Perang harga di e-dagang kian menekan pelaku UMKM. Agar tidak bergantung pada e-dagang, mereka berhimpun dalam komunitas sambil meningkatkan kemampuan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Kelompok perbincangan dalam jaringan diwarnai berbagai kata berbau promosi. Perumus kalimat, yakni pemilik barang dagangan, meminta koreksi dan masukan atas berbagai kata itu. Sebagian kata yang dimaknai iklan menuai masukan.
Interaksi itu tergambar dalam kelompok obrolan daring ”Komunitas Bikin Konten by Finda Febriana” yang mayoritas anggotanya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). ”Komunitas ini dibentuk agar pelaku UMKM dapat menjadi kuat bareng-bareng serta menjadi tuan rumah di negara sendiri. Saya sudah mengadakan kelas daring lewat Zoom dan mereka merasa dapat belajar,” kata Finda Febriana, pemilik usaha kerajinan aksesori Findyka.com, saat dihubungi, Jumat (9/4/2021).
Finda kerap berbagi konten di akun media sosial mengenai produk dalam negeri. Akibatnya, cukup banyak pelaku UMKM produk lokal yang bergabung dalam perbincangan daring, seperti pembuat aksesori, makanan-minuman, mode, dan lulur. Di akun Instagram Finda, sebanyak 1.149 orang bergabung dalam kelompok obrolan itu hingga Minggu.
Obrolan sederhana namun penting bagi pelaku UMKM, antara lain, perihal cara menulis kalimat promosi serta strategi berjualan dan memasarkan produk melalui akun media sosial dan laman dagang pribadi. Sarana pemasaran yang digunakan terdiri dari media sosial dan laman dagangan pribadi.
Finda berharap, pelaku UMKM dapat menguatkan citra bisnis dan produknya. Dengan demikian, pelaku UMKM tak hanya mengandalkan bisnis pada perdagangan secara elektronik, tetapi bisa berdiri sendiri dan berkembang.
Kelompok obrolan yang belum genap sebulan itu hadir untuk mewadahi pelaku UMKM yang merasakan kian tertekan perang harga di e-dagang. Mereka berbagi ide dan cara menghadapi perang harga.
Pelaku UMKM tak hanya mengandalkan bisnis pada perdagangan secara elektronik, tetapi bisa berdiri sendiri dan berkembang.
”Bagi saya dan teman-teman perajin, dampak perang harga terasa sekali. Misalnya, saya dan beberapa perajin membuat bros untuk jilbab dan dijual seharga Rp 25.000-Rp 30.000 per buah. Sekitar dua pekan kemudian, muncul barang serupa dengan harga Rp 5.000 per buah yang diimpor dari China. Kualitasnya memang jauh di bawah produk kami. Akan tetapi, banyak konsumen yang protes pada kami dan membanding-bandingkan harga,” tuturnya.
Sejumlah pembeli memilih produk impor dari China jika pertimbangannya harga.
Ada juga komunitas yang menggunakan aplikasi pesan Whatsapp. Melalui tautan s.id/UKMJUWARA, masyarakat dapat melihat-lihat produk UMKM lengkap dengan foto, harga, dan deskripsi produk. Karena terintegrasi dengan Whatsapp, pembeli dapat mengklik nomor penjual dan mengirim pesan langsung.
Co-founder UKMIndonesia.id Dewi Meisari berharap kanal penjualan itu dapat dikenal masyarakat luas. Dia ingin menunjukkan, produk UMKM dalam negeri tak kalah keren.
Manajer Kebijakan Publik Whatsapp Indonesia Esther Samboh menyebutkan, fasilitas Whatsapp Business merupakan dukungan terhadap UMKM lokal untuk mempromosikan produk. Fasilitas itu juga membantu UMKM berkomunikasi dengan pelanggan.
Fasilitas itu juga membantu UMKM berkomunikasi dengan pelanggan.
CEO dan Co-Founder Goodvibes Botanical Gina Priadini yang produknya juga ada di katalog itu menuturkan, rincian konten deskripsi yang disajikan perlu lebih spesifik. Ia mencontohkan, bahan yang digunakan, cara penggunaan atau konsumsi, dan tanggal kedaluwarsa. Ketajaman mendeskripsikan produk dagangan menggambarkan kematangan pelaku UMKM dalam berbisnis.
Banyak cara menjual produk dan berinteraksi dengan konsumen di jagat maya. Sembari menunggu pemerintah menuntaskan persoalan perang harga di e-dagang, UMKM dapat mencari celah untuk menawarkan produk mereka.