Keandalan Ekonomi Proyek Infrastruktur Bisa Menjadi Magnet Swasta
Minat swasta berinvestasi bergantung pada jenis infrastrukturnya. Kalau secara ekonomi memang ”reliable” (dapat diandalkan) atau memungkinkan, pasti mereka berminat. Swasta juga membutuhkan jaminan kepastian usaha.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran sektor swasta dalam pembiayaan infrastruktur dibutuhkan di tengah keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ketertarikan sektor swasta untuk terlibat dalam pembiayaan infrastruktur tergantung tingkat keandalan ekonomi suatu proyek investasi.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kebutuhan pembiayaan infrastruktur di Indonesia untuk periode 2020-2024 sebesar Rp 6.445 triliun. Pembiayaan dari pemerintah diestimasi Rp 2.385 triliun atau 37 persen dari total kebutuhan. Pembiayaan dari pemerintah daerah, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD) sebesar Rp 1.353 triliun atau 21 persen. Adapun pembiayaan terbesar dari sektor swasta senilai Rp 2.707 triliun atau 42 persen dari total kebutuhan.
Khusus di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), total kebutuhan investasi infrastruktur pada tahun anggaran 2020-2024 sebesar Rp 2.058 triliun. Dari total kebutuhan dana investasi tersebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan hanya mampu memenuhi sekitar sepertiganya, yakni Rp 623 triliun. Artinya, ada kesenjangan pendanaan hingga Rp 1.453 triliun.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Purwanto, Selasa (13/4/2021), mengatakan, minat swasta bergantung pada jenis infrastrukturnya. Kalau secara ekonomi memang reliable (dapat diandalkan) atau memungkinkan, pasti mereka berminat.
”Walaupun, misalnya, dibutuhkan waktu 30 tahun agar bisa mencapai break even point (balik modal), di tengah perjalanan, mereka juga bisa menjualnya ke pihak lain seandainya ingin lebih cepat memperoleh keuntungan,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Menurut Purwanto, sektor swasta akan memperhitungkan risiko, termasuk menyangkut penetapan harga jual produk terkait investasi di suatu paket atau proyek infrastruktur. Harga jual produk ini semisal berupa tarif tol untuk proyek tol maupun harga jual listrik untuk proyek pembangkit listrik tenaga air.
Penetapan tarif tol akan mengikuti penetapan dari PT Jasa Marga (Persero) Tbk atau pemerintah. Demikian pula harga jual listrik ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) juga tergantung kesepakatan dengan BUMN tersebut.
”Jadi, larinya memang akan ke (pola) swasta dengan BUMN. Pemerintah nantinya akan memberikan payung hukum dari sisi kemudahan investasi, jaminan keberlanjutan usaha, penetapan skema tarif, dan lainnya. Bentuk-bentuk insentif yang merupakan domain pemerintah dibutuhkan karena swasta pasti menanyakan persoalan, terutama menyangkut lahan dan pajak,” katanya.
Jaminan kepastian usaha, lanjut Purwanto, juga menjadi perhatian sektor swasta agar mau terlibat dalam proyek infrastruktur. Jaminan ini, misalnya, menyangkut kontrak kerja dan penetapan tarif yang membutuhkan campur tangan pemerintah.
Sebelumnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, tahun 2022-2024, Kementerian PUPR mencanangkan program OPOR atau optimalisasi, pemeliharaan, operasi, dan rehabilitasi infrastruktur. Kementerian PUPR akan sangat selektif dalam membangun infrastruktur yang baru.
”(Hal ini) agar kami bisa landing dengan baik, tidak meninggalkan proyek-proyek yang belum selesai nantinya,” ujar Basuki pada acara penandatanganan perjanjian kerja sama proyek KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha) kegiatan preservasi jalan lintas timur Sumatera di Provinsi Riau, Senin awal pekan ini.
Basuki menuturkan, inovasi pembiayaan infrastruktur harus tetap dilakukan karena APBN memiliki keterbatasan. Terkait hal tersebut pemrograman di Kementerian PUPR akan difokuskan pada program OPOR. Infrastruktur yang sudah dibangun dalam 5-6 tahun terakhir akan dimanfaatkan secara optimal.
”Bendungan yang sudah dibangun akan kami lengkapi dengan saluran irigasi dan air bakunya. Jadi, tidak membangun bendungan baru. Pembangunan infrastruktur baru akan sangat selektif. Kalau itu perintah Presiden, KPBU, atau loan (pinjaman) akan kami perhitungkan untuk dibangun. Tetapi, kalau hanya murni APBN akan sangat selektif sekali,” ujarnya.
Kondisi APBN
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, APBN 2021 masih dalam kondisi menantang. Pendapatan atau penerimaan diperkirakan belum kembali normal.
”Dalam merancang APBN, pemerintah tetap mengupayakan pemenuhan kebutuhan belanja sebagai bagian kebijakan kontrasiklus, memberikan stimulus perekonomian, termasuk untuk belanja infrastruktur,” katanya.
Dalam merancang APBN, pemerintah tetap mengupayakan pemenuhan kebutuhan belanja sebagai bagian kebijakan kontrasiklus, memberikan stimulus perekonomian, termasuk untuk belanja infrastruktur.
Menurut Luky, Kementerian Keuangan dalam merancang APBN 2021 masih menerapkan kebijakan fiskal ekspansif konsolidatif dengan target defisit APBN berada di kisaran 5,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Meskipun target defisit APBN ini lebih kecil dibandingkan dengan tahun lalu yang realisasinya mencapai 6,09 persen terhadap PDB, pemerintah tetap harus hati-hati.
”Kami tetap akan berhati-hati dan mencermati mengingat pada 2023, defisit APBN ditargetkan kembali ke 3 persen dari PDB,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Luky, pemerintah harus terus kreatif dan inovatif mencari sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang aman, hati-hati, dan berkelanjutan. Pendanaan swasta melalui skema KPBU merupakan salah satu yang diyakini sebagai pembiayaan aman dan dapat memberikan awal lompatan bagi pemulihan ekonomi nasional 2021 dan seterusnya.