Dorong Kemandirian Petani, Pupuk Bersubsidi Akan Dikurangi
Kuota pupuk bersubsidi akan terus dibatasi dan petani diminta segera beralih ke pupuk komersial. Hal itu guna mendorong kemandirian petani untuk tidak lagi bergantung pada pupuk bersubsidi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah akan mengurangi kuota pupuk bersubsidi dan petani diminta segera beralih ke pupuk komersial. Hal itu dilakukan guna mendorong kemandirian petani agar tidak lagi bergantung pada pupuk bersubsidi, melainkan menuju ke arah peningkatan produksi lahan.
”Banyak sekali persoalan yang muncul dari pupuk bersubsidi. Karena itu, pelan-pelan (kuotanya) akan kami kurangi,” kata Wakil Menteri Pertanian Harvick Hasnul Qolbi saat peluncuran Program Agrosolution Sinergi Santri Membangun Negeri di Palembang, Kamis (8/4/2021). Persoalan pupuk bersubsidi, lanjut Harvick, memang terus terjadi hampir setiap tahun karena alokasi kuotanya jauh dari kebutuhan petani di lapangan.
Saat ini, kuota pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah sekitar 9 juta ton, sementara kebutuhan pupuk petani sekitar 24 juta ton. ”Tentu masih ada kesenjangan yang terjadi di lapangan. Karena itu, petani harus terus diedukasi agar tidak lagi bergantung pada pupuk bersubsidi,” ujarnya.
Terkait ketersediaan pupuk, lanjut Harvick, sebenarnya tidak ada masalah karena memang setiap tahun produksi pupuk di Indonesia akan terus ditambah dengan menambah kapasitas pabrik dan membangun pabrik baru.
Bahkan, Pupuk Indonesia juga sudah berkomitmen untuk meningkatkan produksi pupuk menjadi 13 juta ton sampai akhir tahun ini. ”Kami juga sudah berkoordinasi dengan perusahaan pupuk swasta untuk melakukan hal serupa. Kalau memang target itu bisa tercapai, pada masa panen kedua di bulan Agustus ini tidak ada lagi kelangkaan pupuk,” ucapnya.
Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) Tri Wahyudi Saleh menyampaikan, jika hanya melihat kuota pupuk bersubsidi, jumlahnya tidak akan pernah cukup karena pasti ada selisih antara kuota yang disediakan pemerintah dan kebutuhan. Namun, dia menjamin pupuk komersial masih akan tetap tersedia. ”Sampai ke tingkat kabupaten, pupuk komersial masih cukup,” ujarnya. Toh selisih harga antara pupuk bersubsidi dan komersial hanya Rp 2.000 per kilogram.
Selisih harga antara pupuk bersubsidi dan komersial hanya Rp 2.000 per kilogram. (Tri Wahyudi Saleh)
Tri menjelaskan, pada tahun 2021, PT Pusri mendapatkan jatah menyalurkan pupuk bersubsidi sekitar 1,9 juta ton. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 1,4 juta ton. Ada tambahan daerah cakupan, yakni Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Sebelumnya Pusri hanya menyalurkan pupuk bersubsidi di wilayah Sumatera bagian selatan.
Menurut Tri, petani jangan hanya bergantung pada pupuk bersubsidi, melainkan sudah berorientasi pada peningkatan produksi. Dengan pengelolaan yang baik, dia meyakini, biaya pupuk dapat ditutupi dengan pendapatan dari hasil yang diproduksi.
Dia mencontohkan, pemberian pupuk NPK pada tanaman singkong yang dipakai di kawasan Lampung dapat meningkatkan produksi singkong dari hanya 20 ton sekali panen menjadi 40 ton per hektar. ”Pendapatan dari peningkatan produksi tersebut dapat digunakan untuk menutupi biaya pupuk,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumsel Zain Ismed mengatakan, subsidi pupuk masih dibutuhkan petani karena produksi pertanian sangat bergantung pada ketersediaan pupuk.
Subsidi pupuk masih dibutuhkan petani karena produksi pertanian sangat bergantung pada ketersediaan pupuk. (Zain Ismed)
Kalaupun harus dibatasi, dia berharap agar subsidi jangan dihapus, melainkan dialihkan ke sejumlah instrumen input pertanian yang lain, seperti bibit dan pestisida.
Menurut Zain, saat ini biaya untuk pembelian input pertanian seperti bibit, pupuk, dan pestisida masih cukup tinggi, yakni sekitar 30 persen dari harga pokok pembelian. ”Padahal, agar petani sejahtera, biaya input bisa dikurangi sampai 20 persen saja,” ucapnya.
Permasalahan pupuk bersubsidi selalu berputar pada beberapa faktor, seperti belum tuntasnya pencatatan database petani, dugaan adanya penyimpangan, dan belum teredukasinya petani untuk menekan biaya produksi, misalnya dengan mengganti pupuk dengan pupuk organik dari sisa panen padi. Penggunaan pupuk organik, lanjut Zain, akan menekan penggunaan pupuk kimia.
Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah II Komisi Pemberantasan Korupsi Yudhiawan Wibisono menyebutkan memang distribusi pupuk bersubsidi sangat rawan korupsi. Karena itu, penyalurannya harus tetap diawasi.
Pengawasan dilakukan dengan memastikan usulan dan penerimaan pupuk tercatat dalam dokumen anggaran. Karena itu, pemerintah daerah akan terus didampingi sehingga pendistribusian pupuk tidak disalahgunakan oleh oknum dan penyalurannya tepat sasaran.
Gubernur Sumsel Herman Deru berharap, kalaupun subsidi pupuk akan dikurangi, subsidi tersebut dapat dialihkan pada peningkatan harga gabah. ”Harga pembelian gabah harus ditambah sehingga petani memiliki kemampuan untuk membeli pupuk,” ucapnya.