Tahun ini, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional diharapkan terealisasi sejak triwulan I. Dengan demikian, dampaknya bagi pemulihan ekonomi masyarakat dan Indonesia bisa lebih optimal.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
Sejumlah hambatan dalam penyaluran stimulus program Pemulihan Ekonomi Nasional 2020 membuat pemulihan ekonomi Indonesia tahun ini menghadapi jalan terjal. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan per akhir Desember 2020, realisasinya sebesar Rp 579,8 triliun. Jumlah itu setara dengan 83,4 persen dari total anggaran Rp 695,2 triliun.
Rinciannya, anggaran untuk kesehatan Rp 99,5 triliun, perlindungan sosial Rp 230,31 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Rp 116,31 triliun, pembiayaan BUMN dan korporasi Rp 60,73 triliun, serta sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 67,86 triliun.
Dari kelima program itu, realisasi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang cukup rendah secara persentase adalah anggaran kesehatan sebesar 63,8 persen (Rp 63,51 triliun) dan insentif usaha 46,53 persen (Rp 56,12 triliun).
Adapun realisasi program lainnya di atas 95 persen, yakni untuk perlindungan sosial 95,73 persen (Rp 220,39 triliun), UMKM 96,6 persen (Rp 116,31 triliun), pembiayaan BUMN dan korporasi 100 persen, serta sektoral kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah 98,1 persen (Rp 66,59 triliun).
Menurut Kementerian Keuangan, sisa perhitungan anggaran sekitar Rp 115,42 triliun akan direalokasi dalam bentuk pendanaan program vaksinasi gratis pada 2021 sebesar Rp 47,07 triliun serta dana dukungan untuk UMKM Rp 3,87 triliun. Adapun sisanya yang sebesar Rp 64,48 triliun akan dicatat sebagai realisasi penerimaan perpajakan yang anjlok sepanjang 2020.
Menilik rencana pemerintah dalam merealokasi sisa anggaran PEN 2020, dunia usaha menjadi ketar-ketir. Sebab, sisa anggaran sebesar Rp 64,49 triliun semula ditujukan sebagai insentif bagi dunia usaha.
Semula, pada pos anggaran insentif dunia usaha, pemerintah merancang insentif pajak yang meliputi pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah, PPh Pasal 22 impor, diskon angsuran 50 persen PPh Pasal 25, dan potongan tarif PPh badan. Belakangan, pemerintah merealokasi anggaran dengan menambahkan bentuk stimulus, antara lain, pembebasan biaya abonemen listrik dan bea masuk ditanggung pemerintah serta menyiapkan bantalan realisasi penerimaan pajak yang di bawah target.
Situasi terburuk yang harus diantisipasi pemerintah dari daya serap anggaran insentif usaha yang melempem adalah lonjakan jumlah masyarakat yang akan jatuh ke jurang kemiskinan. Hal ini terjadi khususnya bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau bekerja di sektor jasa yang mengalami dampak pandemi Covid-19 dalam skala berat.
Situasi terburuk yang harus diantisipasi pemerintah dari daya serap anggaran insentif usaha yang melempem adalah lonjakan jumlah masyarakat yang akan jatuh ke jurang kemiskinan.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyinyalir, penyebab serapan dana insentif usaha yang buruk adalah sosialisasi dan komunikasi dari regulator yang terbatas. Akibatnya, informasi yang didapat pengusaha juga terbatas. Informasi ini berkaitan dengan tata cara dan prosedur untuk memperoleh berbagai insentif.
Pada 2021, Kementerian Keuangan mematok pagu anggaran program PEN sebesar Rp 699,43 triliun. Besaran anggaran ini sudah beberapa kali berubah—dan bertambah—sejak ditetapkan pertama kali. Diharapkan pencairan program PEN terakselerasi sejak triwulan I-2021.
Tahun 2020 menjadi pelajaran untuk melangkah pada 2021. Pada 2020, akibat sejumlah hambatan teknis, insentif baru bisa lancar mengalir pada triwulan III dan IV.
Peningkatan anggaran PEN 2021 lantaran ada modifikasi program kesehatan yang bertambah Rp 176,3 triliun. Anggaran kesehatan melonjak untuk mengakomodasi peningkatan kapasitas program 3T (tracing, tracking andtreatment atau penelusuran, pelacakan, dan pengobatan) kasus Covid-19.
Selain itu, juga anggaran program prioritas yang meliputi program padat karya kementerian dan lembaga, ketahanan pangan, kawasan industri, pinjaman daerah, pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta pariwisata disiapkan Rp 125,1 triliun. Lonjakan juga terjadi pada anggaran untuk dukungan UMKM dan korporasi sebesar Rp 184,83 triliun serta insentif usaha sebesar Rp 58,46 triliun.
Sebaliknya, program perlindungan sosial justru dipotong, dari Rp 230,31 triliun menjadi Rp 157,41 triliun.
Langkah pemerintah memotong anggaran program perlindungan sosial disayangkan sejumlah pihak. Sebab, secara perhitungan sederhana, untuk melindungi pekerja di sektor informal dan masyarakat kelas menengah bawah, pemerintah mestinya memperluas program bantuan sosial. Apalagi, pada 2020, pandemi secara telak memukul masyarakat kelas rentan yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan dan calon kelas menengah.
Meski demikian, pemerintah berdalih, agar lebih tepat sasaran, tidak semua program perlindungan sosial yang berjalan pada 2020 dilanjutkan pada 2021.
Pemerintah memodifikasi program perlindungan sosial agar pemulihan ekonomi masyarakat bisa dilakukan berkelanjutan. Salah satu contohnya, bantuan subsidi upah yang dialihkan dalam bentuk pelatihan. Dengan demikian, masyarakat tidak sekadar mendapat bantuan berupa uang tunai, melainkan juga peningkatan keterampilan dan pengetahuan.
Pemerintah memodifikasi program perlindungan sosial agar pemulihan ekonomi masyarakat bisa dilakukan berkelanjutan.
Di luar berbagai pertimbangan itu, anggaran jumbo ini mesti efektif untuk memulihkan kondisi perekonomian masyarakat dan nasional. Oleh karena itu, distribusi dana program PEN jangan sampai tertunda seperti tahun lalu.
Untuk mengurangi hambatan dalam mengalirkan dana PEN, pemerintah akan mengevaluasi berkala. Tujuannya, menyelesaikan kendala teknis dalam penyaluran anggaran PEN.
Agar penyalahgunaan penyaluran anggaran PEN tidak terulang, Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi penyaluran anggaran PEN. Diharapkan langkah itu membuat dana PEN tersalurkan dengan tepat sasaran dan tujuan sehingga berhasil meningkatkan kegiatan konsumsi dan investasi.
Di samping stimulus PEN, otoritas stabilitas sistem keuangan di Indonesia sebenarnya memiliki kebijakan pelonggaran kuantitatif untuk mengoptimalkan penyaluran likuiditas dari lembaga keuangan ke sektor riil. Kebijakan yang diterbitkan sebenarnya cukup baik dari sisi peningkatan likuiditas, bantuan penjaminan, penurunan suku bunga acuan, dan restrukturisasi kredit. Namun, likuiditas yang terserap pelaku usaha pada 2020 masih terbatas.
Salah satu kendalanya adalah risiko penciptaan likuiditas bagi pelaku usaha. Di satu sisi, bank umum konvensional belum bergerak cepat menurunkan suku bunga pinjaman. Di sisi lain, suku bunga pinjaman yang di atas 9,5 persen masih berisiko bagi pelaku usaha yang kemampuannya membayar cicilan merosot akibat bisnis mereka terdampak Covid-19.
Likuiditas yang terserap pelaku usaha pada 2020 masih terbatas.
Sejak tahun lalu, pemerintah menunjuk PT Jamkrindo dan PT Askrindo untuk menjamin kredit modal kerja yang disalurkan perbankan untuk dunia usaha. Dengan demikian, diharapkan tahun distribusi likuiditas dari perbankan ke dunia usaha lancar dan tidak terhambat.