Konsumen kian cerdas. Harga tak lagi menjadi satu-satunya pertimbangan, tetapi juga keamanan konsumsi, nutrisi yang terkandung, serta prinsip ramah lingkungan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Belanja barang-barang yang ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari patut menjadi gaya hidup. Dengan langkah ini, masyarakat menjadi riak manfaat yang menjalar bagi kelestarian lingkungan hidup.
Melalui gerakan yang diprakarsai, Founder Tumbuhijaurban Dila Hadju kerap mengajak masyarakat menerapkan perilaku hidup ramah lingkungan, termasuk dalam kebiasaan berbelanja.
“Makin ke sini, konsumen semakin menginginkan produk-produk yang ramah lingkungan,” katanya pada bincang virtual "#KONSUMENCERDAS2021 BELI YANG EKOLABEL: Mewujudkan Industri Sawit Berkelanjutan Melalui Gerakan Konsumen dan Pebisnis Lokal" yang diadakan Yayasan WWF Indonesia dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Kamis (22/4/2021).
Dila memperkirakan, konsumen rela merogoh saku hingga sepersepuluh lebih mahal untuk membeli produk dengan prinsip berkelanjutan yang memberi dampak positif hingga 4-5 kali lipat pada lingkungan. Akan tetapi, informasi mengenai barang-barang yang ramah lingkungan kerap tak sampai pada konsumen.
Oleh sebab itu, ekolabel menjadi langkah yang paling sederhana untuk memberitahukan pada konsumen mengenai produk-produk yang menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan. "Strategi itu merupakan salah satu jalan tengah antara kepentingan profit bisnis perusahaan produsen dengan komitmen untuk tidak merusak lingkungan hidup," kata dia.
Makin ke sini, konsumen semakin menginginkan produk-produk yang ramah lingkungan.
Dari sisi pelaku ritel, Arya Kusumo, Sustainability Department Head PT Lion Super Indo Arya Kusumo menyatakan, perusahaannya berupaya memberikan ragam pilihan produk berekolabel bagi konsumen. Langkah ini juga menjadi sarana edukasi untuk masyarakat. Contohnya, sertifikasi Forest Stewardship Council untuk produk berbahan kayu seperti furnitur serta sertifikasi UTZ – Rainforest Alliance untuk produk kakao dan kopi.
Produsen mesti menjalani verifikasi berlapis demi ekolabel yang disematkan pada kemasan produk. Quality Assurance System Manager PT Wahana Citra Nabati Sri Nurvianti menceritakan, setelah pengecekan dan peninjauan dari RSPO berbuah sertifikasi, korporasi mesti mendaftarkan kembali ke Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk diverifikasi.
Untuk memperoleh sertifikasi RSPO, perusahaan harus membuktikan tidak menimbulkan deforestasi, tidak menanam di lahan gambut, serta tidak mengeksploitasi sumber daya manusia. “Konsumen kian cerdas. Harga tak lagi menjadi satu-satunya pertimbangan, tetapi juga keamanan konsumsi, nutrisi yang terkandung, serta prinsip ramah lingkungan agar keanekaragaman hayati yang ada saat ini dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya,” tuturnya.
Senior Manager Global Community Outreach & Engagement RSPO Imam A. El Marzuq menyatakan, setelah memperoleh sertifikasi, perusahaan tak bisa sekenanya melanggar komitmen penerapan prinsip-prinsip berkelanjutan dalam tata kelola kelapa sawit. Setiap tahun, RSPO akan mengecek kelayakan perusahaan dalam mempertahankan sertifikasi dan ekolabel yang telah digenggam.
Survei MarkPlus pada 2020 yang dikutip oleh WWF Indonesia menyebutkan, sebanyak 82 persen konsumen bersedia beralih ke produk-produk berbahan minyak kelapa sawit yang menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan. Responden juga bersedia membayar selisih harga Rp 1.200-Rp 6.700 lebih tinggi untuk produk-produk tersebut.
Arya menambahkan, perusahaan berencana menjajakan minyak goreng kelapa sawit dengan ekolabel untuk membuktikan komitmen penerapan prinsip-prinsip berkelanjutan. Produk itu akan menggunakan label atas nama ritel korporasi.
Sebanyak 82 persen konsumen bersedia beralih ke produk-produk berbahan minyak kelapa sawit yang menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan. Responden juga bersedia membayar selisih harga Rp 1.200-Rp 6.700 lebih tinggi untuk produk-produk tersebut.
Tak hanya pangan, sandang menjadi kebutuhan primer masyarakat. Pemerintah dan pelaku usaha turut berupaya mengimplementasikan nilai-nilai industri hijau pada sektor tekstil dan pakaian jadi agar ramah lingkungan.
Demi mendukung praktik produksi tekstil berkelanjutan, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, pemerintah membina industri kecil dan menengah (IKM) untuk memanfaatkan serat alam sebagai bahan baku. Salah satu wujudnya adalah nota kesepahaman dengan Direktorat Jenderal Perkebunan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian serta Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan untuk mengembangkan IKM tenun dengan menyediakan serat kapas sebagai bahan baku.
Di hilir, Founder & Creative Director of Pable.id Aryenda Atma menceritakan, usahanya menerapkan konsep ekonomi sirkular dengan mendaur ulang limbah kain dan pakaian bekas menjadi kain tenun. Dengan demikian, hasil daur ulang limbah tersebut menjadi material terbarukan yang dapat digunakan kembali menjadi bahan siap olah. Langkah ini mengurangi penggunaan material baru.
Proses daur ulang dimulai dengan menyortir limbah kain dan pakaian bekas berdasarkan bahan dan warna lalu dipotong dan dicacah. Serat hasil cacahan akan diperkuat sehingga diperoleh fiber. Langkah berikutnya ialah pemintalan fiber hingga penenunan untuk menjadi kain.
Ada yang bilang, konsumen itu raja. Raja yang arif seyogyanya mengambil keputusan yang bermanfaat seluas-luasnya pada lingkungan hidup dan sesamanya, bukan sekadar selera yang berdasar pada ego. Hari Bumi tahun ini dapat menjadi momentum untuk memulainya.