Ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19 masih menyelimuti. Strategi pemerintah, antara lain, menyesuaikan aturan dan kebijakan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menangkal risiko kontraksi ekonomi di tengah situasi ketidakpastian ekonomi yang berlanjut akibat pandemi Covid-19. Penyesuaian terhadap kebijakan merupakan bagian strategi pemerintah untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional.
Dalam Sarasehan Akselerasi Pemulihan Ekonomi Nasional di Bali yang disiarkan secara virtual, Jumat (9/4/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, sejumlah revisi terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan berbagai faktor ketidakpastian.
Hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi sekaligus memitigasi ketidakpastian yang masih akan menyelimuti ekonomi RI sepanjang 2021 adalah dengan menyesuaikan kebijakan dan peraturan.
Pemerintah terus berusaha memberikan kebijakan-kebijakan yang bisa menumbuhkan ekonomi nasional. Sisi yang bisa bisa pemerintah kontrol adalah melakukan penyesuaian (kebijakan) untuk menahan kontraksi tidak terlalu dalam. (Sri Mulyani)
”Pemerintah terus berusaha memberikan kebijakan-kebijakan yang bisa menumbuhkan ekonomi nasional. Sisi yang bisa dikontrol pemerintah adalah melakukan penyesuaian (kebijakan) untuk menahan kontraksi tidak terlalu dalam,” ujarnya.
Salah satu contoh langkah pemerintah adalah rencana menyesuaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 final. Penyesuaian akan diterapkan di luar penghasilan rutin setiap bulan, berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD.
Kementerian Keuangan juga telah mengeluarkan relaksasi penjaminan kredit sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32/PMK.08/2021. Dengan kebijakan ini, penjaminan kredit bisa diajukan perusahaan yang memiliki karyawan minimal 50 orang atau lebih sedikit daripada aturan sebelumnya, yakni minimal 300 karyawan.
Sri Mulyani mengklaim penyesuaian kebijakan yang pemerintah lakukan sepanjang tahun lalu telah efektif menangkal suramnya dampak pandemi terhadap ekonomi Indonesia. Hal ini terbukti lewat realisasi pertumbuhan tahun lalu yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain.
Pada periode yang sama, lanjut Sri Mulyani, perekonomian negara-negara dengan level ekonomi setara Indonesia terkontraksi 8-10 persen. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu dijaga pada negatif 2,07 persen.
”Pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif 2 persen dengan defisit fiskal yang relatif lebih kecil, yakni 6 persen. Tahun 2021 kita melakukan berbagai penyesuaian sesudah cukup berhasil menahan kontraksi agar tidak terlalu dalam,” kata Sri Mulyani.
Dalam APBN 2021, anggaran PEN meningkat 22 persen dari 2020 menjadi Rp 699,43 triliun. Angka ini ditujukan untuk sektor kesehatan Rp176,30 triliun, dukungan sosial (Rp 157,41 triliun), dukungan UMKM dan korporasi (Rp 184,83 triliun), insentif usaha sebesar (Rp 58,46 triliun), serta dukungan program prioritas (Rp 122,44 triliun).
Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, penyaluran kredit perbankan pada awal 2021 masih terkontraksi meski sudah menunjukkan perbaikan. Hingga Februari 2021, penyaluran kredit perbankan tumbuh negatif 2,15 persen secara tahunan.
Menurut Wimboh, penyaluran kredit perbankan yang masih terkontraksi lebih banyak disebabkan laju pertumbuhan kredit korporasi yang tertahan hingga negatif 3,75 persen secara tahunan.
”Kondisi ini disebabkan oleh permintaan yang belum tumbuh sehingga proses pemulihan kredit besar atau kredit korporasi menjadi terhambat,” ujarnya.
OJK telah memantau sekitar 200 debitor korporasi besar sejak Maret 2020 hingga Februari 2021. Dari seluruh debitor yang dipantau, 116 debitor mengalami penurunan baki debet dengan rata-rata penurunan 17,5 persen. Adapun penurunan baki kredit terbesar mencapai 32 persen atau sebesar Rp 107,2 triliun.
Hal ini, lanjut Wimboh, menjadi sinyal bagi pemerintah untuk mempercepat stimulus permintaan agar operasional debitor besar, yakni yang berhubungan dengan pariwisata, transportasi, dan properti, bisa kembali normal.
”Hal ini perlu mendapat perhatian serius sehingga bisa cepat bangkit dalam mengantisipasi kenaikan permintaan yang kita stimulasi secara sinergi dengan pemerintah sejak awal 2021,” ujarnya.
Pelonggaran likuiditas
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan, Bank Indonesia akan terus mengarahkan stimulus moneter dan kebijakan makroprudensial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Caranya, antara lain, melalui sinergi bersama pemerintah, otoritas, dan berbagai pihak.
”Untuk menjaga kelonggaran likuiditas perbankan, BI secara aktif telah meluncurkan beragam stimulus hingga penurunan suku bunga acuan,” ujarnya.
Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin atau 1,5 persen sejak 2020 menjadi 3,50 persen dan menginjeksi likuiditas pelonggaran kuantitatif sebesar Rp 796,6 triliun atau 5,15 persen PDB.
Untuk menjaga kelonggaran likuiditas perbankan, BI secara aktif telah meluncurkan beragam stimulus hingga penurunan suku bunga acuan. (Perry Warjiyo)
Dihubungi terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy, mengatakan, perbaikan keyakinan konsumen dan permintaan konsumsi domestik hanya bisa terjadi jika aktivitas ekonomi meningkat.
”Melalui peningkatan aktivitas ekonomi, maka permintaan barang dan jasa meningkat, lalu ada peningkatan impor seiring peningkatan aktivitas industri manufaktur,” kata Yusuf.
Apabila ekonomi bisa dipertahankan, bahkan bisa meningkat, maka kepercayaan dan keyakinan masyarakat akan meningkat. Hal ini akan berpengaruh pada perbaikan ekspektasi dan prospek ekonomi domestik di masa mendatang.