Menghindari melebarnya kesenjangan, pemerintah perlu mendesain lebih baik lagi program pemulihan ekonomi nasional (PEN), terutama fokus pada sektor informal yang menerima dampak terburuk pandemi.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
Pengantar Redaksi
Harian Kompas kembali mengadakan diskusi panel ekonomi terbatas pada Kamis (18/3/2021) bertema ”Memanfaatkan Stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional”. Panelis adalah Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Menteri Keuangan periode 2013-2014 M Chatib Basri, Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja Kamdani, serta pendiri dan CEO M Bloc Space Handoko Hendroyono. Laporan disajikan berikut ini dan di halaman 13 serta Jendela E oleh Ninuk M Pambudy, Agnes Theodora, Dimas W Nugraha, serta peneliti Litbang Kompas, Gianie.
Pada Maret 2021, muncul dua indikasi ekonomi yang memunculkan optimisme sekaligus perlu disikapi hati-hati. Pada satu pihak mulai terlihat perbaikan ekonomi ketika penerimaan pajak naik. Hingga 28 Februari 2021, realisasi anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) mencapai Rp 219,2 triliun, tumbuh 0,7 persen dibandingkan periode sama tahun lalu (Kompas, 24/3/2021). Namun, data Badan Pusat Statistik memperlihatkan inflasi Maret 2021 hanya 0,08 persen secara bulanan atau 1,37 persen secara tahunan.
Resesi ekonomi Indonesia, sama seperti hampir semua negara di dunia, terjadi dengan disengaja. Masyarakat dipaksa berhenti beraktivitas di ruang publik untuk menghindari dampak lebih buruk pandemi Covid-19. Bila faktor kesehatan dapat diatasi dan orang kembali beraktivitas, ekonomi segera pulih. Karena itu vaksinasi diharapkan menjadi faktor penghenti pandemi dan akhirnya menggerakkan ekonomi.
Pemerintah memberikan stimulus untuk memulihkan ekonomi nasional yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Tahun lalu program pemulihan ekonomi nasional (PEN) terealisasi Rp 579,8 triliun atau 83,4 persen; sisanya sebesar Rp 56,12 triliun yang tidak teralisasi adalah insentif dunia usaha.
Tahun ini dari belanja negara Rp 2.750 triliun, anggaran untuk PEN Rp 699.43 triliun. Anggaran ditujukan untuk kesehatan, terutama vaksinasi. Dana PEN juga ditujukan untuk perlindungan sosial, seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, dana desa, kartu Prakerja, diskon listrik, hingga subsidi internet. Juga ada dukungan untuk UMKM dan koperasi agar kegiatan usaha taetap berjalan.
Penentu ketiga keberhasilan PEN adalah reformasi struktural melalui UU Cipta Kerja yang dilakukan bersama-sama dengan pemulihan kesehatan dan perlindungan sosial.
Menghindari kurva K
Di tengah dampak positif stimulus ekonomi dan perlindungan sosial, APBN yang terbatas tetap perlu diarahkan lebih tajam. Masih terdapat kesenjangan antara program PEN dengan pelaksanaan. Pada tahun 2020 stimulus eonomi belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh dunia usaha. Terdapat ekstra kehati-hatian di antara bank-bank dalam menyalurkan kredit bagi dunia usaha untuk menghindar dari kredit macet yang harus ditanggung bank. Padahal, pandemi melahirkan situasi darurat yang harus ditangani dengan cara tidak biasa. Diharapkan janji pemerintah untuk ikut menjamin sebagian risiko kredit macet berdampak pada penyaluran kredit.
Hal yang perlu dicermati dari pemulihan ekonomi adalah terbentuknya kurva berbentuk K. Kelompok masyarakat menengah-atas, kehidupannya semakin membaik, digambarkan oleh naiknya kurva K ke atas. Tabungan mereka bertambah karena masih memiliki penghasilan sementara hampir tidak terjadi pengeluaran. Kelas menengah-atas, seperti hasil survei berkalai Litbang Kompas tahun lalu, paling enggan keluar rumah. Akibatnynya konsumsi mereka yang biasanya besar untuk hiburan, wisata, membeli kendaraan atau rumah, jauh menurun.
Pada saat bersamaan, kelompok menengah ke bawah semakin sulit kehidupannya. Mereka tidak punya tabungan atau tabungannya terbatas dan segera habis ketika kehilangan pekerjaan atau dirumahkan. Kelompok ini digambarkan oleh kurva K yang menuju ke bawah.
Survei terpisah oleh Smeru Research Institute dan Prospera terhadap 12.216 rumah tangga pada Oktober dan November 2020 memperlihatkan, hampir tiga perempat rumah tangga yang disurvei mengalami penurunan pendapatan dibandingkan dengan Januari 2020. Virus Covid-19 secara resmi dinyatakan ada di Indonesia pada 2 Maet 2020.
Hingga akhir Mei pembatasan pergerakan secara mikro kemungkinan masih berlanjut dan dampak ekonomi Lebaran menjadi sangat terbatas karena larangan mudik. Dalam situasi tersebut kemungkinan besar investasi swasta, berarti sisi produksi, belum akan pulih tahun ini.
Untuk menghindari melebarnya kesenjangan, pemerintah perlu mendesain lebih baik lagi program PEN, terutama fokus pada sektor informal yang menerima dampak terburuk pandemi. Sisi permintaan didorong dengan mengonsolidasikan bantuan sosial, misalnya memberi bantuan tunai yang mencukupi kehidupan satu keluarga untuk 130-an juta orang dari kelompok menengah-bawah.
Karena 57 persen orang yang bekerja di sektor informal adalah perempuan, perlu kebijakan untuk membantu perempuan memasuki sektor kerja formal, mulai dari membangun tempat penitipan anak, menyediakan aplikasi digital yang memudahkan berusaha, serta inklusi keuangan digital.
Membangun infrastruktur digital karena itu menjadi sangat penting dan selayaknya menjadi prioritas pemerintah. Karena pemerintah memiliki keterbatasan pendanaan, maka harus ada skala prioritas pengeluaran, misalnya, menunda pembelian pesawat tempur dan membangun ibu kota baru.
Daya saing
Upaya pemerintah mereformasi struktur ekonomi Indonesia perlu dilanjutkan ke dalam pelaksanaan di lapangan. Upaya menarik investasi asing juga dilakukan negara-negara lain. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bank Dunia, dan Unesco memperlihatkan, Indonesia kalah kompetitif dalam harga tanah, upah rata-rata pekerja, biaya logistik, biaya bongkar-muat, dan efisiensi investasi (ICOR).
Dalam desain fiskal sebaiknya diperhatikan juga arah perilaku konsumen yang sudah terjadi sejak sepelum pandemi, yaitu mulai menyukai produk lokal. Empati pada pelaku usaha dalam negeri yang terpukul pandemi dan kesadaran akan perubahan iklim mendorong orang muda lebih memilih produk lokal. Arah baru ini perlu dimanfaatkan melalui program nyata dan lebih luas di pemerintahan, BUMN, dunia usaha swasta, dan masyarakat luas.
Dalam optimisme menuju membaiknya keadaan dimulai dari paruh kedua 2021, Indonesia perlu bersiap menghadapi pemulihan ekonomi Amerika Serikat pada 2023. Jangan sampai investasi di pasar keuangan ke luar Indonesia yang dampaknya dapat mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah.