Neraca gula nasional berpotensi kelebihan pasokan karena masih ada stok tertahan di gudang dan tambahan impor. Petani meminta importir gula menyerap hasil giling tahun ini.
Oleh
M Paschalia Judith J / Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia meminta importir yang memproduksi gula kristal putih untuk menyerap hasil giling tebu tahun ini. Sebab, ada potensi kelebihan suplai gula ke pasar yang bisa menekan harga jual dan menghambat penyerapan gula petani.
Permintaan itu tertuang dalam salah satu rekomendasi rapat kerja nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang digelar pada Jumat (9/4/2021). APTRI mendesak pemerintah meminta importir membeli gula petani musim giling 2021 dengan harga minimal Rp 11.200 per kilogram (kg). Langkah ini diharapkan mengatasi penumpukan gula petani di gudang.
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat menyebutkan, berdasarkan informasi yang dia himpun, stok gula milik pedagang di gudang pabrik gula lebih besar dibandingkan dengan milik perusahaan. ”Ada gudang yang menyimpan stok 2.000-3.000 ton milik pabrik gula dan 20.000 ton milik pedagang. Saya khawatir akan terjadi oversupply pada musim giling tahun ini,” tuturnya saat dihubungi, Selasa (13/4/2021).
Terkait permintaan petani soal jaminan penyerapan gula, kata Budi, pabrik gula mesti meninjau neraca gula nasional tahun ini terlebih dulu. Apabila pasokan yang terealisasi tidak berlebih, pabrik gula pasti akan menyerap hasil panen petani.
Oleh sebab itu, dia menilai pemerintah mesti mengatur kedatangan gula mentah impor agar tidak serentak menjelang musim giling. Berkaca dari tahun lalu, komitmen penyerapan gula petani oleh importir tak optimal lantaran pasokan gula datang yang bertubi-tubi, terutama yang berasal dari impor.
Sekretaris Jenderal APTRI M Nur Khabsyin menceritakan, tahun lalu komitmen penyerapan ditandatangani di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Isinya, importir diminta menyerap 500.000 ton gula petani dengan harga Rp 11.200 per kg. Namun, hanya 10 persen gula petani yang diserap sesuai dengan harga komitmen tersebut.
Mayoritas gula petani dibeli dengan harga Rp 10.600 per kg. Stok terakhir gula petani yang mencapai 80.000 ton diserap Februari 2021. Menurut dia, lambat dan rendahnya harga penyerapan disebabkan oleh stok gula yang tertahan di tingkat pedagang dan masih tersimpan di gudang. Oleh karena itu, petani membutuhkan jaminan penyerapan pada musim giling tahun ini.
Sementara itu, Pasal 7 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional menggarisbawahi, industri gula berbasis tebu hanya memproduksi gula kristal putih (GKP). Pasal 6 aturan itu menyatakan, industri gula rafinasi hanya memproduksi gula rafinasi (GKR).
Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Bernardi Dharmawan menilai, aturan itu menegaskan alur produksi industri gula nasional. Guna mencegah potensi rembesan gula rafinasi di pasar, dia mengimbau pemerintah menguatkan pengawasan dan penelusuran di rantai distribusi, utamanya pada industri dan koperasi pengguna GKR.
Regulasi baru tentang jaminan ketersediaan bahan baku industri gula dinilai memperlebar potensi rembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi. Pemerintah diminta melakukan audit untuk mengidentifikasi perusahaan yang melanggar jalur distribusi dan mengganggu serapan gula petani.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, potensi rembesan terbuka ketika pemerintah memberikan kuota impor gula mentah untuk produksi gula rafinasi melebihi kapasitas sebenarnya.
Potensi rembesan juga terjadi karena lemahnya kontrol di proses distribusi. ”Sekarang saja, di pasar daring (online), gula rafinasi bisa dibeli secara bebas oleh konsumen. Padahal, gula rafinasi seharusnya hanya boleh dibeli oleh industri pengguna, seperti industri makanan minuman,” kata Tauhid.
Pemerintah harus memperkuat kontrol agar rembesan gula industri tidak mengganggu serapan gula petani. Audit menyeluruh harus dilakukan untuk mengidentifikasi perusahaan yang melanggar jalur distribusi dan mengganggu serapan gula petani.
Saat ini, menurut dia, pemerintah jarang mengadakan audit dan survei. Dengan lemahnya kontrol itu, tidak heran jika gula rafinasi masih sering ditemukan di pasar konsumsi. Praktik itu merugikan petani tebu karena membuat gula petani tidak terserap pasar.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono mengatakan, alur distribusi untuk industri gula rafinasi dan industri gula berbasis tebu sebenarnya sudah jelas. Namun, pada penerapannya, kerap terjadi pelanggaran dari industri rafinasi yang mendapat izin impor ataupun industri penggunanya.
Peraturan Menteri Perdagangan No 1/2019 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi mengatur, gula kristal rafinasi dilarang untuk dijual di pasar konsumsi. Produsen gula rafinasi juga tidak diperbolehkan menjual produksi mereka ke distributor, pedagang pengecer, atau kepada konsumen, tetapi langsung ke industri pengguna.
Ketentuan ini juga terdapat di Peraturan Menteri Perdagangan No 14/2020 tentang Ketentuan Impor Gula. ”Jadi, dari hulu, batasannya jelas. Namun, dari hasil pengawasan kami, dalam distribusi memang masih banyak ditemukan pelanggaran, seperti industri makanan dan minuman yang ujungnya jadi pedagang juga dan menjual ke masyarakat,” kata Veri.
Ada kalanya industri rafinasi menjual gula dalam jumlah yang melebihi kapasitas industri pengguna. Misalnya, industri makanan dan minuman hanya butuh 3.000 ton GKR untuk produksi, tetapi mereka membeli GKR hingga 5.000 ton dari industri rafinasi. Kelebihan gula rafinasi itu yang kemudian dijual ulang ke masyarakat.
Menurut Veri, pelaku industri harus disiplin. ”Kami berpesan ke industri rafinasi agar, ketika mengalokasikan gula ke industri makanan dan minuman, jangan hanya melihat dokumen, luangkan waktu mengecek kapasitasnya,” ujarnya.