Popularitas Aset Kripto Bukan Penyebab Bursa Saham Sepi
Penurunan yang terjadi di pasar saham belakangan ini terjadi karena minimnya sentimen yang dapat mengangkat pasar. Selain itu, banyak investor jangka panjang yang belum menambah portofolio mereka.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan transaksi di pasar saham selama beberapa pekan terakhir tidak berhubungan secara langsung dengan kenaikan volume transaksi pada instrumen aset kripto. Di tengah popularitas aset kripto, instrumen saham kehabisan sentimen positif yang mampu mendongkrak indeks harga.
CEO Indodax Oscar Darmawan mengatakan, saat ini transaksi aset kripto, terutama bitcoin, di pasar global tengah meningkat. Tren ini terjadi terjadi di hampir seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun, menurut dia, hal tersebut bukan menjadi penyebab transaksi instrumen saham menjadi sepi.
Indodax merupakan salah satu dari 13 perusahaan penyedia layanan platform pasar daring untuk aset kripto yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Adapun bitcoin merupakan salah satu dari 229 aset kripto yang dilindungi kepemilikannya secara hukum di Indonesia.
”Kenaikan transaksi kripto lebih dikarenakan tren global seiring penguatan harga bitcoin. Di sisi lain, karakteristik pelaku pasar kripto berbeda dengan karakter investor instrumen saham sehingga keduanya punya segmen masing-masing,” ujarnya, Senin (19/4/2021).
Kenaikan transaksi kripto lebih dikarenakan tren global seiring penguatan harga bitcoin. Di sisi lain, karakteristik pelaku pasar kripto berbeda dengan karakter investor instrumen saham sehingga keduanya punya segmen masing-masing. (Oscar Darmawan)
Aset kripto memiliki risiko fluktuasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan instrumen pasar uang lainnya. Fluktuasi ini tidak dapat diprediksi dan dianalisis, baik secara teknikal maupun fundamental.
Sementara Bursa Efek Indonesia (BEI) menetapkan aturan untuk membendung aktivitas pasar yang tak biasa (unusual market activity /UMA). Otoritas akan menghentikan perdagangan jika menilai ada pergerakan nilai saham yang tidak wajar.
”Tipikal trader kripto adalah orang yang siap pada risiko tinggi untuk keuntungan yang tinggi juga. Sementara investor di pasar modal lebih nyaman dengan risiko yang terjaga,” kata Oscar.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menilai, bursa saham akan selalu ada peminat, terlepas dengan atau tanpa kehadiran aset lain seperti kripto. Menurut dia, peralihan investor bukan penyebab sepinya transaksi bursa.
”Kedua instrumen memiliki momentumnya masing-masing dan fluktuasi transaksi memang wajar terjadi. Ketika pasar saham kembali menguat, maka secara otomatis investor berpotensi kembali ramai bertransaksi di saham,” ujarnya.
Dia menyebutkan, penurunan yang terjadi di pasar saham belakangan ini akibat minimnya sentimen positif yang mampu mengangkat indeks harga di pasar modal. Di samping itu, banyak investor jangka panjang yang belum menambah portofolio mereka seusai tren peningkatan transaksi saham di awal 2021.
Mengutip data BEI, nilai transaksi harian di Bursa Efek Indonesia perlahan turun dari level tertinggi yang sempat dicapai pada awal tahun. Pada akhir pekan kemarin, rata-rata nilai transaksi harian bursa Rp 9,51 triliun. Adapun pada perdagangan Senin (19/4/2021), nilai transaksi harian Rp 9,31 triliun. Koreksi pada nilai transaksi harian sejalan dengan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 6.052,54 atau terkoreksi 4,78 persen dalam sebulan terakhir.
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menekankan, seiring kondisi pasar global dan domestik saat ini, aset berbasis saham dinilai masih menarik untuk investasi.
”Perekonomian dunia dan Indonesia telah menunjukkan pemulihan. Namun, ekosistem pasar modal masih belum bereaksi positif terhadap perbaikan tersebut,” ujarnya.
Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dibanding proyeksi sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang sebelumnya diproyeksi 5,1 persen pada 2021, kini diperkirakan 6,4 persen.
Perekonomian dunia dan Indonesia telah menunjukkan pemulihan. Namun, ekosistem pasar modal masih belum bereaksi positif terhadap perbaikan tersebut.
Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia juga meningkat, dari 8,3 persen pada 2021 menjadi 8,6 persen. Namun, perbaikan proyeksi tersebut tidak memacu aset investasi untuk bergerak agresif.
Budi menyebutkan, sejumlah faktor yang memperlambat penguatan aset investasi salah satunya pemulihan ekonomi di AS. Hal itu ditandai dengan beberapa indikator, seperti kenaikan inflasi, Indeks Manajer Pembelian di atas level 50 dan penyesuaian harga imbal hasil obligasi dari 0,7 persen ke 1,8 persen. Berbagai indikator ini memicu kekhawatiran pelaku pasar terhadap potensi penghentian stimulus dari bank sentral AS, The Fed.