Pemerintah mesti memperkuat kontrol sejak importasi hingga distribusi agar rembesan gula industri tak mengganggu gula petani. Audit harus dilakukan untuk mengidentifikasi produksi dan jalur distribusi gula rafinasi.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi baru tentang jaminan ketersediaan bahan baku industri gula memperlebar potensi rembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi. Pemerintah diminta melakukan audit menyeluruh untuk mengidentifikasi perusahaan yang melanggar jalur distribusi dan mengganggu serapan gula petani. Sanksi ke perusahaan ”nakal” harus ditegakkan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Jumat (9/4/2021), mengatakan, permasalahan gula terjadi sistematis sejak hulu sampai hilir. Problem terjadi sejak tahap perencanaan kuota dan rekomendasi izin importasi hingga distribusi hasil olahan gula di lapangan.
Potensi rembesan terbuka ketika pemerintah memberikan kuota impor gula mentah untuk memproduksi gula rafinasi melebihi kapasitas perusahaan yang sebenarnya. Hal itu salah satunya disebabkan oleh masih lemahnya persiapan peta jalan kebutuhan gula industri. Potensi rembesan berikutnya terjadi karena lemahnya kontrol saat proses distribusi hasil olahan gula.
”Sekarang saja, di pasar daring (online), gula rafinasi bisa dibeli secara bebas oleh konsumen. Padahal, gula rafinasi seharusnya hanya boleh dibeli oleh industri pengguna, seperti industri makanan minuman,” kata Tauhid saat dihubungi di Jakarta, Jumat (9/4/2021).
Kehadiran Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional diyakini tidak akan banyak mengubah keadaan, malah memperburuk situasi.
Meski Kementerian Perindustrian berdalih regulasi baru itu bertujuan menegaskan alur produksi agar industri berbasis tebu fokus mengolah gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi dan industri rafinasi fokus mengolah gula kristal rafinasi (GKR), beberapa pasal di dalamnya justru membuka celah untuk rembesan gula rafinasi.
Sebagai contoh, Pasal 3 Ayat (5) Permenperin No 3/2021 yang mengatur bahwa dalam hal terdapat perubahan tempat pemasukan bongkar muat gula impor mentah untuk rafinasi, tidak diperlukan perubahan rekomendasi izin impor.
”Permenperin justru membuat potensi rembesan lebih tinggi dengan persyaratan bahwa untuk mendapat rekomendasi impor tidak diperlukan kontrak jual beli antara importir dan industri pengguna. Selain itu, tidak perlu rekomendasi perubahan ketentuan tempat pemasukan gula,” ujar Tauhid.
Pemerintah harus memperkuat kontrol sejak proses importasi hingga distribusi dan penjualan gula agar rembesan gula industri tidak mengganggu serapan gula petani. Audit menyeluruh harus dilakukan untuk mengidentifikasi perusahaan yang melanggar jalur distribusi dan mengganggu serapan gula petani.
”Belajar dari pengalaman Kementerian Keuangan menangani rokok ilegal, harus ada survei dan audit rutin oleh tim independen untuk melihat praktik-praktik ilegal itu terjadi di mana saja. Dari temuan itu, pemerintah melakukan tindakan sampai ranah hukum,” katanya.
Saat ini, menurut dia, pemerintah jarang mengadakan audit dan survei. Dengan lemahnya kontrol itu, tidak heran jika rembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi masih sering ditemukan. Praktik rembesan itu merugikan para petani tebu karena membuat gula petani kalah saing dan akhirnya tidak terserap.
”Kalaupun ada, sifatnya tidak rutin. Kebanyakan menunggu ada kasus dan laporan dulu. Pengawasan tidak proaktif sehingga banyak pelanggaran yang akhirnya tidak teridentifikasi. Sampai saat ini, tidak ada data resmi berapa persen rembesan gula rafinasi itu,” ujarnya.
Selain mengaudit perusahaan yang melanggar alur distribusi, anggota Komisi VI DPR, Nusron Wahid, mengatakan, pemerintah harus mengaudit pabrik gula rafinasi yang tidak memenuhi komitmen untuk menampung dan menyerap gula petani tebu setidaknya 20 persen sesuai dengan amanat Permenperin No 10/2017.
Menurut Nusron, faktanya, selama ini hanya sedikit pabrik gula yang merealisasikan komitmen itu. ”Faktanya, tidak ada yang menampung sesuai kuota 20 persen, hanya kurang dari 5 persen. Jadi, hanya sebagai kamuflase saja, seakan-akan sudah menampung gula petani,” kata Nusron.
Dari hasil audit, jika ditemukan pabrik gula yang tidak menampung gula petani sesuai komitmen, penegakan hukum harus diperketat. ”Harus dikenai sanksi, mulai dari menyetop izin impor gula sampai mencabut izin usaha,” ujar Nusron dalam diskusi panel di acara pembukaan Rapat Kerja Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI).
Pelanggaran
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PTKN) Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono mengatakan, alur distribusi untuk industri gula rafinasi dan industri gula berbasis tebu sebenarnya sudah jelas. Namun, pada penerapannya, kerap terjadi pelanggaran dari industri rafinasi yang mendapat izin impor ataupun industri penggunanya.
Peraturan Menteri Perdagangan No 1/2019 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi mengatur, gula kristal rafinasi dilarang untuk dijual di pasar konsumsi. Produsen gula rafinasi juga tidak diperbolehkan menjual produksi mereka ke distributor, pedagang pengecer, ataupun kepada konsumen, tetapi langsung ke industri pengguna gula.
Ketentuan ini juga terdapat di Peraturan Menteri Perdagangan No 14/2020 tentang Ketentuan Impor Gula. ”Jadi, dari hulu, batasannya sudah jelas. Namun, dari hasil pengawasan kami, dalam rangka distribusi memang masih banyak ditemukan pelanggaran, seperti industri makanan dan minuman yang ujung-ujungnya jadi pedagang juga dan menjual ke masyarakat,” kata Veri.
Ia memaparkan, ada kalanya industri rafinasi menjual gula dalam jumlah yang melebihi kapasitas industri pengguna. Misalnya, industri makanan dan minuman hanya butuh 3.000 ton GKR untuk produksi, tetapi mereka membeli GKR hingga 5.000 ton dari industri rafinasi. Kelebihan pasokan gula rafinasi itu yang kemudian dijual ulang ke masyarakat.
Menurut Veri, selain pemerintah yang harus memperkuat kontrol dan pengawasan, para pelaku industri juga harus disiplin. ”Kami berpesan ke industri rafinasi agar, ketika mengalokasikan gula ke industri makanan dan minuman, jangan hanya melihat dokumen saja, tetapi luangkan waktu mengecek kapasitas industrinya. Betul tidak produksinya membutuhkan gula sebanyak itu,” ujarnya.