Nestapa Perusahaan Otobus, Bayar THR di Tengah Paceklik Pendapatan
Bagi perusahaan otobus (PO), dua kali Lebaran yang seharusnya ”panen penumpang” malah menjadi musim paceklik pendapatan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan perusahaan membayar tunjangan hari raya kepada pekerja memberatkan perusahaan otobus. Selama dua tahun terakhir, mereka tidak beroperasi maksimal lantaran pembatasan sosial dan pelarangan mudik Lebaran.
Pemerintah kembali melarang mudik Lebaran tahun ini untuk mengantisipasi ledakan kasus aktif Covid-19. Bagi perusahaan otobus (PO), dua kali Lebaran yang seharusnya ”panen penumpang” malah menjadi musim paceklik pendapatan.
Pada tahun lalu, larangan mudik berlaku 24 April-31 Mei. Di dua minggu pertama, Terminal Terpadu Pulo Gebang, Jakarta, lengang. Tak ada bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang mengangkut penumpang.
Kemudian pada 9 Mei 2020, pemerintah kembali menyediakan layanan angkutan umum di terminal itu untuk penumpang tertentu. Dengan kebijakan ini, PO masih bisa beroperasi untuk mengangkut penumpang yang dikecualikan dari aturan.
Dari catatan Kompas waktu itu, setiap satu bus yang berangkat dari Terminal Terpadu Pulo Gebang, Jakarta, mengangkut hanya 2-5 penumpang. Ini jelas rugi. Berdasarkan hitungan PO Lorena, bus jurusan Jakarta menuju sejumlah kota di Sumatera, titik impas (BEP) baru tercapai bila angkutan berkapasitas 32 kursi itu sedikitnya diisi oleh 20 penumpang. Di bawah itu, sudah pasti tekor.
Dalam situasi krisis itu, Managing Director PT Eka Sari Lorena Transport Dwi Rianta Soerbakti, Selasa (13/4/2021), mengklaim masih sanggup membayarkan tunjangan hari raya (THR) sebesar 50 persen tahun 2020. THR sebesar 50 persen itu diberikan ke karyawan tetap. Sementara sopir dan kenek yang berstatus mitra juga mendapat THR meski nominalnya tidak sebanyak karyawan tetap.
Lalu bagaimana dengan THR 2021? Dengan larangan mudik sekaligus terbitnya aturan yang mewajibkan perusahaan membayar THR 2021 secara penuh dan tak boleh dicicil, bagaimana respons PO? ”Ambyar,” demikian Dwi menggambarkan situasi saat ini.
Dalam waktu dekat, dia akan menggelar rapat dengan bagian sumber daya manusia dengan melibatkan karyawan. Ini untuk menyepakati jalan terbaik terkait THR ini. Sejauh ini belum ada skema tertentu yang ditawarkan manajemen.
”Saya yakin kalau di Lorena, loyalitas dan dedikasi karyawan serta komitmen perusahaan secara historis akan mampu mendapatkan solusi terbaik,” katanya.
Dwi saat ini belum memutuskan bus AKAP jarak jauh Lorena akan beroperasi atau tidak di masa larangan mudik (6-17 Mei). Jika mengacu kepada syarat bepergian yang berlaku saat ini, besar kemungkinan Lorena untuk bus AKAP jarak jauh tak beroperasi sama sekali. Namun, apabila ada kelonggaran syarat untuk penumpang bus AKAP, dia mempertimbangkan untuk tetap beroperasi.
”Syarat-syarat terlalu berat, demand tak akan banyak kalau syarat penumpangnya tetap begitu,” katanya.
Adapun orang yang dikecualikan dari larangan mudik, antara lain, pekerja di pemerintahan atau swasta yang sedang melakukan perjalanan dinas, kunjungan keluarga sakit, keluarga meninggal, dan ibu hamil dengan satu orang pendamping.
Presiden Direktur Sinar Jaya Group Teddy Rusli menambahkan, pelarangan mudik kian menggerus keuangan perusahaan. Untuk dana operasional, termasuk pembayaran THR, dia meminta pemerintah ikut membantu PO.
”Pembatasan apa pun yang berdampak terhadap keuangan perusahaan, seyogianya pemerintah membantu juga dana operasional perusahaan itu, terutama untuk swasta secara wajar dan adil,” katanya.
Berbeda dengan dua PO di atas, Direktur Utama NPM Angga Vircansa Chairul memastikan THR tetap dibayar penuh tahun ini seperti tahun sebelumnya. Dia memiliki sekitar 40 karyawan. Meski pembayaran THR sangat membebani kas perusahaan, kebijakan ini tetap ditempuh manajemen.
”Sebab, mereka yang bekerja di NPM itu bukan setahun dua tahun masa kerjanya. Mereka itu karyawan senior semua yang juga punya tanggungan,” ujarnya.
Mengacu kepada syarat keberangkatan penumpang di masa larangan mudik, Angga memastikan bahwa NPM tak akan sanggup menanggung biaya operasional. Ini karena jumlah pendapatan diprediksi tak akan menutup biaya operasional. Oleh sebab itu, lanjutnya, tidak beroperasi selama pelarangan mudik menjadi pilihan rasional. Kendati demikian, dia masih menunggu aturan detail yang berlaku di lapangan terkait hal ini.
Kepala Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pitra Setiawan menjelaskan, Kementerian Perhubungan sudah mengajukan insentif untuk PO ke Kementerian Keuangan. Namun, program insentif itu belum disetujui Kementerian Keuangan.
”Untuk seberapa besar insentifnya untuk masing-masing PO, saya juga belum mendapat informasi,” katanya.
Sementara itu, Kepala Unit Pengelola Terminal Terpadu Pulo Gebang Octavianus Pasaribu hingga saat ini belum mendapat arahan terkait teknis pengoperasian terminal di masa larangan mudik.
Kendati demikian, dia melanjutkan, sudah beredar kabar yang menyatakan terminal tetap dibuka. Bus AKAP tetap beroperasi dengan berbagai pembatasan. Penumpang pun juga harus memenuhi syarat keberangkatan. ”Itu baru kabar selentingan. Arahan detailnya belum saya terima,” ujarnya.