Tingkat Kecelakaan Tinggi, Semua Pihak Mesti Bersinergi
Dari 109.244 kejadian kecelakaan yang terjadi pada 2019 terdapat 29.478 kecelakaan fatal yang mengakibatkan korban meninggal. Artinya, dalam satu jam ada 3-4 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kecelakaan lalu lintas di Indonesia yang melibatkan angkutan orang dan angkutan barang saat ini cukup tinggi. Sinergi antara regulator, operator angkutan, dan pengguna jasa dibutuhkan untuk mewujudkan keselamatan di jalan.
Berdasarkan data Integrated Road Safety Management System (IRSMS) Korps Lalu Lintas Polri, dari 109.244 kejadian kecelakaan yang terjadi pada 2019 terdapat 29.478 kecelakaan fatal yang mengakibatkan korban meninggal. Artinya, dalam satu jam ada 3-4 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Pada 2020, terdata ada 100.028 kecelakaan dengan jumlah korban meninggal 23.529 orang.
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat, tingkat fatalitas kecelakaan di Indonesia pada 2001 di bawah 10.000 kasus, sedangkan di Eropa di atas 50.000 kasus dan di Amerika Serikat di atas 40.000 kasus. Pada 2018, fatalitas kecelakaan di Eropa turun menjadi sekitar 25.000 kasus dan Amerika Serikat di bawah 40.000 kasus. Sementara tingkat fatalitas kecelakaan di Indonesia justru naik, yakni hampir menyentuh 30.000 kasus.
”Ketika tingkat fatalitas kecelakaan kita naik, di Eropa justru turun. Ini menandakan ada sesuatu yang harus kita lakukan,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada webinar ”Sinergi Pemerintah dan Operator dalam Mewujudkan Angkutan yang Berkeselamatan”, Selasa (20/4/2021).
Ketika tingkat fatalitas kecelakaan kita naik, di Eropa justru turun. Ini menandakan ada sesuatu yang harus kita lakukan. (Budi Karya Sumadi)
Budi Karya menyatakan, pada 2011, pemerintah telah membuat Rencana Umum Nasional Keselamatan Jalan 2011-2035 yang ditindaklanjuti Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2013 tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan. Ada target dalam mewujudkan lima pilar aksi keselamatan jalan, yakni manajemen keselamatan jalan, jalan yang berkeselamatan, kendaraan yang berkeselamatan, perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan, serta penanganan pra dan pasca-kecelakaan.
Merujuk data IRSMS tahun 2018, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi menuturkan, kecelakaan truk dan bus adalah terbesar ketiga setelah sepeda motor. Sementara pada 2019, kecelakaan truk dan bus adalah terbesar kedua setelah sepeda motor.
”(Penyebutan urutan) terbesar ini menyangkut masalah kuantitas dan kualitasnya. Artinya, kalau terjadi kecelakaan yang melibatkan bus, korban dalam satu bus itu cukup besar,” ujarnya.
Menurut Budi Setiyadi, ada beberapa penyebab kecelakaan, seperti pecah ban, kendaraan bermuatan dan berdimensi lebih, rem blong, dan rangka patah. Permasalahan yang selama ini dihadapi terkait operasional angkutan yang tidak berkeselamatan, di antaranya kendaraan bermuatan berlebih dan perilaku pengemudi yang ugal-ugalan.
Selain itu, kecelakaan juga bisa disebabkan oleh permasalahan kompetensi sumber daya manusia pengemudi dan mekanik yang belum memadai terkait kendaraan yang digunakan.
Investigator Senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Ahmad Wildan mengatakan, ada tiga faktor penyebab kecelakaan, yakni manusia, kendaraan, dan jalan. Ketiga faktor tersebut tidak berdiri sendiri.
Ada beberapa jenis kecelakaan, seperti rem blong, tabrak depan belakang, hilang kendali, pecah ban, dan kendaraan terbakar. Data dan fakta yang menunjukkan bahwa 90 persen kasus kecelakaan rem blong pada bus dan truk terjadi di jalan menurun.
”Fakta berikutnya, 80 persen rem blong di bus dan truk penyebabnya adalah kampas yang mengalami overheat (kenaikan suhu di atas normal). Ini bukan masalah teknologi kendaraan bermotor. Ini adalah error yang disebabkan oleh pengemudi yang tidak terampil. Sebanyak 20 persen baru akibat malfungsi kendaraan,” tuturnya.
Ahmad mengatakan, pada 2020, rata-rata ada 36 kasus kecelakaan tabrak depan belakang per bulan di Tol Cipali dengan fatalitas 97 persen. Artinya, ketika terjadi kecelakaan tabrak depan belakang, 97 persen orangnya meninggal.
Faktor penyebab jenis kecelakaan tabrak depan belakang adalah kesenjangan kecepatan yang terlalu lebar antara kendaraan cepat dan lambat. Standar keselamatan terkait kesenjangan kecepatan maksimal 30 kilometer (km) per jam. Risiko tabrak depan belakang akan meningkat setiap peningkatan 10 km per jam.
”Pada saat KNKT dan Balitbang survei di (Tol) Cipali, saya terkejut. Ternyata gap kecepatan di Cipali bisa mencapai 100 km per jam. Gap yang terlalu besar ini menjelaskan kenapa di sana setiap hari terjadi tabrak depan belakang,” kata Ahmad.
Selain itu, lanjutnya, sisi belakang sebagian besar truk sering kali tidak terlihat saat kondisi gelap. Saat berkendara dengan kecepatan 100 km per jam, jarak aman dengan kendaraan di depan minimal 60 meter. ”Sementara (pada kondisi gelap) truk baru terlihat pada jarak 10 meter sehingga semua pengemudi yang menggunakan kecepatan 100 km per jam, ketika bertemu truk (dengan kecepatan lambat) seperti ini, akan terlambat dan tidak mungkin menghindar sehingga akan menabrak,” katanya.
Ahmad menambahkan, mitigasi yang bisa dilakukan adalah mengurangi kecepatan kendaraan pribadi. Pemasangan kamera pengawas dapat didesain untuk mengefektifkan penurunan kecepatan kendaraan. Terkait kecepatan kendaraan barang, kalau bisa melarang truk berlebih muatan dan dimensi masuk jalan tol karena truk tersebut tidak mungkin lari di atas 40 km per jam.
Pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio berpendapat, selama puluhan tahun faktor penyebab kecelakaan tidak berubah. Padahal, secara teknis sudah ada kajian lengkap dan menyeluruh terkait data, jenis, penyebab kecelakaan, kondisi dan klasifikasi jalan, rambu, hingga sumber daya manusia.
Namun, di sisi lain, jumlah kecelakaan masih tinggi dan tingkat fatalitasnya pun cenderung naik. Hal ini berarti ada sesuatu yang belum dilakukan, yakni pelaksanaan dan penegakan aturan. Terkait hal itu, penegakan hukum harus dilaksanakan dengan tegas demi menyelamatkan nyawa.