Perdesaan adalah salah satu sasaran penting dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. Akurasi data di tingkat desa sangat penting dan menentukan dalam pengambilan keputusan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memulai pemutakhiran data di tingkat desa untuk mencapai program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Proses pemutakhiran yang diawali di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, itu melibatkan aparatur sipil negara di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Namun, proses terkendala persoalan teknologi informasi.
Dasar program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs ini adalah Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sasaran SDGs antara lain mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk, mengakhiri kelaparan dan mencapai ketahanan pangan, memastikan kehidupan yang sehat, serta memastikan pendidikan yang setara. Di tingkat desa, ada tambahan poin tujuan, yakni kelembagaan desa yang dinamis dan budaya desa adaptif. Rincian SDGs desa tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Di tingkat desa, ada tambahan poin tujuan, yakni kelembagaan desa yang dinamis dan budaya desa adaptif.
Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar mengatakan, pemutakhiran data dimulai pada 1 Maret 2021 dan berakhir pada 31 Mei 2021. Kegiatan ini didanai dari dana desa dan menjadi salah satu prioritas penggunaan dana desa pada tahun ini. Adapun alokasi dana desa tahun ini Rp 72 triliun.
”Kegiatan ini menggabungkan metode sensus partisipatif dengan teknologi informasi. Melalui sistem informasi desa, data yang diperoleh diunggah ke dalam aplikasi SDGs Desa dan akan menghasilkan rekomendasi sesuai masalah obyektif yang ada di desa tersebut,” ujar Abdul Halim saat dihubungi, Minggu (11/4/2021).
Data yang dikumpulkan terdiri dari data kependudukan mulai tingkat individu, keluarga, sampai rukun tetangga (RT). Data yang dihimpun antara lain usia, tingkat pendidikan, kondisi kesehatan, penghasilan, mata pencarian, dan jenis partisipasi masyarakat di lingkungan masing-masing. Data bersifat transparan sehingga warga bisa melihat potensi dan masalah di desa masing-masing sebagaimana tercantum dalam rencana kerja pemerintah desa (RKP desa).
”Ini pekerjaan besar karena menyangkut data rinci dari 74.961 desa di seluruh Indonesia yang terdiri dari sekitar 31 juta keluarga, 118 juta warga desa, yang terdiri dari sekitar 750.000 RT,” tambah Abdul Halim.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Desa Wates di Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar, M Hamid Almauludi, menyampaikan, pemutakhiran data SDGs desa membantu pemerintah desa menyusun profil desa. Data tersebut akan bermanfaat dan dijadikan pedoman saat membuat kebijakan pembangunan desa, terutama yang menyangkut sumber daya manusia dan infrastruktur. Desa Wates dihuni sekitar 2.000 keluarga yang terdiri dari 5.700-an jiwa.
”Data tersebut nanti akan berguna saat musyawarah desa dalam penyusunan program pembangunan desa. Sebelumnya, pembangunan desa datang dari usulan tokoh tertentu atau yang cukup vokal. Dengan adanya data SDGs desa tersebut, musyawarah desa memiliki basis data yang valid ketimbang hanya usulan-usulan semata,” ujar Hamid.
Salah seorang sukarelawan desa yang bertugas dalam pendataan di Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, Lela Setyaningsih, saat dihubungi mengaku, kendala pendataan terletak pada sistem aplikasi digital. Tak semua wilayah di Kecamatan Wates terjangkau jaringan internet. Kadang kala pencatatan dilakukan secara manual dan diunggah ke aplikasi setelah berada di wilayah yang terjangkau jaringan internet.
Kendala pendataan terletak pada sistem aplikasi digital.
Beban Indonesia di masa pandemi semakin bertambah berat, dengan pencapaian skor indeks SDGs Indonesia dalam Sustainable Development Report (SDR) 2020 di peringkat ke-101 dari 166 negara. Tahun sebelumnya, Indonesia berada di peringkat ke-102 dari 162 negara (Kompas.id, 20 Juli 2020).