Jalan Pemulihan Berliku, Ketimpangan Jadi Tantangan
Ketimpangan jadi salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah dalam proses pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Anggaran negara redam dampak, tetapi pemulihan tak bisa selamanya bergantung pada belanja pemerintah.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 dinilai tidak akan mudah. Pemerintah bergerak di ruang dan waktu yang terbatas untuk memulihkan ekonomi serta menyusun strategi jalan keluar lewat upaya reformasi struktural.
Sekretaris Eksekutif Komite Penanganan Covid-19 Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede, Selasa (6/4/2021) mengatakan, di tengah kondisi saat ini, pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi diprediksi dapat berbentuk huruf K (k-shaped recovery).
Dalam skenario itu, kelompok masyarakat menengah-atas selamat dari krisis, bahkan kualitas hidupnya semakin meningkat. Sementara, sebagian masyarakat kecil semakin jatuh terpuruk dan sulit pulih. Hasilnya adalah kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin parah selepas pandemi kelak.
“Ini yang harus kita pikirkan, bagaimana cara mengantisipasi skema pemulihan yang timpang ini. Pemerintah juga masih berusaha mencari cara,” kata Raden dalam webinar Economic Recovery Post Covid-19 Pandemic yang digelar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University.
Saat ini sejumlah indikator menunjukkan jurang kesenjangan semakin lebar akibat pandemi. Data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini yang sebesar 0,380 pada September 2019 meningkat menjadi 0,385 pada September 2020. Rasio gini yang menunjukkan ketimpangan memiliki interval 0-1. Angka mendekati 1 artinya ketimpangan semakin dalam.
Raden mengatakan, berkaca dari berbagai pengalaman melewati krisis ekonomi, pemulihan ekonomi umumnya berlangsung lama. Terutama, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas seperti menekan angka pengangguran dan kemiskinan.
”Berdasarkan analisis data dari pengalaman di masa lalu, biasanya, dibutuhkan waktu lebih lama untuk menciptakan lapangan kerja dan menurunkan pengangguran, dibandingkan mengejar perbaikan angka produk domestik bruto,” katanya.
Guna menggerakkan kembali roda ekonomi, pemerintah mengandalkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai pengubah arah permainan (game changer) yang dapat mewujudkan reformasi struktural dan membenahi berbagai halangan struktural yang menghambat kemajuan ekonomi.
”Kita tidak bisa menjalankan kebijakan seperti biasa-biasa saja, harus ada upaya struktural untuk tumbuh lebih kuat lagi dari posisi kita sebelum pandemi. Krisis harus diubah menjadi kesempatan untuk melakukan transformasi,” kata Raden.
Akan tetapi, pemerintah harus cepat bertindak, karena waktu efektif untuk membuktikan janji-janji UU Cipta Kerja tinggal 1-2 tahun ke depan. Oleh karena itu, pemerintah mengejar penuntasan penyusunan berbagai aturan turunan UU serta gencar menggaet investasi untuk menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi.
”Kita akan segera memasuki tahun politik, jadi pada dasarnya hanya ada 1-2 tahun untuk mengakselerasi reformasi struktural ini. Begitu masuk pemilu, semua akan terlalu sibuk,” katanya.
Jalan keluar
Selain keterbatasan waktu, pemerintah juga berhadapan dengan keterbatasan ruang gerak fiskal. Untuk memulihkan keadaan, pemerintah tidak bisa terus bergantung pada kebijakan stimulus. Ada keterbatasan ruang fiskal yang harus diperhatikan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 juga sudah mengamanatkan agar defisit APBN kembali di bawah batas 3 persen pada tahun 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah telah mengambil langkah kebijakan luar biasa (extraordinary) dalam menyikapi dampak pandemi. Pada tahun 2020, pemerintah merealisasikan anggaran penanganan PEN sebesar Rp 579,8 triliun, atau 83,4 persen dari alokasi anggaran Rp 695,2 triliun.
Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran PEN lebih tinggi hingga Rp 699,43 triliun. Alokasi terbesar ditetapkan untuk sektor kesehatan (Rp 176,3 triliun), perlindungan sosial (Rp 157,41 triliun), program prioritas pemerintah (Rp 125,06 triliun), dukungan UMKM dan korporasi (Rp 186,81 triliun) dan pemberian insentif usaha (Rp 53,86 triliun).
Sri Mulyani menambahkan, kebijakan stimulus dalam jumlah besar itu akan memengaruhi kebijakan di kemudian hari. ”Langkah luar biasa seperti ini pasti ada konsekuensinya. Kita harus memikirkan strategi jalan keluar (exit policy). Seperti badan manusia, tidak mungkin setiap hari kita selalu marathon atau lari sprint, kita perlu istirahat. Apalagi, Covid-19 ini jangka panjang. Ini tantangan kebijakan yang sangat riil yang harus dipikirkan bersama,” katanya.
Sekretaris Jenderal Dewan Kerja Sama Ekonomi Pasifik (PECC) Eduardo Pedrosa mengatakan, kondisi ekonomi saat ini masih bisa ditopang berkat pengeluaran pemerintah yang masif. Di seluruh dunia, terjadi peningkatan belanja pemerintah yang luar biasa besar lewat penggelontoran berbagai kebijakan stimulus.
”Itu yang berhasil membuat ekonomi kita tetap bertahan. Namun, kita tidak bisa terus-terusan bergantung pada belanja pemerintah. Kementerian Keuangan harus memikirkan strategi jalan keluar untuk lepas dari mode stimulus. Cara paling cepat adalah mengembalikan keyakinan konsumen dan menggerakkan lagi roda usaha,” kata Eduardo.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Eko Suwardi mengatakan, secara bertahap, ketika krisis kesehatan mulai bisa terkendali, pemerintah dapat menggeser kebijakan dari dukungan stimulus menjadi program kegiatan yang bersifat produktif. ”Sebab, sekali lagi, krisis ini kuncinya tetap ada di kesehatan,” kata Eko.