Jika tidak mendaftarkan pekerjanya, pengusaha harus menanggung biaya pesangon sendiri ketika PHK. Pengusaha juga harus membayar sendiri manfaat uang tunai dan pelatihan yang seharusnya ditanggung pemerintah lewat JKP.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang membenahi skema jaminan sosial ketenagakerjaan sebelum program Jaminan Kehilangan Pekerjaan diluncurkan pada Februari 2022. Mediator dan pengawas ketenagakerjaan dikerahkan untuk menagih perusahaan yang selama ini belum atau lalai mendaftarkan pekerjanya di program Jamsostek.
Hal itu sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Maret 2021. Inpres itu mengamanatkan kepada semua menteri dan kepala daerah untuk memastikan semua pekerja terdaftar sebagai peserta BP Jamsostek, yakni pekerja formal, informal, migran, serta pegawai pemerintah non-PNS dan penyelenggara pemilu. Inpres juga memerintahkan upaya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap perusahaan yang tidak patuh.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Rabu (7/4/2021), mengatakan, pihaknya mendapat pekerjaan rumah besar untuk meningkatkan jumlah kepesertaan pekerja dalam program Jamsostek. Terutama, sebelum program baru tunjangan pengangguran, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), diluncurkan pada Februari 2022.
”Untuk memperluas kepesertaan Jamsostek, kami akan melibatkan fungsi mediator hubungan industrial dan pengawas ketenagakerjaan yang lebih aktif. Saat ini sedang kami siapkan peraturan menteri ketenagakerjaan untuk koordinasi fungsional terkait itu,” kata Ida dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR dan Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo di Jakarta.
Ida menjelaskan, mediator akan membina, menyosialisasikan, dan berdialog dengan perusahaan yang belum mendaftarkan pekerja di BP Jamsostek atau perusahaan yang hanya mendaftarkan sebagian pekerja. Pengawas ketenagakerjaan akan mengawasi perusahaan-perusahaan tersebut.
Mediator akan membina, menyosialisasikan, dan berdialog dengan perusahaan yang belum mendaftarkan pekerja di BP Jamsostek atau perusahaan yang hanya mendaftarkan sebagian pekerja.
Berdasarkan data BP Jamsostek, ada 48,64 juta peserta program Jamsostek atau 54,04 persen dari angkatan kerja yang seharusnya terdaftar di BP Jamsostek. Dari jumlah peserta itu, pekerja berstatus informal hanya 8,42 persen.
Hingga kini, masih banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerja dalam program Jamsostek. Kepatuhan perusahaan yang rendah sudah terjadi sejak sebelum pandemi.
”Kepesertaan Jamsostek bersifat wajib, perusahaan harus mengikuti. Lewat reformasi program jaminan sosial, diharapkan semua manfaat program Jamsostek bisa saling terintegrasi dan melindungi pekerja secara detail,” kata Ida.
Kepatuhan
Kepatuhan perusahaan untuk mendaftarkan pekerja dalam program Jamsostek menjadi penting. Selain iuran yang dibayarkan pemerintah, salah satu sumber pendanaan iuran JKP akan bergantung pada rekomposisi iuran dari program Jamsostek lain, seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan JKP juga mewajibkan pengusaha mendaftarkan pekerjanya di program Jamsostek lain sebelum mendaftar untuk JKP. Usaha besar dan menengah wajib mendaftar JKK, JKM, Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kesehatan (JKN), dan Jaminan Pensiun (JP). Sementara usaha mikro dan kecil wajib mendaftarkan pekerjanya di program JKN, JKK, JHT, dan JKM.
Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo mengatakan, dalam proses pendaftaran kepesertaan JKP, pihaknya akan mengecek lebih dulu skala usaha berdasarkan aset dan omzet perusahaan. Eligibilitas pengusaha juga dicek berdasarkan kewajiban mendaftarkan pekerja di program Jamsostek lainnya.
Pemerintah baru akan membayarkan iuran JKP setelah perusahaan dan pekerja melewati proses verifikasi dan validasi data oleh BP Jamsostek sesuai syarat.
”Selain meningkatkan cakupan kepesertaan, tantangan kami ke depan adalah mempermudah cara pendaftaran, pembayaran, dan penebusan klaim. Kami sedang kembangkan aplikasi berbasis biometrik agar pendaftaran dan klaim juga bisa lebih cepat,” kata Anggoro.
Selain meningkatkan cakupan kepesertaan, tantangan kami ke depan adalah mempermudah cara pendaftaran, pembayaran, dan penebusan klaim.
Iuran
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, masih banyak perusahaan yang tidak patuh membayarkan iuran kepesertaan BP Jamsostek. Sementara pekerja baru dianggap berhak mendapat JKP jika telah membayar iuran untuk program Jamsostek lainnya.
Sesuai Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, harus ada upaya khusus dari BP Jamsostek untuk memungut dan mengumpulkan iuran, lengkap dengan penegakan hukum yang tegas. ”Faktanya, banyak pengusaha yang menunggak iuran jaminan sosial. Jangan sampai kesalahan perusahaan membuat pekerja tidak bisa mendapatkan JKP,” katanya.
Kritik lain terhadap program JKP adalah syarat dan kriteria yang mempersulit pekerja untuk mendapat manfaat. Syarat pekerja wajib memiliki masa iuran 12 bulan dan membayar iuran 6 bulan berturut-turut sebelum mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) membuat pekerja yang tahun ini di-PHK akibat pandemi tidak bisa mengakses manfaat program tersebut.
Menurut Ida Fauziyah, seharusnya program JKP dibuat sebelum pandemi terjadi. ”Sayangnya, pandemi yang dampaknya sedemikian dahsyat ini sudah lebih dulu terjadi. Sekarang baru terasa betapa pentingnya kehadiran program ini,” kata Ida.
JKP diharapkan dapat menjadi langkah antisipatif apabila muncul krisis-krisis serupa di kemudian hari.