Alat Tangkap Cantrang Dilarang, Siapkan Transisi
Kebijakan pemerintah melarang kembali alat tangkap cantrang perlu dikawal serius serta melalui proses transisi peralihan alat tangkap.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana melarang penggunaan alat tangkap cantrang. Regulasi yang sedang disusun perihal larangan tersebut hendaknya mengantisipasi potensi konflik yang akan muncul di antara nelayan.
Selain itu, larangan penggunaan cantrang juga mesti diiringi solusi penggunaan alat tangkap ikan lain.
Larangan alat tangkap cantrang, dogol, dan sejenisnya tertuang di Rancangan (draf) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas, serta Penataan Andon Penangkapan Ikan. Draf PermenKP itu merupakan salah satu aturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Pasal 7 rancangan PermenKP menyebutkan, alat penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak sumber daya ikan dapat mengancam kepunahan biota, mengakibatkan kehancuran habitat, dan/atau membahayakan keselamatan pengguna. Alat penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan dilarang dioperasikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan dan laut lepas.
Jenis alat penangkapan ikan yang tergolong mengganggu dan merusak sumber daya, antara lain, jaring tarik, seperti dogol, cantrang, pair seine, dan lampara dasar. Selain itu, enam jenis jaring hela, seperti pukat hela dasar berpalang, pukat hela dasar udang, pukat ikan, pukat hela pertengahan dua kapal, pukat hela kembar berpapan, dan pukat hela dasar dua kapal.
Jenis alat penangkapan ikan yang tergolong mengganggu dan merusak sumber daya, antara lain, jaring tarik, seperti dogol, cantrang, pair seine, dan lampara dasar.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Nelayan Indonesia (ANNI) Riyono menyatakan, penentuan alat tangkap yang dianggap merusak lingkungan sejak dulu selalu menuai pro-kontra masyarakat. Pelarangan cantrang dinilai mengulang ketentuan pada 2015 yang menuai perdebatan.
Baca juga: Cabut Legalisasi Cantrang, Pemerintah Siapkan Bantuan Alat
Riyono menilai, cantrang sudah dipakai nelayan secara turun-temurun dan tergolong ramah lingkungan. Pihaknya telah mengusulkan perbaikan dan pengendalian operasional ketimbang pelarangan cantrang, di antaranya pengaturan ulang spesifikasi cantrang, seperti ukuran mata jaring yang diperbesar menjadi di atas 2 milimeter (mm). Ia mengakui, beberapa nelayan cantrang masih tidak tertib, misalnya menggunakan mata jaring kurang dari 2 mm sehingga ikan-ikan kecil terangkut.
”Pemerintah seharusnya lebih fokus pada upaya penyelesaian masalah cantrang secara komperehensif. Nelayan cantrang meminta agar (penggunaan) cantrang jangan dilarang, tetapi diatur dan dikendalikan,” katanya, Minggu (4/4/2021).
Pada 2015, pemerintah melarang penggunaan cantrang. Kebijakan itu menuai penolakan sejumlah nelayan cantrang dan berujung demo. Larangan itu ditegaskan dalam Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.
Pada 2020, pemerintah kembali melegalkan cantrang. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI dan Laut Lepas, November 2020.
Proses transisi
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik menyampaikan, pelarangan cantrang merupakan momentum menyelamatkan ekosistem laut dan perikanan di tengah kondisi produksi perikanan tangkap dunia yang terus merosot. Namun, pelarangan cantrang harus diikuti proses transisi ke alat tangkap yang ramah lingkungan.
Baca juga : Nelayan Natuna Resah Belasan Kapal Cantrang Pati Kembali Beroperasi di Serasan
Ia menambahkan, pemerintah perlu bercermin pada kebijakan pelarangan cantrang di masa lalu yang belum optimal diikuti proses transisi peralihan cantrang ke alat tangkap yang ramah lingkungan.
”Kuncinya di proses transisi. Nelayan cantrang tetap harus didampingi, difasilitasi, dan insentif pembiayaan, serta diberi pelatihan dan akses pasar untuk memacu proses peralihan (alat tangkap) sehingga nelayan tetap terlindungi,” katanya.
Pelarangan cantrang harus diikuti proses transisi ke alat tangkap yang ramah lingkungan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyebutkan, tata kelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab sudah jadi kebutuhan dan mulai dilakukan banyak negara, termasuk Thailand, Filipina, dan Vietnam. Langkah Pemerintah Indonesia untuk menghentikan cantrang dinilai tepat, tetapi perlu diimbangi solusi bagi nelayan untuk beralih alat tangkap.
Baca juga : Nelayan Tradisional Kepulauan Riau Desak Pemerintah Tunda Izin Operasi Kapal Cantrang
Pemerintah perlu membuat peta jalan peralihan alat tangkap cantrang disertai target penggantian alat tangkap cantrang. ”Harus ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah bersama pemilik cantrang untuk beralih alat tangkap. Solusi perlu disiapkan buat (penggantian) cantrang. Jangan sampai cantrang justru menjadi alat politik,” katanya. (LKT)