Pola pikir pengelolaan sumber daya tambang Indonesia harus diubah dari komoditas menjadi modal pembangunan ekonomi dalam negeri. Menjadikan sebagai komoditas tidak akan menciptakan keberlanjutan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Gali dan jual. Begitulah sifat batubara sebagai komoditas tambang di Indonesia yang diperjualbelikan untuk meraup untung. Harga batubara yang tinggi kerap menjadi godaan bagi perusahaan untuk memacu produksi lebih tinggi.
Di masa lalu, harga batubara pernah menyentuh level 100-an dollar AS per ton. Juga pernah di angka 30-an dollar AS per ton. Sebagai sebuah komoditas, naik turun harga adalah hal wajar dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, yaitu permintaan dan pasokan.
Permintaan yang tinggi dapat menyebabkan kenaikan harga. Sebaliknya, pasokan yang melimpah juga bisa membuat harga terjun bebas, apalagi dibarengi dengan permintaan yang melemah. Seperti yang disampaikan di awal tulisan ini, harga yang tinggi menggoda petambang untuk kian eksploitatif.
Di sinilah letak kekhawatiran itu, seperti yang dilontarkan para pemerhati lingkungan. Sebagaimana sifat tambang yang mengubah bentang alam, daya dukung lahan dikhawatirkan terganggu akibat sifat eksploitatif tersebut. Banjir bandang di Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu disinyalir dipengaruhi oleh penambangan batubara yang merajalela selain oleh tingginya curah hujan.
Sebagaimana sifat tambang yang mengubah bentang alam, daya dukung lahan dikhawatirkan terganggu akibat sifat eksploitatif tersebut.
Namun, sekali lagi, godaan panen dollar AS kerap meminggirkan aspek keseimbangan alam. Hal itu sudah terbukti saat target produksi batubara dibatasi menjadi 400 juta ton pada 2019 sesuai acuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, justru membengkak menjadi lebih dari 610 juta ton. Alasan waktu itu adalah harga batubara sedang ”bagus”.
Batubara, bersama komoditas sumber daya alam lainnya, seperti minyak dan gas bumi, masih menjadi andalan sumber penerimaan negara. Sumber daya tersebut menjadi primadona untuk diperjualbelikan, bukan untuk modal pembangunan di dalam negeri. Bukan pula untuk ditingkatkan nilai tambahnya.
Begitu pula mineral. Berpuluh tahun lamanya Indonesia mengekspor mineral mentah (bijih), seperti bijih bauksit, tembaga, atau nikel. Menjual tanah air dalam arti sebenarnya sudah pernah terjadi dan berlangsung lama.
Mineral mentah itu sama sekali tak diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Padahal, apabila diolah dan dimurnikan, nilai jualnya jauh lebih tinggi. Selain berdampak ganda pada perekonomian nasional, mineral hasil pengolahan dan pemurnian dapat mendukung penguatan industri di dalam negeri.
Peningkatan nilai tambah batubara, meski belum sepenuhnya terealisasi, telah menunjukkan sinyal positif.
Kabar baiknya adalah pemerintah sudah mulai sadar dan melarang ekspor mineral mentah. Kewajiban mengolah dan memurnikan di dalam negeri mulai diterapkan. Peningkatan nilai tambah batubara, meski belum sepenuhnya terealisasi, telah menunjukkan sinyal positif.
Gasifikasi batubara menjadi dimetil eter dan metanol mulai diinisiasi oleh badan usaha domestik. Adalah PT Bukit Asam Tbk yang bakal menggarap proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter yang berfungsi sebagai pengganti elpiji. Sementara Grup Bakrie, melalui PT Bakrie Capital Indonesia, akan menggarap gasifikasi batubara menjadi metanol. Keduanya termasuk dalam proyek strategis nasional dan diharapkan beroperasi komersial pada 2024.
Pemerintah harus bisa memastikan bahwa menggenjot produksi tak semata-mata urusan penambahan devisa, tetapi keberlanjutan ekonomi di dalam negeri. Ekspor besar-besar gas alam Arun di Lhokseumawe, Aceh, di masa lalu, terbukti tak membuat wilayah tersebut makmur. Gas yang dijadikan komoditas menciptakan ketergantungan ekonomi dan mendadak semua manfaat hilang saat sumur gas mengering.
Sekali lagi, prinsip bahwa sumber daya alam sebagai modal pembangunan ekonomi di dalam negeri harus dipegang teguh. Bukan dieksploitasi dan dijual yang kemudian hasilnya habis untuk konsumsi.