, tanah HGB kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, tanah hak pengelolaan, atau tanah hak milik.
Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Diana Kusumastuti, Jumat (23/4/2021), mengatakan, pengaturan soal HGB merupakan wilayah tata ruang. Namun, kami berpendapat, dalam konteks perlindungan publik terhadap praktik penjualan aset bangunan di atas HGB yang mengharuskan ada perpanjangan atau bahkan perpanjangannya terbatas, regulasi ini diperlukan.
Artinya, perlu ada aturan tegas dalam praktik jual beli bangunan dan/atau unit pada bangunan di atas HGB yang mewajibkan penjual memberikan pemahaman terlebih dahulu pada pembeli perihal batas waktu HGB dan konsekuensinya. Perhitungan nilai jual aset bangunan di atas HGB harus berbeda dengan praktik jual beli pada tanah sertifikat hak milik (SHM).
”Penjual wajib memasukkan komponen umur sisa terhadap harga jual bangunannya. Jadi, konsumen membayar harga yang wajar untuk bangunan pada HGB dengan umur terbatas yang memerlukan perpanjangan atau yang perpanjangannya juga terbatas,” ujarnya di Jakarta.
Perlu ada aturan tegas dalam praktik jual beli bangunan dan/atau unit pada bangunan di atas HGB yang mewajibkan penjual memberikan pemahaman terlebih dahulu pada pembeli perihal batas waktu HGB dan konsekuensinya.
Diana mencontohkan, bangunan publik itu, misalnya, rumah susun (rusun) komersial. Selain HGB dan kewajiban penjual memberikan informasi yang benar kepada pembeli, sebenarnya diperlukan juga aturan tentang iuran yang dapat dipergunakan apabila jatuh tempo untuk perpanjangan HGB.
Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) Sanny Iskandar ketika dihubungi, Kamis (22/4/2021), menuturkan, kepastian hak atas tanah dan jangka waktunya memang dibutuhkan. Tujuannya adalah meyakinkan orang dapat menjalankan usahanya di tanah atau bangunan tersebut secara jangka panjang.
HKI menilai, hak atas tanah merupakan jaminan kepastian hukum bagi kegiatan investasi. Jaminan kepastian ini menjadi pertimbangan utama bagi para investor, khususnya di bidang industri manufaktur, dalam menanamkan modal.
Terkait HGB, Sanny menuturkan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria membatasi pemberian HGB untuk 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun. Kemudian dalam regulasi terbaru, perpanjangan itu dimungkinkan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah mengatur, HGB di atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
”Setelah jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan berakhir, artinya setelah 80 tahun, tanah HGB kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah hak pengelolaan. HKI mengusulkan agar HGB dapat diberikan 80 tahun di muka,” ujarnya.
Menurut Sanny, sesuai PP No 18/2021, penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara tersebut menjadi kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang. Atas kewenangan menteri terkait, tanah tersebut dapat diberikan prioritas kepada pemegang hak sebelumnya.
Namun, hal itu perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, tanahnya masih diusahakan serta dimanfaatkan dengan baik sesuai keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Kedua, syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
Ketiga, pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak dan tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang serta tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum. Hal yang juga diperhatikan adalah sumber daya alam, lingkungan hidup, serta keadaan tanah dan masyarakat sekitar.
”Dari sisi pelaku usaha, kalau dituntut tetap menjalankan kegiatan usaha sesuai peruntukkannya itu, sih, enggak masalah. Kami siap. Dari sisi pemerintah juga (mesti) tidak mengubah. Kalau tadinya untuk kawasan industri tiba-tiba suatu saat berubah, itu yang kami khawatirkan,” kata Sanny.
Sanny juga menyebutkan, ada persoalan lain terkait mekanisme dan fleksibilitas jangka waktu. Contohnya, HGB induk diterbitkan pada 1995 dan akan berakhir 30 tahun kemudian, yakni pada 2025. Ketika pada 2020 ada calon investor datang dan melihat jangka waktu pemberian HGB tinggal sekitar lima tahun, tentu calon investor tersebut akan berpikir dua kali.
”Dalam konteks tersebut, kami juga ingin diberi kesempatan agar bisa langsung memperpanjang (untuk yang) 20 tahun agar bisa menunjukkan ke investor bahwa masa berlakunya masih panjang,” katanya.