Publik Butuh Aplikasi Telemedik Terjangkau dengan Diagnostik Berkualitas
Masyarakat semakin tertarik untuk memanfaatkan layanan kesehatan jarak jauh melalui aplikasi di ponsel pintar. Penyedia layanan pun harus bisa mengembangkan segmen pasar agar dapat lebih menjawab kebutuhan kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian masyarakat semakin tertarik memanfaatkan layanan kesehatan jarak jauh atau telemedik melalui aplikasi di ponsel pintar. Beragam aplikasi telemedik yang ada pun diharapkan terus meningkatkan layanan, terutama dalam hal kualitas diagnostik dan keterjangkauan biaya.
Layanan telemedik banyak dirasakan di antaranya oleh kalangan anak muda, seperti mahasiswi di Depok, Jawa Barat, Mega Septiani. Mega yang tinggal di indekos mengaku mulai menggunakan layanan itu dua tahun lalu.
”Pertama kali mencoba waktu itu saat lagi flu. Tanpa perlu datang ke klinik atau rumah sakit, lalu antre konsultasi dan ambil obat, sesi berobat di aplikasi cepat dan praktis banget karena semua layanan bisa diatur dalam genggaman,” ujarnya, Minggu (18/4/2021).
Baca juga:
- Gaya Hidup Masyarakat Berubah, Peluang bagi Layanan Telemedik
- Penguatan Jaringan Internet Dukung Layanan Kesehatan Jarak Jauh
- Aplikasi Telemedik Atasi Layanan Kesehatan yang Terhambat
Kedua kalinya menggunakan layanan kesehatan telemedik ketika Mega mengalami masalah kulit. Awalnya ia ragu mencoba karena khawatir salah diagnosis. Namun, mengingat pandemi Covid-19 lebih mengkhawatirkan, ia pun mencoba berobat langsung ke dokter spesialis kulit melalui layanan telemedik.
Dengan salah satu aplikasi telemedik, Halodoc, Mega bisa membuat jadwal atau langsung terhubung secara daring dengan beragam dokter dari berbagai wilayah dan rumah sakit, dengan riwayat praktik dan pendidikan yang dapat ditelusuri.
Setelah membayar biaya konsultasi secara digital, konsultasi dilakukan melalui obrolan teks dan foto untuk menunjukkan keluhan. Dalam waktu kurang dari lima menit, dokter bisa segera mendeteksi masalah yang ia keluhkan dan menawarkan beberapa pilihan resep obat untuk diambil.
Setelah mengakhiri konsultasi, pemesanan dan pembayaran resep obat juga dilakukan tanpa perlu keluar aplikasi. Obat yang dibeli pun dapat cepat diantar menggunakan layanan ojek daring karena aplikasi mengirimkan pesanan obat ke apotek yang dekat dengan tempat tinggal pasien.
”Setelah melakukan pengobatan sesuai yang dianjurkan ternyata saran dan obat yang dikasih dokter bisa bekerja buat saya. Padahal awalnya agak ragu ada kesalahan karena hanya sebatas melalui chat. Selain belum terbiasa, mungkin aplikasi ini harus kasih alternatif konsultasi daring lainnya, seperti lewat video call, mungkin,” ujarnya.
Kekhawatiran Mega akan kualitas konsultasi juga disebabkan murahnya biaya konsultasi yang saat itu hanya Rp 30.000 per sesi. Namun, ia berharap biaya konsultasi melalui aplikasi dapat tetap terjangkau agar semakin memudahkan masyarakat yang membutuhkan.
Setelah melakukan pengobatan sesuai yang dianjurkan ternyata saran dan obat yang dikasih dokter bisa bekerja buat saya. Padahal awalnya agak ragu ada kesalahan karena hanya sebatas melalui chat. Selain belum terbiasa, mungkin aplikasi ini harus kasih alternatif konsultasi daring lainnya, seperti lewat video call, mungkin.
Faktor biaya dan efisiensi juga jadi alasan bagi Gendis Annisa untuk mencoba aplikasi telemedik. Sejak pandemi Covid-19 muncul di 2020 hingga saat ini, ia telah sekian kali menggunakan beberapa aplikasi untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis anak mengenai keluhan kesehatan pada bayinya.
”Namanya orangtua khawatir sekali kalau bayi tiba-tiba panas atau merengek terus, jadi bawaannya selalu mau cerita atau konsultasi ke orang yang berpengalaman. Saya sendiri lebih memercayakan dokter, tapi karena sampai sekarang saya belum berani membawa bayi dua tahun saya ke puskesmas atau rumah sakit, aplikasi telemedik menjadi andalan sekali,” kata warga Jakarta Barat tersebut.
Dengan berkonsultasi ke dokter melalui aplikasi, ia menilai telah menghemat biaya pergi ke fasilitas layanan kesehatan. Bahkan beberapa kali ia mendapatkan promo konsultasi gratis.
Gendis sadar terjangkaunya biaya konsultasi di aplikasi rintisan mungkin tidak akan selamanya, tetapi ia berharap masyarakat bisa lebih baik mengakses layanan kesehatan seperti ini.
Studi pasar dalam laporan ”Are Indonesia’s digital health apps fit enough to disrupt the market?”, oleh perusahaan konsultan manajemen global Kearney, menemukan masyarakat setuju bahwa kemudahan penggunaan (20,3 persen), biaya layanan (18,9 persen), dan kualitas diagnosis kesehatan (18,8 persen) adalah hal yang paling relevan dari penggunaan aplikasi telemedik.
Riset yang dipublikasikan pertengahan April 2021 ini ditemukan setelah menganalisis lebih dari 1.000 konsumen Indonesia untuk mendapatkan wawasan langsung tentang penyakit dan kebutuhan perawatan kesehatan mereka.
Persaingan
Presiden Direktur dan Partner Kearney Indonesia Shirley Santoso mengatakan, di balik kelebihan penggunaan layanan telemedik, penyedia aplikasi kesehatan terus bersaing dengan menawarkan promosi harga dan akses yang lebih baik terhadap perawatan kesehatan.
”Namun, memberikan konsumen kemudahan dalam menghubungi dokter tidak menyelesaikan masalah kualitas perawatan. Konsumen menginginkan aplikasi dengan kualitas diagnostik yang baik dan dengan biaya yang terjangkau,” kata Shirley.
Studi mereka pun membandingkan kinerja antara aplikasi kesehatan di Indonesia seperti Alodokter, Halodoc, dan Good Doctor. Dengan skala kepuasan pelanggan antara 1 sampai 5, ketiga aplikasi mendapat skor minimal 4 atau lebih dalam hal kemudahan penggunaan aplikasi.
Saya sendiri lebih memercayakan dokter, tapi karena sampai sekarang saya belum berani membawa bayi dua tahun saya ke puskesmas atau rumah sakit, aplikasi telemedik jadi andalan sekali.
Namun, masih terdapat kesenjangan yang cukup tinggi pada empat faktor utama, seperti biaya layanan, kualitas diagnosis kesehatan, dokter yang dapat dipercaya, dan konsultasi spesialisasi. Secara umum, Halodoc memimpin dalam hampir semua faktor, kecuali konsultasi spesialisasi yang merupakan fitur unggulan Good Doctor.
Untuk dapat meningkatkan kualitas, penyedia aplikasi telemedik pun dinilai harus bersaing dalam memahami dan menyediakan layanan berkualitas pada delapan kategori kelompok pelanggan dan empat sponsor di baliknya.
Mereka adalah masyarakat kurang mampu dan tanggungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berpendapatan rendah. Tiga segmen pendapatan rata-rata menengah ke atas, seperti pasien berpenyakit kronis, lansia, dan masyarakat yang sadar kesehatan.
Kemudian, karyawan yang biaya kesehatannya disponsori perusahaan tempat bekerja. Terakhir, segmen Envied Employee dan Modern Breadwinner yang mampu dan sacara sadar mendaftarkan diri untuk mengikuti asuransi kesehatan.
”Aplikasi kesehatan yang hanya melihat pasar yang homogen akan gagal. Sedangkan aplikasi yang menghargai nuansa pasar akan memenuhi kebutuhan di seluruh segmen konsumen. Tekanan untuk para pemain yang ada adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kesuksesan mereka,” kata Shirley.
Hal itu dapat dilakukan melalui lima prinsip pembangunan, yaitu berkolaborasi dengan mitra rantai pasok untuk lebih dekat dengan konsumen, mengadopsi struktur operasional yang gesit serta sesuai dengan kebutuhan konsumen, mengintegrasikan teknologi kecerdasan buatan canggih bagi konsumen. Lalu, menyusun strategi bermitra dengan dokter berkualitas, dan melibatkan pemangku kepentingan dari pemerintah hingga perusahaan dalam ekosistem mereka.
Selanjutnya, pelaku bisnis perlu berfokus pada kota-kota kecil. Hadirnya proliferasi digital yang sudah menjadi norma di wilayah metropolitan, gelombang pertumbuhan digital berikutnya akan didorong oleh kota non-metropolitan Indonesia.
”Perusahaan baru, investor, dan regulator, termasuk aplikasi kesehatan digital, perlu memahami perilaku yang sesuai untuk semakin membuka potensi karena kota-kota ini menghadapi tantangan yang berbeda dalam memulai digitalisasi,” pungkasnya.
Menanggapi hasil riset tersebut, Jonathan Sudharta, CEO and Co-Founder Halodoc, menyambut baik temuan riset terkait kepuasan pelanggan dan sangat mengapresiasi seluruh kerja keras karyawan Halodoc. Selain mengembangkan produk dan layanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Halodoc juga memastikan akan terus berupaya menyesuaikan model bisnis mereka.
”Kami akan terus juga mengembangkan kerja sama lintas sektor seperti dengan pelaku telekomunikasi, serta mengembangkan skema business to business (B2B) kami dengan provider asuransi maupun korporasi di Indonesia,” katanya.