Berbagi di hari raya berangkat dari hasrat manusia untuk saling memberi. Ke depan, kebajikan ini sebaiknya tidak berhenti sebagai aksi aksidental. Kedermawanan juga harus diarahkan untuk menyelesaikan masalah struktural.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Lebaran telah tiba. Hatiku gembira. Begitulah keriangan anak-anak atau anggota keluarga di hari raya. Bagaimana tidak, Lebaran membuat mereka mendadak cuan. Duit mengalir dari sejumlah sanak saudara.
Irvan, warga Petukangan Utara, Jakarta Selatan, menarik uang kartas Rp 6 juta dari bank. Sebanyak Rp 3 juta ditukar dalam pecahan Rp 10.000, separuhnya lagi ke dalam pecahan Rp 5.000.
Uang itu ditukarkan kepada tetangganya yang bekerja di salah satu bank swasta. Kebetulan, di kantor tetangganya itu ada fasilitas untuk menukar uang kartal menjelang Lebaran.
Dari total uang Rp 6 juta itu, separuh di antaranya dia bagikan sendiri. Sisanya merupakan titipan dari keluarganya yang lain. Irvan akan memberikan uang itu kepada tetangga yang datang ke rumah pada hari Lebaran, terutama tetangga yang masih bocah.
”Setelah pulang shalat Id, semua tetangga dari orang tua sampai anak kecil datang ke rumah. Tapi untuk THR tidak semua warga
ngasih, hanya beberapa saja,” ujar ayah dua anak ini, Jumat (3/4/2021).
Karyawan di salah satu bank swasta di Jakarta, Ikhwani Sofia (26), tetap menukarkan uang kartal meski tak pulang kampung saat Lebaran tahun ini. Dia menukarkan sebanyak Rp 2 juta ke dalam pecahan Rp 20.000 dan Rp 10.000.
Uang kartal baru itu akan dia bawa ke kampung halaman setelah usai kebijakan pelarangan mudik Lebaran. Di kampungnya, sudah menjadi kebiasaan membagi uang setiap hari raya. Bahkan, kebiasaan ini seperti wajib hukumnya bagi orang yang sudah bekerja. ”Kalau gak ngasih takut dicap sebagai orang pelit, ha-ha-ha,” ujarnya.
Berbeda dengan kedua orang di atas, Wieke Rahma Yunisa (28), tak begitu banyak menukarkan uang tahun ini. Dia hanya menukar 10 lembar uang Rp 50.000. Ini akan diberikan kepada keponakannya yang sudah beranjak remaja.
”Keponakanku gak banyak, sih. Terus di sini, anak-anak tetangga juga sudah gak main ke rumah pas Lebaran, beda sekali dibandingkan kita kecil dulu. Jadi, ya, segitu saja cukuplah,” ujar perempuan yang tinggal di Yogyakarta ini.
Pengajar di salah satu lembaga bimbel ini menuturkan, Lebaran justru jadi momentum dari sanak saudara untuk berbagi kepada anaknya, Noura (3). Setiap bersilaturahmi ke rumah keluarga, Noura (3) selalu mendapat salam tempel. Tahun lalu, Noura bisa mengantongi lebih dari Rp 1 juta. ”Mudah-mudahan tahun ini bisa lebih, he-he-he,” katanya.
Bank Indonesia menyiapkan Rp 152,14 triliun untuk kebutuhan Ramadhan-Lebaran tahun 2021. Bank sentral memperkirakan, penarikan uang kartal dari perbankan tahun ini mencapai Rp 152,14 triliun atau meningkat 38,3 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.
Menurut Bhima Yudhistira, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance, berbagi uang pada masa Ramadhan-Lebaran akan menambah uang beredar di masyarakat. Ini pada gilirannya akan mengerek konsumsi rumah tangga. Di tingkat ritel, kenaikan transaksi Lebaran bisa mencapai 30 persen dibandingkan dengan hari biasa.
Dalam setiap komunitas, kata sosiolog Imam Prasodjo, ada momen tertentu yang dijadikan arena untuk merealisasikan semangat memberi. Ini merupakan naluriah manusia dan bersifat instingtif.
Secara sosial, fenomena ini terlembaga dalam berbagai event, seperti memberi kado di acara ulang tahun dan membagikan uang di hari Lebaran. ”Selain merekatkan secara sosial, secara personal juga memberikan kepuasan kepada pemberi. Ada semacam hati yang terisi karena telah berbuat baik,” ujarnya.
Namun, dia menyayangkan gejala umum kedermawanan di Indonesia yang masih bersifat aksidental dan tidak kontinu. Seharusnya, kebajikan masyarakat harus bertransformasi ke arah yang lebih fundamental, yaitu turut berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan struktural.
Setingkat di atas pemberian yang bersifat aksidental, ada kedermawanan yang mewujud dalam program lembaga filantropi. Melalui program, pemberian ini dikelola secara berkelanjutan.
Imam mencontohkan perbuatan baik berkelanjutan di Kenya. Di negara Afrika Bagian Timur itu, ada community kitchen yang menyiapkan dapur umum. Layanan itu selalu tersedia setiap hari. Setelah kesalehan melalui lembaga filantropi menjadi gerakan arus utama, tantangan berikutnya adalah mengajak orang untuk ikut memikirkan persoalan struktural melalui program kewirausahaan sosial (social entrepreneurship).
”Kalau gerakan filantropi memungkinkan orang tak mampu di Kenya bisa makan di dapur umum setiap hari, social enterpreneurship fokus memikirkan bagaimana caranya orang Kenya tidak lagi datang ke dapur umum karena sudah bisa mencukupi makannya sendiri. Ini baru gerakan kedermawanan fundamental,” katanya lagi.