Adaro Pertimbangkan Terjun ke Sektor Energi Terbarukan
Transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan sedang terjadi di seluruh dunia. Mengantisipasi hal itu, industri tambang batubara di Indonesia mulai beradaptasi dengan terjun ke sektor energi terbarukan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Truk berat mengangkut batubara di Blok Tutupan yang ditambang PT Adaro Indonesia di perbatasan Kabupaten Tabalong dan Balangan, Kalimantan Selatan, Rabu (19/5/2010).
JAKARTA, KOMPAS — PT Adaro Energy Tbk mempertimbangkan untuk terjun ke bisnis energi terbarukan, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau biomassa. Adaro adalah perusahaan yang sejak 1990 menambang dan menjual batubara melalui lahan konsesi perusahaan di Kalimantan Selatan.
Dalam telekonferensi pers, Senin (19/4/2021), Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir mengatakan, Adaro berkomitmen mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim di Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan menetapkan pilar bisnis baru bernama Adaro Green Inisiatif. Keputusan ini sudah dipahami jajaran direksi dan para pemegang saham.
”Adaro harus mereformasi dan melakukan diversifikasi ke arah yang lebih green (hijau). Ini untuk mendukung (adaptasi) perubahan iklim. Namun, bukan berarti kami akan meninggalkan (bisnis) batubara. Batubara masih diperlukan,” ujar Garibaldi.
Adaro berkomitmen mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim di Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan menetapkan pilar bisnis baru bernama Adaro Green Inisiatif.
Garibaldi menambahkan, inisiatif tersebut merupakan bagian dari transformasi jangka panjang Adaro di masa mendatang. Mengenai pilihan jenis bisnis, Adaro belum dapat memutuskan atau membuat suatu kesimpulan. Beberapa pilihan yang sedang dikaji adalah biomassa dari pelet kayu, tenaga hidro, dan tenaga surya.
”Salah satunya yang sedang kami kaji adalah biomassa yang potensi di Indonesia besar sekali. Pasarnya juga hampir mirip dengan batubara. Pembeli batubara kami di Jepang, Korea, dan di dalam negeri sudah mulai mencampurkan batubara dengan pelet kayu (sebagai bahan bakar pembangkit listrik),” katanya.
Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir (tengah) sedang berbincang dengan jajaran direksi Coaltrade Services International Pte Ltd, anak usaha Adaro di bidang jasa perdagangan batubara, Neil Little (kanan) dan Pepen HD (kiri), Sabtu (28/4/2018), di Singapura.
Sepanjang 2020, Adaro mencatatkan produksi sebanyak 54,53 juta ton atau sedikit di atas panduan operasi perusahaan yang sebesar 52-54 juta ton. Namun, angka produksi pada 2020 masih lebih rendah dibandingkan pada 2019 yang sebanyak 58,03 juta ton. Pemulihan ekonomi di sejumlah negara, khususnya di Asia, turut mendongkrak permintaan batubara.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, fenomena sejumlah perusahaan yang bisnis utamanya energi fosil mulai melirik sektor energi terbarukan adalah sesuatu yang wajar. Apa yang dilakukan perusahaan tersebut adalah untuk merespons kampanye transisi energi yang diserukan Pemerintah Indonesia. Terjun ke bisnis energi terbarukan juga merupakan tindakan pencegahan oleh perusahaan.
”Ini adalah sesuatu yang wajar. Mereka mengantisipasinya untuk ikut-ikutan terjun ke sektor energi terbarukan. Setidaknya, jika benar transisi energi di Indonesia berjalan penuh, perusahaan tersebut akan tetap mampu bertahan,” tutur Komaidi.
Setidaknya, jika benar transisi energi di Indonesia berjalan penuh, perusahaan tersebut akan tetap mampu bertahan.
Hal yang sama dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa. Menurut dia, perusahaan tersebut memahami bahwa prospek batubara dalam beberapa tahun ke depan kurang bagus. Ekspor batubara diperkirakan turun dan dalam satu dekade mendatang harga energi dari tenaga surya dan investasi teknologi penyimpanan daya listrik bakal semakin murah.
”Jadi, perusahaan-perusahaan tersebut sedang menyiapkan sumber pendapatan baru dari bisnis energi terbarukan, khususnya di sektor panel tenaga surya yang biaya investasinya semakin murah dan cepat dalam hal instalasi (pemasangan),” kata Fabby.
Kompas/Priyombodo
Tongkang-tongkang bermuatan batubara melintas di sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (8/3/2021). Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, produksi batubara Indonesia per 8 Maret 2021 sebesar 93,42 juta ton atau setara 16,99 persen dari target produksi sebesar 550 juta ton pada 2021.
Sebelumnya, dua perusahaan besar yang bisnis utamanya tambang batubara mulai terjun ke sektor energi terbarukan. Adalah PT Bukit Asam Tbk, perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Sumatera Selatan, telah mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan memulai gasifikasi batubara menjadi dimetil eter sebagai pengganti elpiji. Bukit Asam dalam waktu dekat juga akan membangun PLTS berkapasitas 200 megawatt di lahan bekas tambang mereka.
Selain itu, ada pula PT Indika Energy Tbk yang menggandeng Fourth Patner Energy, sebuah perusahaan pengembang tenaga surya dari India dengan mendirikan perusahaan patungan, PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS). Perusahaan patungan ini menargetkan pembangunan PLTS dengan kapasitas hingga 550 megawatt di sejumlah negara.
Menurut Direktur Utama Indika Energy Arsjad Rasjid, kemitraan dengan Fourth Patner Energy tersebut sebagai bagian dari pengembangan portofolio perusahaan di masa mendatang. Kemitraan ini sekaligus untuk mendukung target bauran energi terbarukan Indonesia sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada 2050. Kerja sama dengan pihak lain dibutuhkan lantaran investasi proyek energi terbarukan membutuhkan dana besar.
”Kami berkomitmen untuk menjadi bagian dari perjalanan Indonesia dengan memaksimalkan seluruh potensi yang ada untuk menghadirkan solusi tenaga surya dengan biaya yang kompetitif di Indonesia,” ucap Arsjad dalam keterangan resmi.