Infrastruktuktur Beradaptasi dengan Perubahan Iklim
Cuaca ekstrem makin sering terjadi seiring perubahan iklim. Kondisi ini menuntut penyesuaian dalam pembangunan infrastruktur.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
Indonesia merupakan negeri rawan bencana. Apalagi di tengah perubahan iklim, potensi bencana alam di Indonesia bisa semakin besar jika tidak dimitigasi. Baru-baru ini, siklon tropis Seroja memicu banjir bandang dan gerakan tanah atau longsor di sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Timur, Minggu (4/4/2021) dini hari.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati menyebutkan, 11 daerah di NTT terdampak bencana akibat siklon tropis Seroja. Ke-11 daerah itu adalah Kabupaten Flores Timur, Lembata, Malaka Tengah, Ngada, Alor, Sumba Timur, Rote Ndao, Sabu Raijua, Timur Tengah Selatan, Ende, dan Kota Kupang.
Banjir bandang menerjang Flores Timur, Lembata, Sabu Raijua, dan Timur Tengah Selatan. Kabupaten Ende, Alor, Malaka Tengah, dan Sumba Timur dilanda banjir. Sementara banjir rob terjadi di Rote Ndao. Selain itu, juga terjadi longsor di Flores Timur dan Alor; angin kencang di Ngada, Rode Ndao; angin puting beliung di Alor; serta cuaca ekstrem di Kupang.
Pemerintah Provinsi NTT mengatakan, jumlah pengungsi akibat badai Seroja tersebar di 18 kabupaten/kota mencapai 48.669 orang. Mereka tersebar di 2.730 tempat pengungsian. Adapun jumlah korban tewas dalam bencana alam di Nusa Tenggara Timur sudah mencapai 117 orang, sementara korban hilang 76 orang.
Bank Dunia mencatat, Indonesia menempati peringkat ke-12 dari 35 negara di dunia dengan risiko bencana. Pada 2014-2018, Indonesia bisa menghabiskan dana 90 juta dollar AS-500 juta dollar AS per tahun untuk tanggap bencana dan pemulihan. Sementara rata-rata dana yang dihabiskan pemerintah daerah di Indonesia sekitar 250 juta dollar AS.
Dalam konteks perubahan iklim, kondisi cuaca ekstrem yang kian sering terjadi menuntut penyesuaian di sektor infrastruktur. Pembangunan infrastruktur mesti mempertimbangkan skenario perubahan iklim demi mencegah berbagai risiko termasuk dampaknya secara ekonomi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, pada 1981 kejadian cuaca ekstrem di Indonesia hanya sekitar 10 kejadian. Kemudian pada 2020 terdapat 40 kejadian cuaca ekstrem.
”Hal ini berarti ancaman bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan longsor meningkat dari tahun ke tahun,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam diskusi kelompok terfokus secara virtual di Jakarta, Selasa (30/3/2021).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, pada 1981 kejadian cuaca ekstrem di Indonesia hanya sekitar 10 kejadian. Kemudian pada 2020 terdapat 40 kejadian cuaca ekstrem.
Menurut Dwikorita, hujan disebut ekstrem ketika intensitasnya lebih dari 150 milimeter (mm) per hari. Pada 2020, intensitas hujan di DKI Jakarta pernah mencapai 377 mm per hari. Kejadian itu sudah bisa disebut superekstrem atau dobel ekstrem.
Apabila tidak ada penguatan upaya mitigasi, kondisi ekstrem basah saat musim hujan dan ekstrem kering saat musim kemarau akibat perubahan iklim pada pertengahan hingga akhir abad ke-21, dikhawatirkan akan menjadi normal baru. ”Kondisi ekstrem tersebut memerlukan upaya adaptasi pola perencanaan sumber daya air untuk mendukung kehidupan,” katanya.
Arti penting adaptasi terhadap perubahan iklim juga disampaikan Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan. Menurut dia, perubahan iklim akan berdampak serius pada integritas, kinerja, dan masa pakai infrastruktur.
Dampak lainnya adalah meningkatkan biaya pemeliharaan dan berpotensi mempercepat penggantian. Biaya baru ini akan menciptakan beban baru bagi seluruh fasilitas yang akan meningkatkan tekanan pada anggaran pemerintah.
Adaptasi infrastruktur
Direktur Bendungan dan Danau Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Airlangga Mardjono mengemukakan, dampak perubahan iklim yang salah satunya ditandai dengan semakin tingginya curah hujan membutuhkan perhatian serius.
”Dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, kami melakukan pendekatan secara hard structure dan soft structure (keras dan lunak) dalam pembangunan infrastruktur bendungan dan danau,” ujarnya.
Menurut Airlangga, antara tahun 2015-2020, Kementerian PUPR telah menyelesaikan 18 bendungan dari 61 bendungan yang direncanakan beroperasi hingga 2024. Fungsi bendungan-bendungan ini, di antaranya, untuk mereduksi banjir.
Selain itu, Kementerian PUPR juga merevitalisasi danau untuk meningkatkan kapasitasnya sesuai dengan prioritas nasional. Danau itu, antara lain, adalah Danau Limboto (Gorontalo), Tempe (Sulawesi Selatan), Tondano (Sulawesi Utara), Maninjau (Sumatera Barat), dan Kerinci (Jambi).
Kementerian PUPR juga berkolaborasi dengan BMKG dalam sinkronisasi data hidrologi, klimatologi, dan geofisika. ”Salah satu aplikasi kami, yakni Sinbad (Sistem Informasi Bendungan dan Waduk), sudah terkoneksi dengan baik dengan data dari BMKG,” katanya.
Airlngga menambahkan, pembangunan dan pengelolaan bendungan di Indonesia akan tetap mempertimbangkan perubahan iklim. Hal ini ditempuh melalui peningkatan kapasitas bendungan, penanganan sedimentasi, penguatan rekayasa keamanan dam, dan pemutakhiran pola operasi bendungan.
Kepala Bidang Program dan Evaluasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Laut, Sungai, Danau, dan Penyeberangan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Sri Hardianto mengatakan, studi kebutuhan dermaga untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim telah dilakukan pada 2014. Studi itu dilakukan terhadap dermaga di Pelabuhan Belawan di Sumatera Utara, Tanjung Perak (Jawa Timur), Dwikora (Kalimantan Barat), Soekarno-Hatta (Makassar), dan Yos Sudarso (Maluku).
”Kesimpulan hasil studi itu adalah ketinggian dermaga yang ada saat ini belum cukup untuk mengantisipasi perubahan iklim untuk 25 tahun hingga 50 tahun ke depan. Hal itu mencakup pasang surut, tinggi gelombang, tinggi gelombang badai, dan tinggi jagaan (freeboard),” kata Sri.
Kesimpulan hasil studi itu adalah ketinggian dermaga yang ada saat ini belum cukup untuk mengantisipasi perubahan iklim untuk 25 tahun hingga 50 tahun ke depan. Hal itu mencakup pasang surut, tinggi gelombang, tinggi gelombang badai, dan tinggi jagaan.
Kepala Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika, Badan Informasi Geospasial (BIG) Gatot Haryo Pramono mengemukakan, laju kenaikan tinggi muka laut Indonesia diperkirakan 7-8 milimeter per tahun. Prediksi ini disusun menggunakan beberapa data pasang surut di Benoa, Ambon, Sandakan, Surabaya, Bitung, Sibolga, dan Jakarta yang didapat dari kerja sama dengan UHSLC (The University of Hawaii Sea Level Center).
BIG mengestimasikan kenaikan tinggi muka laut Indonesia dari tahun 2000 hingga 2030 berkisar 8-40 sentimeter. Sementara kenaikan tinggi muka laut Indonesia pada 2100 diproyeksikan bisa berkisar 40-120 sentimeter.