Perdagangan Dunia Mulai Pulih, Waspadai Ketimpangan
Pandemi Covid-19 dan penanganannya, termasuk akses terhadap vaksin, memengaruhi pemulihan kinerja perdagangan global. Kendati diproyeksi mulaih pulih, perdagangan antarnegara terancam timpang.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO memperkirakan arus perdagangan global berada dalam tren positif pada tahun ini. Meski demikian, ketimpangan perdagangan antarnegara mengancam kinerja ekspor dan impor dunia.
Perdagangan yang timpang itu dipicu perbedaan pengendalian pandemi Covid-19 dan kebijakan vaksinasi.
Pekan lalu, WTO memublikasikan proyeksi pertumbuhan perdagangan barang dunia, yakni tumbuh 8 persen pada 2021 dan 4 persen pada 2022. Pada 2020, menurut catatan WTO, perdagangan barang dunia terkontraksi 5,3 persen secara tahunan.
Tren perdagangan itu sejalan dengan produk domestik bruto (PDB) global yang terkontraksi 3,8 persen pada 2020, namun diperkirakan tumbuh 5,1 persen pada 2021 dan 3,8 persen pada 2022. Sebelumnya, perdagangan barang dunia diperkirakan terkontraksi 9,2 persen pada 2020, kemudian tumbuh 7,2 persen pada 2021.
Perdagangan yang timpang itu dipicu perbedaan pengendalian pandemi Covid-19 dan kebijakan vaksinasi.
Proyeksi perubahan seiring kinerja perekonomian global. Pada proyeksi sebelumnya, PDB dunia terkontraksi 4,8 persen pada 2020 dan tumbuh 4,9 persen pada 2021.
Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, tren dan proyeksi WTO menunjukkan pemulihan yang bersifat teknis. ”Kinerja perdagangan sepanjang 2020 di bawah kapasitas optimal (akibat pandemi Covid-19) sehingga memiliki ruang pertumbuhan besar pada 2021,” katanya, Minggu (4/4/2021).
Publikasi terbaru WTO juga menekankan proyeksi tersebut bersifat jangka pendek. Gelombang baru penularan Covid-19, ketimpangan antarkawasan, perdagangan jasa yang belum pulih, serta perbedaan lini masa kebijakan vaksinasi -khususnya di negara-negara miskin-, masih mengancam keberlanjutan kinerja perdagangan.
Oleh sebab itu, ada dua skenario alternatif terkait kinerja perekonomian dan perdagangan dunia pada 2021. Apabila terdapat akselerasi produksi dan diseminasi vaksinasi serta pelonggaran karantina, ada tambahan sekitar 1 persen poin pada pertumbuhan PDB dan 2,5 persen poin pada pertumbuhan volume perdagangan barang. Sebaliknya, jika produksi tidak mencukupi permintaan vaksinasi dan belum efektif pada varian baru Covid-19, pertumbuhan PDB bisa terpangkas 1 persen poin dan pertumbuhan perdagangan dunia turun 2 persen poin.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, selama masih ada negara dan penduduk dalam jumlah besar yang sulit mengakses vaksin, pemulihan kesehatan dan ekonomi dunia akan tertahan.
”Produksi vaksin membutuhkan bahan dari beragam negara. Sebagai contoh, salah satu vaksin Covid-19 membutuhkan 280 komponen dari 19 negara berbeda. Pembatasan perdagangan akan menyulitkan peningkatan produksi. Oleh sebab itu, WTO akan menjaga arus perdagangan selama krisis,” ujarnya melalui siaran pers.
Selama masih ada negara dan penduduk dalam jumlah besar yang sulit mengakses vaksin, pemulihan kesehatan dan ekonomi dunia akan tertahan.
Ketimpangan
Fithra menyoroti pertumbuhan perdagangan yang diproyeksi melambat dari 8 persen pada 2021 menjadi 4 persen pada 2022.
Menurut dia, ketimpangan perdagangan antarnegara memengaruhi perlambatan itu. Di kawasan timur, aktivitas perdagangan dan perekonomian China telah melesat. Di kawasan barat, Amerika Serikat serta negara-negara maju di Eropa juga mulai pulih.
Berdasarkan proyeksi indeks volume ekspor dan impor 2021-2022, menurut WTO, ada perbedaan antara kawasan yang pertumbuhan perdagangannya tergolong lebih cepat dan lebih lambat. Di sisi impor, Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Timur-Tengah cenderung stagnan dibandingkan dengan kawasan lain. Adapun dari sisi ekspor, Asia menjadi juara dalam memasok barang ke pasar global.
Fithra berpendapat, Indonesia bisa memanfaatkan peluang itu. Hal itu berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan, nilai ekspor Indonesia pada Januari-Februari 2021 tumbuh 10,35 persen secara tahunan. Adapun nilai impornya pada periode yang sama tumbuh 3,01 persen. Pada Januari-Februari 2021, neraca perdagangan Indonesia surplus 3,964 miliar dollar AS.
Agar kinerja perdagangan terjaga, Indonesia mesti memanfaatkan peluang relokasi industri sejumlah negara, seperti AS dan Jepang.
Meski demikian, Fithra mengingatkan, daya tahan merupakan faktor yang dicermati negara-negara tersebut. Hal lain yang juga dicermati adalah penanganan pandemi Covid-19 dan keberjalanan vaksinasi. Indonesia juga perlu menjaga partisipasinya dalam rantai produksi industri di China.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menyatakan, pengendalian pandemi Covid-19 merupakan penentu kinerja produksi manufaktur, khususnya di sektor industri padat karya.
Pengendalian pandemi Covid-19 merupakan penentu kinerja produksi manufaktur.
”Selain itu, agar dapat memanfaatkan peluang permintaan pasar global terhadap permesinan, elektronik, peralatan kantor, dan produk kesehatan, Indonesia mesti mampu memproduksi secara efisien dan mampu memenuhi standar global. Hal ini merupakan faktor intrinsik industrialisasi nasional,” kata Shinta. (JUD)