Warga Mempertimbangkan Mudik Lebih Awal atau Setelah Lebaran
Pelarangan mudik dalam kurun 6-17 Mei 2021 membuat warga dan perusahaan otobus dilema.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga mempertimbangkan kembali waktu untuk pulang kampung setelah pemerintah menerbitkan kebijakan larangan mudik Lebaran selama 6-17 Mei 2021. Mereka khawatir kendaraan yang ditumpangi harus putar balik di tengah jalan karena adanya penyekatan oleh kepolisian seperti mudik pada 2020.
Pelarangan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Dalam beleid, pemerintah melarang penggunaan atau pengoperasian sarana transportasi selama 6-17 Mei 2021 untuk semua moda transportasi, yakni darat, laut, udara, dan perkeretapian.
Sri Wahyuni (49), ibu rumah tangga di Grogol Utara, Jakarta Selatan, masih berdiskusi dengan keluarga dalam menetapkan tanggal untuk mudik ke Solo, Jawa Tengah. Pilihan mereka adalah mudik lebih awal atau seusai Lebaran.
”Kayaknya mudik setelah Lebaran saja karena anak belum cuti. Kami juga berencana pakai mobil pribadi supaya tidak putar balik,” kata Sri, Jumat (9/4/2021).
Pada mudik Lebaran 2020, masa awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia, keluarga Sri gagal mudik ke kampung halaman karena bus yang ditumpangi diperintahkan oleh aparat kepolisian untuk putar balik ke Jakarta.
Pada 2020, pemerintah juga mengeluarkan larangan mudik melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Larangan mudik berlaku mulai 24 April hingga 31 Mei 2020 (Kompas, 23 April 2020).
Pada masa itu, kepolisan melalui Operasi Ketupat 2020 menyekat transportasi di titik tertentu. Petugas gabungan memeriksa kendaraan warga untuk memastikan apakah perjalanan untuk mudik atau tidak. Apabila terindikasi hendak mudik, warga akan langsung diminta putar balik ke titik awal perjalanan.
Asep (27), pemilik warung kopi di Gelora, Jakarta Pusat, juga mempertimbangkan kembali waktu untuk mudik ke Kuningan, Jawa Barat. Semula ia berencana mudik pada 8 Mei atau 9 Mei, tetapi rencana itu ia batalkan karena pemerintah telah melarang mudik selama 6-17 Mei.
”Mungkin mudik lebih awal karena omzet warung juga kurang bagus saat bulan Ramadhan (selama bulan puasa),” kata Asep.
Mungkin mudik lebih awal karena omzet warung juga kurang bagus saat bulan Ramadhan.
Tahun lalu, meski pada masa itu pemerintah juga melarang warga untuk mudik, Asep dan ayahnya nekat pulang kampung dengan menumpangi travel gelap, tanpa izin trayek. Sopir travel meminta bayaran Rp 300.000 per orang dengan rute melalui jalan permukiman atau perkampungan warga untuk menghindari penyekatan kendaraan di jalan utama yang dilakukan polisi. Biaya itu jauh lebih mahal ketimbang ongkos bus seharga Rp 80.000.
Namun, untuk mudik kali, diakui Asep, ia kemungkin besar tidak akan lagi menggunakan jasa travel gelap karena pendapatannya berjualan masih tipis akibat pelemahan ekonomi selama pandemi. ”Kali ini tidak naik travel gelap karena omzet warung kopi sedang menurun. Jadi, sabar dulu, tunggu perkembangan situasi. Kemungkinan, sih, naik bus,” ucapnya.
Takut rugi
Di kalangan perusahaan otobus (PO), pelarangan mudik ini direspons dengan menunda penjualan tiket mudik. Mereka mengaku tidak ingin merugi seperti tahun lalu karena harus putar balik di tengah jalan.
M Lamo, agen PO Zentrum di Terminal Grogol, mengatakan, pihaknya belum menjual tiket mudik karena tidak ingin merugi seperti pada 2020. Menurut dia, selama mudik tahun lalu hampir semua bus yang keluar Jakarta diminta putar balik ke terminal keberangkatan oleh kepolisian.
”Sekarang belum jual (tiket mudik) soalnya takut kayak tahun lalu,” ucapnya.
Menurut Lamo, hingga saat ini, ada saja calon penumpang yang datang ke kios penjualan tiket bus, tetapi itu sebatas mencari informasi terkait perkembangan larangan mudik. ”Mereka (penumpang) juga khawatir seperti kami, khawatir bus akan diminta putar balik,” ucap Lamo.
Adapun menjelang bulan puasa ini, PO Zentrum tetap beroperasi seperti biasa dan tidak menambah armada akibat adanya larangan mudik. Dari Terminal Grogol, PO ini mengangkut 10-15 penumpang per bus setiap harinya.
Edi Nugroho, agen PO Rosalia Indah di Terminal Terpadu Pulo Gebang, Jakarta Timur, juga mengatakan bahwa pihaknya belum menjual tiket mudik karena ada pelarangan mudik. Ia mengatakan akan mematuhi larangan itu karena, seperti musim mudik tahun lalu, perusahaan bisa merugi akibat harus mengembalikan 100 persen uang tiket penumpang imbas penyekatan kendaraan.
Menurut Edi, calon penumpang yang datang ke kios agen juga sebatas bertanya tentang tiket mudik. Mereka pun masih menunggu kepastian pelarangan mudik supaya tidak terulang kejadian seperti tahun lalu.
”Sejauh ini, perusahaan hanya siapkan armada reguler seperti biasa. Kami masih menunggu perkembangan situasi supaya tidak merugi,” ujar Edi.
Mau jual tiket bus, tetapi nanti bus tidak boleh lewat. Kena penyekatan, putar balik, ganti uang penumpang. Bukan untung malah buntung.
Suratno, agen PO Agra Mas di Terminal Kalideres, Jakarta Barat, juga masih menunggu informasi lebih lanjut dari perusahaan untuk penjualan tiket mudik. Sebab, pelarangan mudik tahun lalu berujung pengembalian uang tiket penumpang sehingga perusahaan merugi.
”Mau jual tiket bus (untuk mudik Lebaran), tetapi nanti bus tidak boleh lewat. Kena penyekatan, putar balik, ganti uang penumpang. Bukan untung malah buntung,” ucap Suratno.