Pemerintah seharusnya memasukkan pekerja informal dalam program tunjangan pengangguran. Mereka umumnya juga lebih rentan kehilangan pekerjaan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Menarik menyimak rapat kerja Kementerian Ketenagakerjaan dan BP Jamsostek dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (7/4/2021). Pemerintah diminta memikirkan skema khusus tunjangan pengangguran bagi pekerja informal yang terdata sebagai peserta bukan penerima upah di BP Jamsostek.
DPR mengusulkan hal itu dengan alasan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan diluncurkan awal tahun depan baru melindungi para pekerja informal atau penerima upah. Permintaan DPR tentang tunjangan khusus bagi pekerja informal itu awalnya sempat dimasukkan dalam draf kesimpulan rapat, tetapi pada akhirnya dihapus.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan JKP mengatur, peserta program JKP adalah pekerja yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha atau berstatus pekerja penerima upah (PU) pada badan usaha. Pekerja berstatus informal atau bukan penerima upah (BPU) tidak termasuk kriteria.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Ansory Siregar, selaku pemimpin rapat, mengatakan, pemerintah seharusnya memasukkan pekerja informal dalam program tunjangan pengangguran. Selama ini, mereka secara mandiri juga tetap membayar premi untuk program jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek) lainnya lewat kepesertaan BPU, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT).
Mereka juga umumnya lebih rentan kehilangan pekerjaan. ”Kalau yang mendapat tunjangan hanya pekerja formal, ini tidak adil untuk pekerja informal. Pekerja formal bisa mengakses banyak bantuan, dari subsidi upah, Kartu Prakerja, dan sekarang JKP. Pekerja informalnya bagaimana?” ujarnya.
Permintaan DPR tentang tunjangan khusus bagi pekerja informal itu awalnya sempat dimasukkan dalam draf kesimpulan rapat, tetapi pada akhirnya dihapus.
Menurut Ansory, pemerintah harus membuat skema khusus untuk melindungi para pekerja informal atau peserta BPU itu. ”Saya tidak tahu bagaimana caranya, karena peraturan pemerintah untuk JKP sekarang telanjur disahkan. Tetapi, skema bagi pekerja informal ini harus mulai dipikirkan juga,” katanya.
Apalagi, akibat pandemi Covid-19, jumlah pekerja informal saat ini jauh lebih banyak daripada pekerja formal. Survei Angkatan Kerja Nasional oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, per Agustus 2020, ada 77,68 juta pekerja informal dari total 128,45 juta penduduk Indonesia yang bekerja. Sementara hanya ada 50,77 juta pekerja formal.
Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo menyampaikan, JKP memang hanya ditujukan bagi para korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Artinya, hanya menyasar pekerja formal yang memiliki hubungan kerja.
”Kalau pekerja informal atau BPU itu, kan, pekerja mandiri. Mereka menentukan sendiri keberlangsungan kerjanya sendiri karena tidak ada yang mem-PHK,” tutur Anggoro.
Menurut dia, meski pekerja informal yang terdaftar di BP Jamsostek juga membayar premi untuk program JKK dan JKM, iuran mereka tidak akan ikut direkomposisi dalam program JKP. ”Nanti, yang direkomposisi hanya iuran JKK dan JKM para pekerja penerima upah. Yang mendapat bantuan iuran dari pemerintah juga hanya pekerja penerima upah,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, selain dari iuran pemerintah sebesar 0,22 persen dari upah sebulan pekerja, sumber pendanaan iuran program JKP juga berasal dari rekomposisi iuran program JKK dan JKM pekerja dengan total 0,24 persen dari upah sebulan.
Sejak 2003, Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mengkaji perlunya skema tunjangan pengangguran (unemployment insurance benefit) bagi Indonesia. Dalam kajian The Feasibility of Introducing an Unemployment Insurance Benefit in Indonesia itu, ILO menyoroti ketimpangan struktur ketenagakerjaan di Indonesia, antara pekerja formal dan informal.
ILO juga menyoroti kerancuan standar definisi mengenai pekerja informal yang memunculkan dugaan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia sebenarnya lebih besar, tetapi tersembunyi (hidden unemployment) dan bersifat setengah menganggur (underemployment).
Berangkat dari situ, ILO menyoroti pentingnya tunjangan pengangguran bagi pekerja informal. Namun, mempertimbangkan kondisi keuangan Indonesia yang terbatas serta definisi dan pendataan pekerja informal yang masih buruk, paling memungkinkan adalah membuat tunjangan pengangguran bagi pekerja formal.
Kendati demikian, besarnya populasi pekerja informal di Indonesia tidak boleh dianggap remeh. Di kemudian hari, ketika kondisi ekonomi lebih membaik, Indonesia harus segera memikirkan perbaikan pendataan pekerja informal serta perluasan skema jamsostek untuk melindungi pekerja mayoritas itu.
Anggoro mengatakan, BP Jamsostek saat ini sedang berupaya untuk meningkatkan terlebih dahulu kepesertaan pekerja informal sebagai peserta BPU. Data terakhir BP Jamsostek, dari total 48,64 juta peserta BP Jamsostek, kepesertaan pekerja informal/BPU baru mencapai 8,42 persen. Mayoritas peserta BP Jamsostek adalah pekerja formal.
”Ini menjadi tantangan kami, bagaimana ke depan kami lebih mempermudah pekerja BPU untuk mendaftar di program-program jamsostek,” katanya.
Salah satu inovasi yang akan disiapkan adalah pembuatan aplikasi digital berbasis identifikasi biometrik yang diyakini bisa mempermudah proses pendaftaran, pembayaran, dan penebusan klaim bagi peserta informal.
”Kami juga akan kolaborasi dengan tekfin, e-dagang, dan perbankan, masuk dalam ekosistem digital, untuk mempermudah peserta mandiri,” ujar Anggoro.