Industri Gula Diminta Prioritaskan Tebu Dalam Negeri
Industri gula berbasis tebu kini berpeluang mengimpor gula mentah atau ”raw sugar” sebagai bahan baku. Namun, pemerintah meminta pelaku industri memprioritaskan penyerapan tebu hasil panen petani rakyat.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun berpeluang memperoleh rekomendasi impor gula mentah, pemerintah meminta pelaku industri berbasis tebu memprioritaskan bahan baku dalam negeri untuk memproduksi gula kristal putih. Aturan yang membuka peluang impor tersebut diterbitkan untuk memfokuskan alur produksi gula kristal putih pada industri berbasis tebu.
Ketentuan tentang impor gula mentah itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Regulasi tersebut menyatakan bahwa impor gula mentah (raw sugar) untuk gula kristal putih (GKP) dapat dilakukan apabila bahan baku GKP dalam negeri tidak mencukupi.
Menurut Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim, dalam realisasinya, pemerintah mengarahkan pelaku industri tetap memprioritaskan tebu dalam negeri. ”Melalui aturan ini, kami ingin menata fokus produksi industri dan menegaskan demarkasi antara GKP dan GKR (gula kristal rafinasi). Industri gula berbasis tebu fokus pada peningkatan produksi GKP,” ujarnya saat dihubungi Kamis (8/4/2021).
Pada tahun lalu, industri GKR sempat mengolah gula mentah impor untuk memproduksi GKP. Menurut Abdul Rochim, hal itu hendak diantisipasi pemerintah dengan menerbitkan peraturan tersebut.
Rekomendasi untuk mengimpor dapat diberikan kepada industri gula berbasis tebu dengan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) Nomor 10721 serta memiliki izin usaha industri setelah tanggal 25 Mei 2010 dalam rangka investasi baru atau perluasan usaha.
Rekomendasi impor dapat diberikan apabila industri tersebut memperoleh penugasan sesuai hasil rapat koordinasi terbatas di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Meski demikian, kelompok industri pada klasifikasi tersebut tetap terikat pada Permenperin Nomor 10 Tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Industri Gula.
Pada Pasal 6 Permenperin No 10/2017 menyatakan, kelompok industri itu mendapatkan fasilitas impor gula mentah selama 7 tahun bagi yang berada di luar Pulau Jawa dan 5 tahun bagi yang berada di Pulau Jawa. Dalam rentang waktu tersebut, volume impor akan dikurangi secara bertahap hingga proporsi tebu dalam negeri lebih besar sebagai bahan baku.
Abdul melanjutkan, audit terhadap peningkatan lahan perkebunan tebu serta kemitraan dengan petani tebu akan menjadi pertimbangan dalam mengeluarkan rekomendasi impor. Dengan demikian, aturan-aturan tersebut dapat sejalan dengan target subtitusi impor pada industri gula.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat menilai pemerintah perlu menyosialisasikan aturan tersebut dan menjabarkan landasan kebijakannya secara terbuka. Indikator penetapan perolehan rekomendasi impor juga harus transparan, misalnya dari sisi produktivitas industri.
”Sebelum ada aturan itu, pabrik gula yang sudah ada sejak sebelum Mei 2010 berpeluang mendapatkan rekomendasi impor gula mentah untuk GKP. Meskipun mendapatkan kuota impor, mayoritas bahan baku tetap berasal dari tebu petani,” ujarnya.
Budi menggarisbawahi fungsi demarkasi pada aturan tersebut. Dengan demikian, GKR seharusnya tidak boleh memproduksi GKP. Pemerintah juga harus menjamin bahwa hasil produksi industri GKR tidak rembes ke pasar GKP.
Sementara itu, lanjut Budi, industri gula berbasis tebu membutuhkan konsolidasi data nasional dengan pemerintah. Konsolidasi data itu berguna untuk mempertajam prediksi neraca gula konsumsi di Indonesia sepanjang 2021.