UMKM Indonesia Mesti Optimalkan Potensi Pasar Digital
Pendampingan terus-menerus mesti dilakukan agar pelaku UMKM yang masuk ke pasar digital dapat menghasilkan produk berdaya saing dengan kapasitas produksi tinggi untuk merespons kebutuhan dalam jumlah banyak dan cepat.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan usaha mikro, kecil, dan menengah beradaptasi dengan pasar digital menentukan daya tahan segmen tersebut. Dukungan berbagai pihak dibutuhkan agar infrastruktur digital yang telah dikembangkan pemerintah mampu dimanfaatkan secara optimal oleh UMKM, termasuk yang bergerak pada industri kreatif, dalam menggarap potensi pasar digital.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat, sepanjang tahun 2020 ada penambahan 4 juta pelaku UMKM yang masuk ke platform digital. Dengan demikian, secara total saat ini ada sekitar 12 juta pelaku UMKM atau 19 persen dari total UMKM di Indonesia yang sudah terhubung dengan ekosistem digital.
”Saya bersama Menteri Perdagangan beberapa waktu lalu dipanggil oleh Presiden terkait adanya produk-produk luar negeri yang dijual lewat e-dagang dengan harga (sedemikian murah sehingga) bisa membunuh UMKM di dalam negeri,” kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pada dialog Forum Merdeka Barat 9 bertema ”Saatnya UMKM Bangkit Mendukung Pariwisata”, Senin (19/4/2021).
Salah satu antisipasi yang dilakukan pemerintah adalah menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari luar negeri yang dibeli lewat e-dagang. Pada 2019, Kementerian Keuangan telah menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman itu dari 75 dollar AS menjadi 3 dollar AS.
Selain itu, barang impor dengan harga di atas 3 dollar AS dikenai tarif pajak 17,5 persen, yang terdiri dari bea masuk 7,5 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen. Namun, lanjut Teten, kebijakan tersebut belum cukup untuk membendung banjir produk impor dengan harga yang tidak masuk akal.
Mengutip pernyataan Presiden, Teten menuturkan, jangan sampai infrastruktur Palapa Ring yang dibangun untuk memperlancar akses internet justru dimanfaatkan negara lain dalam menggarap pasar ekonomi digital di Indonesia. Terkait hal tersebut, Kemenkop dan UKM bersama Kementerian Perdagangan diminta menyiapkan regulasi untuk mengisi beberapa kekosongan.
Regulasi tersebut ditujukan, antara lain, agar jangan sampai e-dagang lintas negara menjual produk impor di pasar digital Indonesia dengan harga dumping habis-habisan. ”Saya mengerti bahwa (praktik menjual dengan harga sedemikian murah) itu bagian dari strategi valuasi bisnisnya. Tapi, kalau itu membunuh UMKM, ya, tidak bisa (dibiarkan). Apalagi, pasar ekonomi digital Indonesia sangat besar dan diprediksikan nilainya sekitar Rp 1.800 triliun di tahun 2025, jangan sampai kemudian dinikmati produk luar,” ujar Teten.
Teten juga menuturkan, salah satu tantangan saat ini adalah Indonesia telah menandatangani perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Oleh karena itu, pendampingan terus-menerus mesti dilakukan agar pelaku UMKM yang masuk ke pasar digital dapat menghasilkan produk berdaya saing dengan kapasitas produksi tinggi untuk merespons kebutuhan dalam jumlah banyak dan cepat. Kolaborasi berbagai pihak dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi produk UMKM tersebut.
Salah satu tantangan saat ini adalah Indonesia telah menandatangani perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Oleh karena itu, pendampingan terus-menerus mesti dilakukan agar pelaku UMKM yang masuk ke pasar digital dapat menghasilkan produk berdaya saing.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, dengan telah ditandatanganinya berbagai perjanjian perdagangan bebas, suka atau tidak suka Indonesia menjadi target pasar. Populasi Indonesia yang sekitar 270 juta orang merupakan pasar besar yang diincar. ”Gelombang satu ada penandatanganan perjanjian perdagangan bebas dan gelombang kedua ada pasar digital yang saat itu mungkin belum kita antisipasi,” katanya.
Menurut Ikhsan, Akumindo mengapresiasi upaya pemerintah mulai mengatur tarif yang memang wajib dilakukan dalam menyikapi penetrasi produk impor. Intervensi di sisi tarif penting dilakukan agar tidak terjadi fenomena perang tarif yang dapat membunuh UMKM.
Akumindo juga menyoal dukungan penyerapan produk UMKM melalui pengadaan barang dan jasa. ”Kebijakan pengadaan barang dan jasa kita menganut paham paling murah dan kualitas bagus. Di sisi lain, kualitas produk UMKM belum semua bisa menyaingi produk-produk luar. Hal ini akhirnya juga bisa membunuh produk UMKM,” katanya.
Pemerintah China, lanjut Ikhsan, meminta UMKM berproduksi dan menjamin produknya diserap di pasar domestik. Jaminan serapan itu menjadikan UMKM China mau berinvestasi dan berproduksi massal. ”Produksi secara massal dan ada jaminan serapan itu menjadikan mereka semakin efisien. Kalau konsep seperti ini bisa diterapkan di Indonesia, saya yakin UMKM kita juga akan melenggang di pasar,” katanya.
Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno menuturkan arti penting mendorong talenta digital. Dukungan dibutuhkan bukan hanya terkait infrastruktur teknologi, regulasi, pasar, dan budaya, melainkan juga perlindungan hak kekayaan intelektual.
”Terakhir, kami juga ingin ada kedaulatan digital di Indonesia. Kemenparekraf sangat mendukung agar kedaulatan digital ini juga mencakup individu-individu yang berkreasi menciptakan karya. Di sektor perfilman, misalnya, setiap tahun ada Rp 15 triliun sampai Rp 20 triliun yang bocor karena pembajakan,” kata Sandiaga.