Dua program yang seharusnya ditujukan untuk membantu pekerja yang kehilangan sumber pemasukan akibat pandemi justru sulit diakses oleh para korban pemutusan hubungan kerja itu sendiri.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Ada jutaan orang di Indonesia yang kehilangan sumber penghidupannya selama pandemi. Sampai hari ini, terdapat beberapa versi data mengenai jumlah eksak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menganggur akibat terdampak Covid-19.
Versi Kementerian Ketenagakerjaan, per Oktober 2020, ada 2,1 juta pekerja yang mengalami PHK dan dirumahkan tanpa upah. Badan Pusat Statistik mencatat, per Agustus 2020, 2,56 juta pekerja kehilangan pekerjaan dan menganggur akibat pandemi.
Sementara berkaca dari jumlah peserta yang berbondong-bondong mencairkan klaim tabungan Jaminan Hari Tua-nya selama satu tahun terakhir, BP Jamsostek memproyeksikan, per Februari 2021, ada 6,47 juta orang yang kehilangan pekerjaan di masa pandemi.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional 2020 oleh BPS menggambarkan, 54 persen dari angkatan kerja yang menganggur selama pandemi adalah masyarakat yang selama ini berpendapatan rendah. Tak ayal, meningkatnya jumlah penganggur selama pandemi menghasilkan orang-orang miskin baru. Jumlah penduduk miskin per September 2020 naik sebanyak 2,76 juta orang. Jumlah itu sejalan dengan naiknya angka pengangguran sebanyak 2,67 juta orang yang sekitar 96 persen di antaranya korban PHK.
Angka pengangguran dan kemiskinan itu memang jauh di bawah proyeksi awal. Namun, jutaan orang bukan angka kecil. Apa pun versi datanya, ada begitu banyak pekerja yang saat ini sulit menghidupi diri dan keluarganya, tenggelam dalam utang, atau diusir dari rumah kontrak dan indekos karena tidak mampu membayar sewa.
Mereka adalah orang-orang yang tidak masuk dalam kriteria penerima program bantuan sosial (bansos) karena selama ini termasuk dalam kategori rentan miskin, bukan masyarakat miskin yang terdata di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Pemerintah mengeluarkan sejumlah program dengan esensi serupa tunjangan pengangguran (unemployment benefit), yaitu Kartu Prakerja dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Manfaat keduanya sama, yakni pelatihan untuk meningkatkan kapasitas pekerja, insentif uang saku, dan akses informasi pasar kerja khusus peserta JKP.
Namun, pada kenyataannya, dua program yang seharusnya ditujukan untuk membantu para pekerja yang kehilangan sumber pemasukan akibat pandemi itu justru sulit diakses para korban PHK. Hal ini terutama mereka yang termasuk dalam kategori rentan miskin dan paling membutuhkan.
Dua program yang seharusnya ditujukan untuk membantu para pekerja yang kehilangan sumber pemasukan akibat pandemi itu justru sulit diakses para korban PHK. Hal ini terutama mereka yang termasuk dalam kategori rentan miskin dan paling membutuhkan.
Data Sakernas 2020 BPS menunjukkan, sebanyak 66,47 persen peserta Kartu Prakerja berstatus masih bekerja, 22,24 persen peserta berstatus penganggur, dan 11,29 persen termasuk golongan bukan angkatan kerja. Dari kelompok yang masih berstatus bekerja, 63 persen peserta bekerja penuh. Hanya 36 persen yang berstatus setengah penganggur.
Hasil olahan data yang sama menunjukkan, Kartu Prakerja lebih banyak dinikmati pekerja berpendapatan menengah. Bahkan, 14 persen penerimanya berlatar belakang masyarakat berpendapatan tinggi. Selain itu, hanya 23 persen penerima Kartu Prakerja yang betul-betul mengalami penurunan pendapatan. Sementara pendapatan 77 persen peserta tidak turun.
Pemerintah beralasan, program Kartu Prakerja sejatinya bukan untuk bantuan sosial, melainkan untuk peningkatan keterampilan seluruh angkatan kerja. Direktur Eksekutif Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari dalam wawancara dengan Kompas padapertengahan Maret lalu menyatakan, tujuan program ini untuk meningkatkan daya saing angkatan kerja, yang terdiri dari pengangguran dan nonpengangguran.
Harapan pun digantungkan pada JKP. Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan JKP yang baru dikeluarkan pada Februari lalu ternyata mengatur syarat dan kriteria peserta yang mempersulit pekerja korban PHK, terutama pekerja rentan yang paling butuh perlindungan, untuk mengakses manfaat program.
Misalnya, ketentuan peserta harus memiliki masa iur minimal 12 bulan dan telah membayar iuran minimal enam bulan berturut-turut sebelum PHK. Implikasinya, pekerja yang di-PHK tahun ini tidak bisa mengakses manfaat karena belum memenuhi syarat masa iur dan iurannya otomatis terhenti. Padahal, PHK justru paling banyak terjadi selama tahun 2020-2021.
Peka krisis
Baik Kartu Prakerja maupun JKP tidak menjalankan fungsinya dengan maksimal untuk melindungi pekerja yang di-PHK saat pandemi. Kedua program itu didesain untuk situasi normal, bukan krisis seperti sekarang.
Syarat dan kriteria JKP dibuat sedemikian rupa sehingga yang bisa menikmatinya bukan jutaan pekerja yang saat ini terdampak pandemi. Sementara, meski kini menyandang status ”program semibansos”, Kartu Prakerja masih dikelola seperti hakikat awalnya sebagai program peningkatan kapasitas yang dipukul rata untuk semua pekerja, menganggur ataupun tidak.
Pada akhirnya, seperti kebijakan problematik lainnya yang muncul di masa pandemi ini, Kartu Prakerja dan JKP juga menggugah keraguan yang sama mengenai arah bandul prioritas pemerintah di tengah krisis.
Di tengah resesi, terbatasnya uang negara, meningkatnya jumlah pengangguran, dan minimnya program untuk melindungi pekerja saat ini, kedua program yang sebenarnya menjanjikan itu akhirnya menjadi tidak relevan dan tidak peka krisis.
Kajian Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Tackling Long-Term Unemployment Amongst Vulnerable Groups, menganjurkan, tunjangan pengangguran harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan kemampuan keuangan negara. Dengan sumber dana yang terbatas, program tunjangan pengangguran harus terlebih dahulu difokuskan untuk kelompok pekerja rentan. Di kemudian hari, jika dirasa perlu, program dapat dikembangkan menjadi lebih fleksibel sesuai kemampuan keuangan negara.
Esensinya, semakin mudah diakses oleh para penganggur, semakin bermanfaat pula suatu program tunjangan pengangguran. Bukan hanya untuk melindungi pekerja, tunjangan pengangguran juga bermanfaat untuk mendorong perekonomian melalui menjaga kegiatan ekonomi masyarakat. Terlebih, di tengah situasi krisis ekonomi seperti saat ini.
Pada akhirnya, seperti kebijakan problematik lainnya yang muncul pada masa pandemi ini, Kartu Prakerja dan JKP juga menggugah keraguan yang sama mengenai arah bandul prioritas pemerintah di tengah krisis.