Pemulihan ekonomi Indonesia diprediksi akan terjadi lebih cepat pada semester kedua 2021. Ketika AS memutuskan menaikkan suku bunga, pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan sudah kembali normal.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Pemulihan ekonomi Indonesia dari pukulan pandemi Covid-19 mulai tampak sejak kuartal keempat 2020. Momentum ini harus terus dimanfaatkan agar terhindar dari kerapuhan ekonomi. Titik krusial pertumbuhan ekonomi berkelanjutan akan terjadi saat perekonomian Amerika Serikat stabil pulih.
Pascapemulihan ekonomi global dari krisis keuangan tahun 2008 memberi pelajaran berharga untuk Indonesia bisa keluar dari krisis akibat virus SARS-CoV-2 saat ini. Pemilihan kebijakan yang tepat dan cepat menjadi indikasi apakah Indonesia berhasil memetik pelajaran dari krisis lalu atau Indonesia akan terus menyandang predikat sebagai negara rentan. Pulihnya perekonomian Amerika Serikat (AS) dari krisis keuangan 2008 ditandai dengan Bank Sentral AS (The Fed) mulai menaikkan suku bunga dan mengakhiri pembelian surat-surat berharga (tapering). Investor-investor menarik dananya dari emerging market, seperti Indonesia, dan membawa dana mereka masuk kembali ke AS.
Arus dana keluar besar-besaran terjadi, terutama di Brasil, India, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki. Mata uang kelima negara ini melemah signifikan yang berakibat pada membesarnya defisit neraca transaksi perdagangan.
Berkurangnya investasi baru membuat negara-negara ini mengalami kesulitan membiayai pembangunan sehingga pertumbuhan ekonomi menurun. Negara-negara ini bergantung pada investasi asing di pasar keuangan untuk menutup defisit neraca transaksi berjalan.
Pada 2013, lembaga Morgan Stanley memberi istilah fragile five countries kepada lima negara paling terdampak pemulihan AS, yaitu Brasil, India, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki. Ada enam faktor yang menjadi acuan penilaian kerentanan, yang pada intinya menggambarkan kondisi negara sangat bergantung pada investasi portofolio asing untuk membiayai pertumbuhan ekonomi.
Daftar lima negara yang perekonomiannya paling rentan ini kemudian berubah-ubah. Pada Desember 2016, Morgan Stanley menyebut lima negara rentan berganti menjadi Kolombia, Indonesia, Meksiko, Afrika Selatan, dan Turki.
Pada November 2017, lembaga pemeringkat utang S&P Global memilih lima negara paling rentan, yaitu Turki, Argentina, Pakistan, Mesir, dan Qatar, karena negara-negara ini paling terpengaruh kenaikan suku bunga. Forum Ekonomi Dunia (WEF) kemudian memilih Kongo, Suriah, Sudan Selatan, Somalia, dan Yaman sebagai lima negara paling rentan.
Bank HSBC pada awal Maret 2021 mengumumkan empat negara emerging market yang masuk dalam kerentanan situasi saat ini, yaitu Brasil, Indonesia, Meksiko, dan Afrika Selatan (The Economist, 6/3/2021). Salah satu alasan Meksiko masuk daftar, sedangkan Turki tidak adalah karena kepemilikan asing pada surat berharga pemerintahnya mencapai 46 persen, sedangkan di Turki kurang dari 7 persen.
India dianggap nilai tukarnya sudah lebih stabil, inflasi rendah, dan dapat mengendalikan defisit fiskalnya sehingga menjadi lebih menarik untuk tujuan investasi. Itu sebabnya, India sudah tidak ada lagi dalam daftar negara rentan sejak 2017.
Kebijakan di AS
Perekonomian AS, selain China, diprediksi Dana Moneter Internasional akan segera pulih dari krisis akibat pandemi Covid-19 pada tahun ini. Pemulihan ekonomi AS tidak lepas dari program vaksinasi yang pada Mei 2021 ditargetkan mencapai 200 juta orang. Target vaksinasi di AS akan selesai pada 4 Juli 2021. Di samping itu, percepatan penanganan pandemi mendapat tambahan stimulus sebesar 1,9 triliun dollar AS dari pemerintahan Presiden Joe Biden yang sudah disetujui parlemen.
Kondisi ini dapat mengulang kejadian pascakrisis keuangan 2008. Pemulihan ekonomi AS akan berujung pada meningkatnya imbal hasil obligasi dan suku bunga yang membuat AS menjadi sangat menarik bagi investor. Arus modal keluar besar-besaran akan terjadi lagi di negara-negara emerging market. Hal ini dapat menimbulkan krisis baru bagi negara-negara yang rentan, termasuk Indonesia.
Fondasi ekonomi Indonesia saat ini tidak sebagus masa krisis 2008. Pertumbuhan ekonomi saat itu masih di atas 6 persen (kecuali 2009 sebesar 4,63 persen). Pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai turun dari angka 6 persen sejak 2013. Ketika angka pertumbuhan ekonomi masih cukup tinggi, pemerintah dapat melakukan kebijakan pengetatan fiskal dan moneter untuk menghadapi situasi di AS.
Saat ini hal tersebut sulit dilakukan karena fondasi perekonomian kita rapuh. Defisit APBN melebar dan pembiayaan bertumpu pada utang luar negeri. Investasi portofolio dalam pembiayaan defisit neraca transaksi berjalan juga masih dominan. Jika kebijakan fiskal diketatkan, misalnya, dengan menaikkan suku bunga, hal itu akan berakibat pemulihan yang sudah berlangsung kembali terpuruk karena ada risiko rupiah melemah.
Indonesia masih punya waktu mendorong pertumbuhan ke angka lebih tinggi sebelum The Fed menaikkan suku bunga. The Fed pada 17 Maret lalu memutuskan mempertahankan suku bunga pada kisaran 0-0,25 persen untuk memulihkan ekonomi. Tingkat suku bunga ini sudah berjalan sejak Maret 2020.
The Fed menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga hingga 2023. Meski demikian, kebijakan tersebut bisa ditinjau kembali jika pemulihan ekonomi AS menyebabkan konsumsi naik. Konsumsi yang tinggi akan meningkatkan inflasi. Stimulus 1,9 triliun dollar AS jelas akan memicu inflasi. The Fed mengharapkan inflasi 2021 hanya naik hingga 2,4 persen, lalu turun menjadi 2 persen pada 2022. Dengan suku bunga yang rendah, imbal hasil obligasi mungkin belum akan naik.
Untuk mengatasi gejolak pasar keuangan diperlukan kebijakan makroprudensial. Arus modal diatur bersifat jangka panjang dengan pemberian insentif perpajakan. Contohnya, apabila subyek pajak luar negeri tidak melakukan repatriasi keuntungan, tetapi berinvestasi kembali di Indonesia, ia tidak menjadi obyek pajak.
Pemulihan ekonomi Indonesia diprediksi akan terjadi lebih cepat pada semester kedua 2021. Vaksinasi diharapkan meningkatkan mobilitas yang berimbas pada belanja masyarakat. Ketika AS memutuskan menaikkan suku bunga, pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan sudah kembali normal.