Tingginya permintaan dari luar negeri dinilai mendasari maraknya penyelundupan benih lobster pascapenghentian sementara ekspornya sejak November 2020. Ombudsman RI menemukan dugaan malaadministrasi terkait kebijakan itu.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini/Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelundupan benih bening lobster ke luar negeri kembali marak setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan menghentikan sementara ekspornya sejak 26 November 2020. Para penyelundup menggunakan beragam modus untuk memenuhi permintaan benih dari luar negeri.
Menurut Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP) Rina, maraknya penyelundupan itu dipicu oleh tingginya kebutuhan benih lobster dari Vietnam. ”Kami memperkuat koordinasi dengan Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) Polri, kepolisian daerah, dan instansi terkait di bandara,” kata Rina, Kamis (8/4/2021).
Kepala Pusat Karantina Ikan BKIPM-KKP Riza Priyatna menambahkan, ekspor ilegal benih bening lobster beberapa tahun terakhir dilakukan dengan beragam modus. Benih yang diekspor antara lain disamarkan dengan dicampur sayuran, dibungkus pakaian, dicampur dengan alat elektronik, atau dibungkus aluminium foil.
Selain itu, pengemasan tidak menggunakan air alias kering, menggunakan kardus dan karung, serta menggunakan kayu, seperti barang pindahan. ”Modus penyelundupan benih bening lobster tahun ini diduga akan mengulang modus serupa pada tahun-tahun sebelumnya,” kata Riza.
Sebelumnya, Selasa (6/4/2021), aparat gabungan Polres Bandara Soekarno-Hatta, Bea dan Cukai, serta BKIPM-KKP menggagalkan penyelundupan 72.290 ekor benih lobster yang akan dikirim menuju Singapura dengan pesawat kargo Garuda Indonesia. Benih itu dikemas dalam 74 koli, sebanyak 34 koli di antaranya dicampur dengan selada air dan dimasukkan ke 255 kantong plastik dan dibungkus kotak stereofoam.
Ekspor benih lobster dihentikan sementara setelah muncul kasus dugaan suap perizinan budidaya dan ekspor benih lobster yang menyeret Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2019-2020 Edhy Prabowo sebagai tersangka. Kasus itu ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kebijakan ekspor benih lobster tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) pada 4 Mei 2020. Sementara penghentian sementara ekspor benih lobster tertuang dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor B22891/ DJPT/IPI.130/XI/2020 tanggal 26 November 2020.
BKIPM-KKP mencatat, selama Januari hingga 4 April 2021, kasus penyelundupan benih bening lobster yang digagalkan tim gabungan BKIPM-KKP, kepolisian, sertan Bea dan Cukai mencapai 12 kasus. Selama 2020, ketika keran ekspor benih lobster dibuka, jumlah kasus ekspor benih lobster ilegal yang digagalkan aparat mencapai 69 kasus.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam sejumlah kesempatan menyatakan larangan ekspor benih bening lobster. Kebijakan itu didasarkan pada pertimbangan benih bening lobster merupakan kekayaan alam Indonesia yang harus dijaga. Pihaknya sedang merevisi aturan dan akan mengganti kebijakan ekspor benih lobster dengan ekspor lobster ukuran konsumsi melalui pengembangan budidaya pembesaran lobster di dalam negeri.
”(Revisi) Permen KP masih digodok secara internal. Mudah-mudahan pelarangan ekspor benih bening lobster dengan solusi menghidupkan budidaya lobster menjadi jalan keluar agar nelayan pencari benur (lobster) tak tergoda menjual ke penyelundup,” kata Wahyu Muryadi, Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan.
Wahyu menilai penyelundupan benih lobster tidak ada kaitannya dengan buka-tutup keran ekspor. Aparat penegak hukum diminta bekerja keras melakukan pengawasan ketat di seluruh pintu keberangkatan.
Lamban
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengemukakan, pemerintah terkesan lamban dalam merevisi Permen KP No 12/2020 karena hampir 6 bulan revisi belum tuntas. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan surat edaran direktur jenderal untuk menghentikan ekspor benih.
Revisi aturan diperlukan sebagai payung hukum penanganan kasus penyelundupan, landasan pengembangan usaha budidaya di dalam negeri, serta memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha. ”Pemerintah perlu segera menerbitkan revisi dan fokus pembudidayaan benih lobster di dalam negeri. Revisi (aturan) yang lamban memunculkan kesan pemerintah tidak serius,” katanya.
Sementara itu, Ombudsman Republik Indonesia menyampaikan hasil penelusuran dan deteksi dini ke Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait tata kelola ekspor benih bening lobster. Dari kajian itu, ekspor benih mengarah pada empat potensi malaadministrasi.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyebutkan, potensi malaadministrasi itu meliputi diskriminasi pemenuhan kriteria sebagai nelayan penangkap benih serta proses penetapan eksportir dan nelayan benih. Kedua, permintaan imbalan pada pemenuhan persyaratan teknis penetapan eksportir dan penetapan nelayan penangkap benih.
Selain itu, tindakan sewenang-wenang dari eksportir benih dalam penentuan skema kerja sama atau pola kemitraan dengan nelayan penangkap. ”Ombudsman juga menemukan penyalahgunaan wewenang dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP dan eksportir BBL atas penetapan harga BBL yang menggunakan kriteria harga patokan terendah,” kata Yeka, dalam siaran pers.
Terkait hasil temuan itu, Ombudsman RI menyarankan dua opsi tindak lanjut, antara lain mencabut atau merevisi Permen KP No 12/2020, serta merancang peraturan baru yang mengatur ekspor BBL dalam batas waktu 3 tahun dengan evaluasi per tahun oleh BUMN Perikanan, serta mengatur peruntukan sebagian keuntungan untuk pengembangan budidaya.
Opsi kedua, merevisi Peraturan Menteri KP No 12/2020 dengan membatasi ekspor hanya untuk lobster hasil budidaya oleh pelaku swasta serta mengkaji dan membentuk Sovereign Wealth Fund khusus untuk komoditas hasil laut dan memanfaatkan dananya untuk mendanai riset dan pengembangan.