Selain mendorong daya beli masyarakat yang turun akibat pandemi, hal yang tak kalah penting adalah menjaga pasar dalam negeri dari gempuran impor guna mengoptimalkan momentum Lebaran agar menjadi pengungkit ekonomi.
Oleh
Enny Sri Hartati
·5 menit baca
Ramadhan dan Hari Raya ldul Fitri atau Lebaran merupakan momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat, baik masyarakat umum sebagai konsumen maupun pelaku usaha. Pasalnya, para pekerja menunggu dan berharap mendapatkan tunjangan hari raya. Demikian pula pelaku usaha, mulai usaha mikro kecil hingga menengah besar, berharap meraup keuntungan saat lebaran. Para pedagang biasanya menargetkan omzet penjualan satu bulan, di mana terdapat Lebaran, berkisar 30-35 persen dari total penjualan satu tahun.
Lebaran memang tidak hanya memiliki dimensi religiusitas. Dimensi ekonomi Lebaran sangat kental. Ekonomi Lebaran bahkan dimulai sejak memasuki bulan Ramadhan. Sebagian besar masyarakat muslim akan mengistimewakan konsumsinya, mulai hal yang terkecil, kualitas konsumsi makanan selama bulan puasa. Tak heran, penjual berbagai macam makanan berjajar sepanjang jalan. Puncaknya tentu saat Lebaran, masyarakat rela membongkar seluruh tabungan atau memecahkan celengan demi suka cita merayakan hari raya.
Saat Lebaran tiba, berbagai hidangan istimewa tersedia di hampir seluruh keluarga, termasuk tradisi ”wajib” memakai baju baru saat Lebaran. Bahkan, sebagian masyarakat rela berutang demi mampu melaksanakan tradisi mudik Lebaran. Tradisi mudik terjadi seantero Nusantara, bahkan mudik juga menghinggapi tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib di sejumlah negara. Dalam kondisi normal, Lebaran memang senantiasa jadi pengungkit ekonomi yang sangat besar.
Di tengah pandemi Covid-19, kemewahan ekonomi Lebaran tersebut tentu menjadi surut. Gairah masyarakat untuk mengistimewakan berbagai menu buka puasa dan sahur terpaksa harus disesuaikan dengan kondisi keuangan rumah tangga. Bahkan, keinginan untuk membeli baju Lebaran pun terpaksa ditunda. Ada atau tidak ada larangan mudik, gairah konsumsi memang masih rendah. Pasalnya, penghasilan masyarakat masih anjlok sehingga daya beli masih sangat terbatas.
Butuh pengamanan
Di tengah lemahnya daya beli masyarakat, pemerintah memang harus serius melakukan ”pengamanan” agar momentum Lebaran tetap mampu menjadi pengungkit pemulihan ekonomi. Paling utama tentu menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok agar daya beli masyarakat yang masih rendah tidak tergerus oleh tekanan kenaikan harga atau inflasi.
Langkah lain yang tak kalah penting adalah melindungi pasar dalam negeri dari gempuran impor. Geliat peningkatan konsumsi masyarakat harus dioptimalkan guna menyerap produk-produk domestik. Apalagi banyak pelaku usaha atau industri mikro kecil dan menengah (UMKM/IKM) gulung tikar dampak dari pandemi. Momentum ekonomi Lebaran harus mampu dimanfaatkan untuk mendorong kebangkitan UMKM dan IKM.
Utamanya pengamanan terhadap industri padat karya agar segera mampu menyerap kembali besarnya angka pengangguran. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan industri yang mampu menyerap lebih dari 3,94 juta tenaga kerja. Apalagi, kesempatan masyarakat membeli baju setahun sekali ketika Lebaran harus dapat dinikmati oleh IKM.
Sayangnya, impor berbagai jenis pakaian, seperti atasan kasual dan formal, bawahan, terusan, outwear, headwear, hingga pakaian bayi bebas masuk tanpa pengenaan tarif ataupun nontarif. Bahkan, menjelang Lebaran, banjir baju-baju muslim, baik baju koko, gamis, hijab, maupun sajadah, luar biasa. Akibat gempuran pakaian impor dari China dan Thailand dengan harga murah, IKM semakin terancam. Tak heran jika pada triwulan IV-2020, industri tekstil dan pakaian jadi turun hingga 8,8 persen dan ratusan ribu orang terpaksa kehilangan pekerjaan.
Kondisi tersebut terjadi tidak hanya karena lemahnya kebijakan perdagangan pengamanan terhadap pasar domestik, tetapi juga kebijakan paradoksial. Pemerintah mestinya menerapkan struktur tarif yang selaras dari hulu hingga hilir. Idealnya, pengenaan tarif impor produk hilir harus lebih besar daripada tarif impor produk hulu, termasuk pengenaan tarif pengamanan perdagangan sementara berupa safeguard atau pengenaan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP).
Dengan demikian, produsen pakaian jadi (hilir) lebih optimal menyerap bahan baku dalam negeri sekaligus mendapatkan kepastian pasar. Artinya, satu kebijakan, dua manfaat terpenuhi, yaitu mendorong penciptaan nilai tambah karena mendorong penggunaan bahan baku lokal sekaligus substitusi impor.
Akan tetapi, nyatanya struktur tarif impor industri TPT saat ini justru terbalik, tarif di sisi hulu dan intermediate lebih tinggi daripada sisi hilir. Bahkan, untuk produk hilir produk yang berasal dari negara mitra perdagangan bebas (FTA), seperti China, tidak ada pengenaan tarif impor. Hampir seluruh negara tujuan ekspor TPT Indonesia mengenakan safeguard atau BMTP guna perlindungan pasar dalam negeri karena masih diperbolehkan WTO.
Padahal, pengenaan BMTP pakaian jadi pasti akan menimbulkan multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya, hal itu akan memperkuat IKM dalam negeri karena, baik pakaian merek maupun nonmerek industri skala besar melakukan sistem inti dan plasma (makloon) ke IKM.
Selain itu, kecanduan impor bahan baku tidak sepenuhnya disebabkan karena produk hulu atau bahan baku dari dalam negeri tidak kompetitif. Pasalnya, bahan baku domestik justru dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPn), sementara bahan baku impor bebas PPn. Apalagi, pengenaan BMTP pakaian jadi juga tidak akan menurunkan nilai ekspor karena industri berorientasi ekspor mayoritas penerima fasilitas KB/KITE yang terbebas dari bea masuk bahan baku dan BMTP.
Indonesia dengan populasi di atas 270 juta jiwa tentu menjadi target pasar besar bagi produsen TPT dunia, apalagi ketika momentum Lebaran. Di tengah daya beli masyarakat yang rendah, pengamanan pasar dari gempuran produk murah justru harus dioptimalkan, termasuk menutup masuknya impor pakaian bekas yang banyak diperjualbelikan melalui platform belanja daring dan media sosial. Padahal, impor barang bekas telah dilarang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51 Tahun 2015.
Jadi, jika pemerintah berdalih masuknya barang impor murah tanpa BMTP diharapkan memacu peningkatan konsumsi masyarakat, tentu menjadi logika yang sesat. Apalagi kini impor pakaian jadi didominasi oleh produk murah yang menjadi kompetitor IKM, produk berkelas atau branded hanya sekitar 5 persen.
Daya beli masyarakat akan segera pulih jika tersedia lapangan kerja. Hal itu hanya terjadi jika produk pelaku UMKM yang porsinya 99 persen laku terjual dibeli masyarakat. Jadi, agar terjadi pemulihan ekonomi, bukan produk murah yang dibutuhkan masyarakat, melainkan segera terciptanya lapangan kerja. Jika industri padat karya bangkit (termasuk industri tekstil), daya beli masyarakat pasti juga akan segera terungkit.