Regulasi dan pengawasan yang longgar serta selisih harga membuat potensi rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi terus terjadi. Pemerintah mesti memperkuat kontrol untuk mencegah rembesan bertambah besar.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi baru tentang jaminan ketersediaan bahan baku industri gula tidak serta-merta menutup celah rembesan gula rafinasi masuk ke pasar konsumsi. Pemerintah harus memperkuat kontrol impor dan pengawasan distribusi untuk menjamin tidak ada rembesan gula industri yang mengganggu serapan gula petani ataupun pasokan bahan baku industri.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengatakan, hasil produksi gula kristal rafinasi (GKR) yang merembes ke pasar konsumsi telah menjadi persoalan yang berulang dari tahun ke tahun. GKR seharusnya hanya untuk kebutuhan industri pengguna, seperti industri makanan-minuman (mamin).
Regulasi yang longgar serta ketidakseimbangan suplai dan permintaan di pasar gula membuat potensi rembesan terus-menerus terjadi. ”Ada banyak celah penyelundupan dan rembesan yang tidak semestinya karena gap supply-demand serta regulasi dan kontrol yang lemah. Bagaimana petani dan industri dalam negeri bisa bersaing jika impor gula begitu mudah masuk, dengan harga yang lebih murah pula,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (8/4/2021).
Kehadiran Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional diyakini tidak akan banyak mengubah keadaan, malah memperburuk situasi.
Meski Kementerian Perindustrian berdalih regulasi baru itu bertujuan untuk menegaskan alur produksi agar industri berbasis tebu fokus mengolah gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi dan industri rafinasi fokus mengolah GKR, beberapa pasal di dalamnya justru membuka celah untuk rembesan gula rafinasi.
Sebagai contoh, Pasal 3 Ayat (5) Permenperin No 3/2021 yang mengatur bahwa dalam hal terdapat perubahan tempat pemasukan gula impor mentah untuk rafinasi, tidak diperlukan perubahan rekomendasi izin impor.
”Pemerintah seharusnya mengontrol impor agar tidak berlebihan, sembari memastikan bahwa bahan baku industri dalam negeri bisa terpenuhi. Namun, pada kenyataannya, regulasi ini justru berpotensi mengganggu stabilitas pasokan dan harga gula petani,” ujar Faisal.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PTKN) Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono mengatakan, alur distribusi untuk industri gula rafinasi dan industri gula berbasis tebu sebenarnya sudah jelas. Namun, pada penerapannya, kerap terjadi pelanggaran dari industri rafinasi yang mendapat izin impor ataupun industri penggunanya.
Peraturan Menteri Perdagangan No 1/2019 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi mengatur, gula kristal rafinasi dilarang untuk dijual di pasar konsumsi. Produsen gula rafinasi juga tidak diperbolehkan menjual produksi mereka ke distributor, pedagang pengecer, ataupun kepada konsumen, tetapi langsung ke industri pengguna gula.
Peraturan Menteri Perdagangan No 14/2020 tentang Ketentuan Impor Gula juga mengatur, importir gula mentah untuk gula rafinasi dilarang memperdagangkan dan mendistribusikan gula rafinasi selain untuk kebutuhan industri.
”Jadi, dari hulu, batasannya sudah jelas. Namun, dari hasil pengawasan kami, dalam rangka distribusi memang masih banyak ditemukan pelanggaran, seperti industri mamin yang ujung-ujungnya jadi pedagang juga dan menjual ke masyarakat,” kata Veri.
Ia memaparkan, ada kalanya industri rafinasi menjual gula dalam jumlah yang melebihi kapasitas industri pengguna. Misalnya, industri makanan dan minuman hanya butuh 3.000 ton GKR untuk produksi, tetapi mereka membeli GKR hingga 5.000 ton dari industri rafinasi. Kelebihan pasokan gula rafinasi itu yang kemudian dijual ulang ke masyarakat.
Menurut Veri, selain pemerintah yang harus memperkuat kontrol dan pengawasan, para pelaku industri juga harus disiplin. ”Kami berpesan ke industri rafinasi agar, ketika mengalokasikan gula ke industri mamin, jangan hanya melihat dokumen saja, tetapi luangkan waktu mengecek kapasitas industrinya. Betul tidak produksinya membutuhkan gula sebanyak itu,” ujarnya.