Pemerintah hendak menjadikan Ramadhan dan Lebaran sebagai momentum mendorong konsumsi masyarakat dan mengungkit ekonomi triwulan II-2021.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah minta perusahaan membayar tunjangan hari raya bagi pekerja secara penuh sebelum Lebaran. Pemberian THR tanpa mencicil atau menunda seperti tahun lalu itu diharapkan mendongkrak daya beli masyarakat dan memacu pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 sebesar 6,7 persen.
Kebijakan pembayaran THR keagamaan itu akan dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan yang akan disampaikan pada Senin (12/4/2021) ini.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Mugiharso mengatakan, pemberian THR oleh pengusaha kepada pekerja bersifat wajib dan harus dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum Lebaran. ”Secara umum perusahaan harus membayar penuh, tidak boleh mencicil,” kata Susiwijono saat dihubungi di Jakarta, Minggu (11/4/2021).
Secara umum perusahaan harus membayar penuh, tidak boleh mencicil.
Perusahaan yang masih terdampak pandemi Covid-19 dan belum mampu membayar THR harus lebih dulu membuktikan ketidakmampuannya kepada pekerja/buruh lewat laporan keuangan yang transparan atau bukti dari perbankan. Bagi perusahaan ini, solusi diambil lewat dialog pengusaha dan pekerja. Pemerintah daerah diminta aktif menengahi perundingan. ”Dialog harus dilaksanakan secara kekeluargaan dan itikad baik untuk membahas cara dan waktu pembayaran THR. Namun, THR harus tetap dibayarkan sebelum hari raya keagamaan,” tegasnya.
Tahun lalu, SE Menaker Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Covid-19 membolehkan perusahaan swasta menunda atau mencicil pembayaran THR hingga akhir tahun.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pengawasan dinas ketenagakerjaan di daerah akan diperkuat untuk meminta pertanggungjawaban pengusaha membuktikan ketidakmampuan serta memfasilitasi dialog bipartit antara pekerja dan pengusaha.
”Kebijakan kali ini memang akan berbeda dari tahun lalu. Pada intinya, THR tetap harus diberikan paling lambat seminggu sebelum Lebaran. Artinya, perusahaan punya waktu untuk menyiapkan. Lagi pula, THR itu, kan, sebenarnya kewajiban yang harus sudah disiapkan karena bagian dari komponen pengeluaran tetap,” katanya.
Pada intinya, THR tetap harus diberikan paling lambat seminggu sebelum Lebaran.
Keputusan diambil dengan menimbang masukan dari Dewan Pengupahan Nasional serta Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional yang terdiri dari perwakilan unsur pengusaha dan serikat pekerja/buruh. Namun, ia mengatakan, penjelasan resmi dan detail baru akan disampaikan Menaker, Senin ini.
Momentum konsumsi
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah hendak menjadikan Ramadhan dan Lebaran sebagai momentum mendorong konsumsi masyarakat dan mengungkit perekonomian triwulan II-2021. Pemerintah menargetkan perekonomian tumbuh minimal 6,7 persen pada periode April-Juni 2021. Oleh karena itu, tahun ini pengusaha tidak mendapat kelonggaran seperti tahun lalu.
”Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi triwulan I masih negatif, apabila pertumbuhan triwulan II tidak mencapai 6,7 persen, target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2021 tidak bisa tercapai,” jelasnya dalam keterangan resmi.
Konsumsi masyarakat atau rumah tangga berperan 55-57 persen dalam produk domestik bruto Indonesia.
Ketentuan pembayaran THR tahun ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan untuk Pekerja/Buruh di Perusahaan. Pengusaha yang terlambat membayar THR sesuai waktu yang ditentukan akan dikenai denda 5 persen dari total THR yang harus dibayarkan. Denda tidak menghilangkan kewajiban untuk tetap membayar THR sesuai aturan.
Transparan
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Said Iqbal berharap pemerintah dapat menegakkan kewajiban perusahaan membuka laporan keuangan secara transparan. Ia berharap SE Menaker menegaskan aturan tersebut dan THR tidak boleh dicicil.
”Apabila pembayaran THR terpaksa harus melewati pembicaraan bipartit dan dicicil, kami harap didahului dengan membuka laporan keuangan perusahaan yang rugi dua tahun berturut-turut,” katanya.
Berdasarkan data Serikat Pekerja Nasional (SPN), sampai dengan Maret 2021 masih ada 1.478 pekerja di Jabodetabek yang belum menerima THR 2020 secara utuh. Padahal, SE Menaker mengharuskan perusahaan melunasi pembayaran THR paling lambat pada akhir 2020.
Ketua Komite Advokasi Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia Darwoto mengatakan, saat ini belum semua perusahaan mulai tumbuh. ”Industri pariwisata terpuruk, tetapi hotel-hotel yang tergabung di grup besar tentu tidak ada masalah membayar THR. Beda dengan hotel-hotel kecil, yang memang tidak mampu,” ujarnya.
Saat ini belum semua perusahaan mulai tumbuh.
Menurut dia, dialog bipartit menjadi jalan tengah bagi perusahaan yang masih terdampak. ”Tetap ada perusahaan yang harus diberi kesempatan mendiskusikan dengan pekerja. Tergantung bagaimana hasil diskusinya karena yang tahu kemampuan perusahaan adalah pekerja dan manajemen perusahaan,” katanya.