Pengusaha Pilih Dialog Bipartit untuk Bahas THR Lebaran
Kewajiban membayar tunjangan hari raya dinilai memberatkan oleh sebagian pelaku usaha, khususnya bagi usaha yang terdampak pandemi Covid-19. Para pelaku usaha memilih dialog dengan pekerja untuk mencari jalan keluar.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pengusaha membayar tunjangan hari raya secara penuh dan tepat waktu sebelum Lebaran dinilai memberatkan sebagian pengusaha kecil yang terdampak pandemi Covid-19. Pengusaha memilih dialog dengan pekerja untuk mencari solusi pembayaran THR.
Ketua Asosiasi Usaha Mikro Kecil Menengah (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, meskipun maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut baik, yakni untuk memenuhi hak pekerja dan menggerakkan ekonomi, pada kenyataannya situasi pengusaha tidak bisa dipukul rata. Ia meyakini ada banyak pengusaha berskala kecil yang sulit memenuhi kewajiban THR tahun ini.
Sebelumnya, pemerintah meminta perusahaan memanfaatkan berbagai stimulus yang telah disediakan untuk dunia usaha dan menjalankan kewajibannya. Namun, menurut Ikhsan, stimulus dan bantuan pemerintah tidak semudah itu bisa diakses pengusaha, khususnya usaha mikro kecil yang kerap dianggap tidak layak mendapat kredit perbankan (bankable).
”Itu butuh waktu. Pemerintah juga sebenarnya memberi banyak syarat untuk mengakses stimulus, jadi tidak semudah itu,” kata Ikhsan saat dihubungi di Jakarta, Selasa (13/4/2021).
Pengusaha akan memilih menempuh dialog dengan pekerja masing-masing. Kewajiban membuktikan ketidakmampuan dan kerugian perusahaan akan ditunjukkan melalui laporan keuangan internal perusahaan secara terbuka. Namun, ia meminta keputusan pembayaran THR diserahkan kepada pemberi kerja dan pekerja.
”Ada UMKM yang mampu, ada yang tidak. Bagi yang mampu, silakan penuhi kewajiban sesuai aturan. Bagi yang tidak, surat edaran pemerintah juga memungkinkan untuk menempuh cara-cara kekeluargaan lewat dialog bipartit dengan pekerja masing-masing,” kata Ikhsan.
Menurut Ikhsan, lewat dialog bipartit, masih dapat ditempuh jalan tengah dengan cara mencicil pembayaran THR. Dengan demikian, pekerja masih mendapat THR tahun ini. ”Bagaimana cara membayar THR tahun ini, biar diserahkan ke dialog bipartit. Apakah mau dicicil, atau seperti apa, yang penting ada buah tangan,” tuturnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Maulana Yusran mengatakan, kewajiban pembayaran THR masih sulit ditunaikan oleh pengusaha sektor pariwisata. Sebab, sampai saat ini, roda sektor pariwisata praktis belum bergerak. Selama satu tahun terakhir, pengeluaran di sektor pariwisata masih lebih besar daripada pendapatan.
Ia berharap pemerintah bisa memberikan dispensasi atau membantu pengusaha membayarkan THR khusus bagi pekerja pariwisata. Ia mengatakan, pengusaha di sektor pariwisata bukannya tidak mau membayar THR, tetapi tidak mampu.
”Tidak mungkin kalau kami mengikuti surat edaran. Kami dari 14 bulan lalu saja sudah menerapkan unpaid leave (dirumahkan tanpa upah) karena sulit membayar gaji. Kalau gaji tiap bulan saja tidak bisa kami bayar, apakah tetap harus membayar THR-nya?” kata Maulana.
Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani mengatakan, pengusaha masih punya waktu satu bulan hingga pertengahan Mei 2021 untuk mengkaji kondisi keuangan dan menyiapkan pembayaran THR. Jika perusahaan memutuskan tidak membayar THR, pemerintah akan menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan.
Sanksi yang dimaksud diberikan bertahap, mulai teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian/seluruh alat produksi, sampai pembekuan usaha. Perusahaan yang mampu wajib membayar THR paling lambat tujuh hari sebelum Lebaran.
Sementara perusahaan yang tak mampu harus terlebih dulu membuktikan ketidakmampuannya dengan membuka laporan keuangan dua tahun terakhir secara transparan ke pekerja, mengadakan dialog bipartit, dan melapor ke pemerintah.
Jika perusahaan terbukti benar-benar tidak mampu, mereka diberi kelonggaran untuk membayar paling lambat satu hari sebelum Lebaran, tanpa dicicil atau ditunda. ”Kelonggaran hanya diberikan sampai satu hari sebelum hari raya Idul Fitri,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit berharap pemerintah dapat memberi dispensasi bagi beberapa perusahaan, seperti usaha berskala kecil atau yang terdampak Covid-19.
”SE (surat edaran) ini jadi persoalan karena berlaku merata dan tak ada dispensasi ke siapa pun. Buruh memang dalam keadaan sulit, itu tidak bisa diperdebatkan. Namun, saya kira ada juga usaha yang sedang dalam kondisi sulit sekarang ini. Untuk mereka yang tidak mampu ini, bagaimana solusinya?” kata Anton.
Menurut Anton, keputusan harus diserahkan kepada hasil dialog bipartit. ”Yang paling tahu kondisi perusahaan adalah bipartit, yaitu pekerja dan manajemen perusahaan itu sendiri,” ujarnya.