Permenperin Nomor 3/2021 Dinilai Tak Berpihak bagi PG Berbasis Tebu dan Petani
Peraturan terbaru Menteri Perindustrian tentang jaminan ketersediaan bahan baku industri gula dalam rangka pemenuhan kebutuhan gula nasional berpotensi memperbesar impor ”raw sugar”.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI/AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Peraturan terbaru menteri perindustrian tentang jaminan ketersediaan bahan baku industri gula dalam rangka pemenuhan kebutuhan gula nasional berpotensi memperbesar impor raw sugar. Importasi itu diperuntukkan bagi pabrik tertentu yang disinyalir memproduksi gula rafinasi dan tertutup bagi pabrik berbasis tebu. Implikasinya, upaya memaksimalkan kapasitas produksi tidak tercapai.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Gula Indonesia Aris Toharisman mengatakan, sesuai dengan aturan tersebut, pabrik gula (PG) berbasis tebu yang dibangun sebelum 2010 tidak bisa memperoleh alokasi raw sugar. Hal itu dinilai tidak adil dan berimplikasi berat terhadap PG yang dibangun sebelum 2010.
Padahal, PG inilah yang mengolah tebu produksi petani. Saat ini, PG berbasis tebu mengalami masalah terkait dengan kapasitas tidak terpakai yang cukup besar karena kekurangan bahan baku produksi. Implikasinya, biaya produksi menjadi tidak efisien dan PG tak bisa memberikan keuntungan lebih besar kepada petani.
”Mayoritas PG berbasis tebu dibangun sebelum 2010 bahkan zaman Belanda. Jumlahnya lebih dari 60 PG,” ujar Aris Toharisman, Kamis (8/4/2021).
Aris menilai, Permenperin Nomor 3 Tahun 2021 ini bertujuan memperbesar peluang impor raw sugar bagi industri gula rafinasi dengan dalih menjaga stalibitas dan menjamin keberlangsungan usaha mereka. Menurutn dia, apabila pemerintah menghendaki importasi raw sugar untuk mengisi kapasitas yang tidak terpakai, kebijakan itu seharusnya berlaku juga bagi PG berbasis tebu.
PG berbasis tebu telah lama mengalami idle capacity dengan jumlah yang signifikan. Mayoritas PG berbasis tebu rata-rata tingkat utilitasnya hanya 70 persen. Sementara itu, 30 persen kapasitasnya tidak terpakai atau termanfaatkan karena kurangnya pasokan bahan baku tebu dari petani.
Mayoritas PG berbasis tebu dibangun sebelum 2010, bahkan zaman Belanda. Jumlahnya lebih dari 60 PG.
Dengan utilitas 70 persen, produksi Gula Kristal Putih yang dihasilkan hanya 2,1-2,2 juta ton. Padahal, apabila kapasitas pabrik gula berbasis tebu ini dioptimalkan, bisa memproduksi hingga 3,2 juta ton atau menambah produksi minimal 1 juta ton. Penambahan produksi yang berasal dari raw sugar impor ini diyakini tidak berdampak pada serapan tebu petani.
Sebaliknya, dengan kapasitas produksi yang maksimal, biaya produksi menjadi lebih murah dan efisien. Margin yang diperoleh lebih besar dan penyerapan tenaga kerja lebih optimal karena masa giling lebih panjang. Saat ini, rata-rata PG di Jatim beroperasi 94 hari, jauh dari normalnya 150 hari.
Sementara itu, Ketua Harian APTRI PTPN XI Sunardi Edy Sukamto mengatakan, petani mendukung impor raw sugar bagi PG berbasis tebu dengan tujuan memaksimalkan kapasitas produksi. Alasannya, dengan kapasitas produksi yang maksimal, biaya produksi gula lebih efisien.
Agar tebu petani bisa diserap semuanya oleh pabrik, impor raw sugar harus diatur secara rigid. Misalnya, impor raw sugar tidak boleh dilakukan saat masa panen tebu, bahkan beberapa sebelumnya harus sudah dihentikan. Kuota impor raw sugar dibatasi sesuai dengan kapasitas mesin produksi yang tidak terpakai. Untuk memastikan hal itu perlu audit.
Sekretaris APTRI PTPN XI Satuki menambahkan, impor raw sugar berdampak pada petani apabila dilakukan saat panen dan masa giling. Impor saat panen akan mengancam serapan tebu produksi petani oleh PG.
Sementara itu, impor setelah masa panen akan memengaruhi stabilitas harga gula di pasar. Dikhawatirkan, apabila impor terus berjalan, barang akan berlimpah sehingga harga gula petani jatuh. Terkait dengan kebijakan importasi gula, sebaiknya dikaji lagi oleh pemerintah.