Balada Kurir yang Mengais Rezeki dari Onggokan Paket
Di balik kebahagiaan para penerima paket, ada kurir yang bekerja keras mengantar-jemput barang sampai tujuan.

Seorang kurir antar-jemput barang mengecek ponsel untuk mengirim paket ke lokasi tujuan di daerah Jakarta Selatan, Senin (12/4/2021).
”Paket.” Demikian seruan yang dinantikan setiap orang yang memesan barang secara daring. Teknologi yang memudahkan kegiatan berbelanja dan kebutuhan layanan antar-jemput barang membuat masyarakat tidak perlu repot melangkahkan kaki jauh dari rumah.
Di balik itu, ada kurir yang sigap melayani antar-jemput barang. Dengan kendaraan, kurir datang menembus jarak dan waktu untuk melayani pesanan dengan cepat, di mana pun lokasinya selama masih di wilayah operasional layanan.
Pekerjaan tersebut mulai ditekuni Dzakkii sebulan terakhir. Pemuda lulusan SMA di Jakarta tersebut baru saja lolos ujian menjadi mitra di salah satu perusahaan logistik berbasis teknologi setelah masuk sebagai kurir lepas yang dibayar harian.
”Sebelum jadi mitra, saya bebas antar-jemput paket berapa aja. Satu paket dibayar Rp 3.000. Sesudah jadi mitra, kurir dibayar sekitar Rp 150.000 sehari, dengan target minimal 37 paket. Kalau kurang dari itu karena sepi, juga bisa tetap dapat segitu. Kalau lebih, dapat tambahan upah per paket,” katanya kepada Kompas, Senin (12/4/2021).
Baca juga : Bisnis Pengiriman Barang di Indonesia Melesat Saat Pandemi
Dengan sepeda motor pribadi dan bahan bakar yang dibiayai sendiri, Dzakkii melayani pelanggan di Kelurahan Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, selama lebih kurang 8 jam per hari. Sebelum pukul 8 pagi ia datang ke gudang penyortiran barang untuk mengambil paket yang perlu diantar ke pelanggan dan sebaliknya setelah menjemput barang dari pelanggan sesuai jadwal.
Selama bekerja, ia juga mengandalkan ponsel pintar, antara lain untuk melacak posisi pelanggan melalui aplikasi. Kendala pun jamak ia temui. Contohnya, kesulitan menemukan rumah tujuan antar atau jemput yang kemudian mengharuskannya menghubungi pelanggan. Agar tidak mengeluarkan biaya pulsa, yang tidak dimodali pemberi kerja, ia menggunakan aplikasi pesan.
Sebagai pekerja mitra, Dzakkii menyadari banyak biaya yang harus tetap ia tanggung dan siasati sendiri. Selain itu, ia juga tidak memiliki jaminan pendapatan atau kesehatan, seperti yang lazim didapatkan pekerja dengan ikatan tetap. Meski demikian, ia juga bersyukur masih bisa memiliki pekerjaan di tengah masa pandemi Covid-19.
”Sejauh ini penghasilan saya masih mencukupi kebutuhan diri sendiri dan sedikit bantu keluarga di rumah. Saya juga lihat banyak mitra yang sudah berkeluarga mampu bertahan di pekerjaan seperti ini,” katanya.

Seorang buruh mengantarkan barang ke jasa pengiriman barang di Jalan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (1/7/2020).
Barliantoro, tamatan SMA tahun 2019, mengakui pekerjaan sebagai kurir mudah didapatkannya. Sejak November 2020, pemuda yang berdomisili di Jakarta Selatan ini bekerja sebagai mitra di unit usaha logistik salah satu perusahaan e-dagang besar.
Untuk bisa mendapatkan banyak uang, setiap hari ia rela bekerja tanpa waktu tentu untuk mengejar target. Jika tidak ada banyak kendala, ia bisa mengantar 70-80 paket dalam waktu tiga jam.
”Selagi paket masih ada, sebisa mungkin saya kirim semua paket yang sudah diambil ke gudang. Jika sudah kemalaman atau ada kendala seperti hujan yang enggak berhenti, paketnya boleh dibalikkan ke gudang asalkan target minimal per hari sudah terpenuhi,” tutur Barliantoro.
Saat pertama kali bergabung, perusahaan mengatur setiap paket, baik yang diantar maupun jemput kurir, dihargai Rp 2.500. Jika mampu mengantar minimal 15 paket, ia bisa mendapat bonus Rp 45.000 per hari. Sementara jika ia mampu mengantar 49 paket atau lebih, upahnya naik menjadi Rp 3.000 per paket dan Rp 3.500 per paket di atas pukul 3 sore.
Upah rendah
Menjadi mitra nyatanya tidak mendukung fleksibilitas kurir untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Semangat Barliantoro untuk mengantar-jemput paket belakangan menjadi menurun karena berbagai perubahan kebijakan pengupahan yang dibuat perusahaan.
Bulan Februari lalu, misalnya, upah per paket turun menjadi Rp 2.200. Perusahaan pun memberi target minimal 30 paket untuk mendapat bonus sampai Rp 115.000 sehari. ”Kalau jumlah paket enggak sampai 30 buah, misalnya 29 buah ke bawah, hitungannya jadi Rp 2.500 per paket tanpa bonus,” katanya.
Penyesuaian pengupahan kembali terjadi pada bulan April sampai Rp 1.800 per paket. Kurir juga harus mengantar minimal 40 paket untuk mendapatkan bonus. Penurunan upah dan kenaikan target yang ditentukan perusahaan diakuinya dilakukan tanpa ada survei atau diskusi dengan para kurir.

Jasa pengiriman menerima uang dari pembelian paket via aplikasi Shopee di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Senin (18/5/2020).
”Kalau upah Rp 2.200-Rp 2.500 per paket masih masuk akal, sih. Tapi, kalau seperti sekarang, untuk saya pribadi belum cukup. Apalagi, gaji saya kasih semua ke orangtua yang lagi enggak bekerja,” kata Barliantoro.
Upah yang semakin minim juga dinilai tidak setimpal dengan banyaknya risiko antar-jemput barang. Risiko yang sering ia dan kurir lainnya hadapi adalah keterlambatan truk pengantar paket ke gudang penyortiran di wilayah ia bekerja. Belum lagi kendala cuaca, barang rusak, hingga komunikasi dengan pelanggan.
Keseimbangan
Analis senior Supply Chain Indonesia (SCI), Zaroni, mengatakan, kebutuhan tenaga kerja kurir semakin tinggi seiring meningkatnya tren perdagangan daring melalui e-dagang dan layanan logistik berbasis teknologi, yang banyak dihadirkan perusahaan rintisan.
Pandemi pun ikut memicu kenaikan permintaan layanan kurir. Riset Markplus, Inc kepada 122 responden di seluruh Indonesia pada 2020 melaporkan, frekuensi penggunaan jasa kurir yang meningkat diakui oleh 39 persen responden jika dibandingkan dengan sebelum pandemi. Sebanyak 85,2 persen responden juga menjawab, jasa kurir dimanfaatkan untuk mengirimkan barang yang dibeli dari e-dagang.
Untuk memenuhi kebutuhan kurir, kebanyakan perusahaan memanfaatkan tenaga alih daya (outsource) dengan sistem kemitraan, selain mengandalkan rekrutmen karyawan sendiri. Kurir alih daya umumnya diupah perusahaan dengan minimal pendapatan dan/atau sesuai variabel, seperti volume barang.
”Kerja sama kemitraan ini harusnya win win (saling untung). Kurir sebaiknya mendapat upah minimal yang tidak bergantung pada naik turunnya volume pengiriman barang. Upah minimal ini setidaknya bisa memenuhi biaya kelayakan hidup per orang. Selain itu, kurir juga bisa mendapat upah kinerja,” tutur Zaroni.
Baca juga : Jasa Pengiriman Barang Melejit
Di sisi lain, ia tidak menampik adanya perusahaan yang bersiasat dalam mengatur pengupahan tenaga kurir alih daya tersebut. Untuk menekan pengeluaran, siasat pengupahan dengan variabel pun lebih dipilih.
Ia pun berharap asosiasi logistik dan pemerintah, khususnya yang mengatur ketenagakerjaan, dapat bekerja sama untuk menengahi kepentingan perusahaan dan pekerja. ”Kita pun bisa memakai undang-undang yang ada agar perusahaan dan pekerja sama-sama mendapatkan hak-haknya,” pungkasnya.