Pemerintah Tunjuk BUMN Pariwisata sebagai Pengelola Baru TMII
Pemerintah akan menunjuk BUMN bidang pariwisata sebagai pengelola baru Taman Mini Indonesia Indah. Skema kerja sama pemanfaatan aset negara itu diharapkan menyumbang penerimaan negara bukan pajak.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menunjuk badan usaha milik negara bidang pariwisata untuk mengelola Taman Mini Indonesia Indah setelah pengambilalihan pengelolaan dari Yayasan Harapan Kita. Pengelolaan TMII ke depan akan menggunakan skema kerja sama pemanfaatan sehingga aset tersebut diharapkan dapat menyumbang penerimaan negara bukan pajak.
Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Encep Sudarwan, dalam paparannya di hadapan media, Jumat (16/4/2021), mengatakan, Yayasan Harapan Kita belum pernah menyetorkan pendapatan TMII ke kas negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
”Penerimaan negara itu terbagi dua, yakni pajak dan nonpajak. Kalau pajak, secara rutin pengelola TMII membayarkan semua pajaknya. Tetapi kalau menyetorkan PNBP, memang selama ini belum pernah,” kata Encep.
Hal itu disebabkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 51 Tahun 1977 tentang pengelolaan TMII oleh Yayasan Harapan Kita tidak mengatur skema pembagian keuntungan untuk PNBP meski TMII dinyatakan sebagai hak milik negara Republik Indonesia.
Apabila TMII dikelola oleh BUMN, kata Encep, pengaturan terkait PNBP bisa dibuat lebih jelas. Saat ini terdapat dua BUMN yang berpeluang untuk mengelola TMII, yakni PT Taman Wisata Candi (TWC) dan PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Indonesia Tourism Development Corporation/ITDC).
Nantinya, pengelolaan TMII melalui BUMN akan dilakukan dengan kerja sama pemanfaatan (KSP). Bentuk kerja sama pemanfaatan BUMN atau swasta dalam mengelola aset negara berupa tanah dan bangunan biasanya maksimal dilakukan selama 30 tahun dan dapat diperpanjang.
”Dari kerja sama tersebut, negara akan mendapatkan PNBP. Pemasukan akan berupa kontribusi tetap per tahun dan pembagian keuntungan,” ujar Encep.
Hasil inventarisasi dan revaluasi aset TMII yang dilakukan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan mencatat, nilai aset TMII berupa tanah sebesar Rp 20,5 triliun. Namun, untuk merevaluasi aset TMII secara detail masih memerlukan inventarisasi untuk mendapatkan data yang valid.
Selain aset barang milik negara, lanjut Encep, di dalam kompleks TMII juga terdapat aset milik daerah dan aset milik mitra lainnya yang bekerja sama dengan Badan Pelaksana Pengelolaan dan Pengusahaan TMII. ”Saat ini sedang dicek detailnya, yang sudah kami cek baru BMN saja. Padahal, disana juga ada aset non-BMN, BMD (barang milik daerah),” ujarnya.
Encep optimistis BUMN mana pun yang akan mengelola TMII memiliki kekuatan dari segi keuangan sehingga tak membutuhkan penyertaan modal negara atau PMN. TMII juga akan diasuransikan setelah dikelola oleh BUMN.
Hingga berita ini diturunkan, Direktur Utama TMII Achmad Tanribali Lamo enggan memberikan konfirmasi terkait tidak adanya setoran PNBP dari TMII kepada negara.
Saat ini TMII masih berada dalam transisi serah terima pengelolaan ke Sekretariat Negara melalui Keputusan Menteri Sekretariat Negara Nomor 96 tahun 2021. Terdapat tim transisi yang bertugas mendampingi dan memastikan proses transisi berjalan lancar sesuai peraturan perundangan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif BUMN Institute Achmad Yunus mengatakan, pemilihan BUMN pengelola TMII perlu disesuaikan target pasar yang akan dituju. Selain memilih BUMN yang tepat, pemerintah juga harus memikirkan skema pengelolaan yang sesuai agar TMII tidak lagi merugi.
Menurut Ahmad, jika pengelolaannya diserahkan kepada BUMN sebagai penyertaan modal tentu, sebaiknya BUMN yang ditunjuk juga mendapatkan penyertaan modal dalam bentuk tunai agar pengembangan TMII dapat dilakukan secara lebih terarah. ”Jangan hanya aset saja yang diserahkan, tetapi juga tambahan penyertaan modal berupa fresh money agar pengembangan TMII dapat dilakukan secara terarah,” ujarnya.
Selain memilih BUMN yang tepat, pemerintah juga harus memikirkan skema pengelolaan yang sesuai agar TMII tidak lagi merugi.
”Kalau hanya aset (yang diberikan kepada BUMN), dikhawatirkan berpotensi membebani neraca keuangan karena belum tentu BUMN punya uang untuk pengembangan. Jangan sampai diserahkan ke BUMN karena selalu rugi, kemudian BUMN dipaksa investasi disana tetapi tetap rugi,” ujarnya.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, sebagai aset negara yang dicatatkan di Kementerian Sekretariat Negara, semestinya TMII punya manfaat seluas-luasnya untuk masyarakat dan berkontribusi pada keuangan negara.
Pengelolaan TMII dinyatakan merugi dari waktu ke waktu. Yayasan Harapan Kita mengklaim menyubsidi Rp 40 miliar-Rp 50 miliar per tahun. Mulai tahun 2016, pendampingan oleh Kementerian Sekretariat Negara sudah dilakukan, tetapi tidak ada perbaikan.
Dari legal audit Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan direkomendasikan TMII menjadi badan layanan umum, dioperasikan oleh pihak lain, atau dikelola melalui kerja sama pemanfaatan.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga merekomendasikan Menteri Sekretaris Negara untuk segera menentukan kebijakan pemanfaatan tanah kompleks TMII dan memproses sesuai ketentuan perundang-undangan.