Masker impor beredar di pasaran tidak melalui jalur yang semestinya. Pengimpor dan distributor memangkas proses yang seharusnya berjalan di Kementerian Kesehatan.
Oleh
Insan Alfajri, Dhanang David Aritonang, Irene Sarwindaningrum, Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
Puluhan masker dari berbagai merek dijual di pasaran tanpa izin edar dari Kementerian Kesehatan. Lantaran labelnya untuk keperluan kesehatan, masker-masker itu seharusnya masuk kategori sebagai alat kesehatan. Karena itu, proses impor dan pendistribusiannya seharusnya melalui prosedur untuk alat-alat kesehatan. Sayangnya, hal itu tidak terjadi, puluhan masker itu diimpor dan diedarkan dengan memotong jalur yang semestinya.
Pemotong pendaftaran izin edar itu meliputi pengisian dokumen perusahaan, pencantuman sertifikat produksi, evaluasi dari pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Adapun biaya pengajuan izin edar baru pada masker untuk tenaga kesehatan Rp 3 juta. Selama pandemi, Kemenkes memudahkan layanan ini yang biasanya memakan waktu sepekan atau lebih kini dapat sehari saja selama datanya lengkap di regalkes.kemkes.go.id.
Namun, kemudahan prosedur ini tidak dimanfaatkan sebagian importir. ”Pada masker impor, seharusnya importir membawa data pengujian masker di negara asal. Jika berkasnya tidak lengkap, kami tidak akan setujui masuk,” kata Direktur Penilaian Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Kemenkes I Gede Made Wirabrata, Kamis (18/3/2021).
Prinsipnya, jika mau mengikuti aturan yang seharusnya berlaku, proses izin edar dapat dipercepat. Bahkan, Kemenkes menyiapkan pegawainya memberi layanan pengajuan izin edar di hari libur. Mekanisme ini, kata Wira, penting untuk memastikan produk alat kesehatan aman dipakai konsumen. Namun, puluhan masker yang ditemukan Kompas di pasaran itu tidak melalui proses ini.
Pemotongan jalur ini mengabaikan ketentuan Pasal 196 dan 197 Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di Pasal 196, setiap orang dilarang memproduksi atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutunya. Adapun di Pasal 197, setiap orang dilarang memproduksi atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar.
Direktur Utama PT Mandiri Nugraha Ajitunggal Hardi Solaiman mengakui ada pemotongan jalur impor di era pandemi. Ini karena situasi darurat kesehatan yang ditetapkan pemerintah. ”Aturannya memang memungkinkan kami melakukan impor dengan menggunakan suket (surat keterangan atau rekomendasi BNPB),” kata Hardi.
Perusahaan ini pada awal pandemi pernah mendapatkan rekomendasi impor dari BNPB. Namun belakangan, menurut Hardi, proses impor masker menggunakan mekanisme seperti biasa seperti saat sebelum pandemi.
Sementara itu, sebagian pelaku usaha alat kesehatan masih mau mengikuti prosedur yang semestinya. Kepala Bidang 1 Promosi Produk Dalam Negeri Aspaki Erwin Hermanto menyatakan, kualitas produk harus dikedepankan. Bahkan, untuk memastikan kualitas masker produksi mereka, sebagian produsen mengujikan produknya ke lembaga penguji di luar negeri. Semua ini membutuhkan biaya dan memakan waktu.
Mengutip Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia, produsen dalam negeri bisa memproduksi 630.000 lembar masker respirator tipe KN95 dan N95 per 2020. Untuk masker medis, produsen dalam negeri mampu memproduksi 488 juta lembar masker per bulan.
Produksi ini jauh melampaui kebutuhan nasional. Dalam rentang waktu Juli-Desember 2020, Indonesia membutuhkan 129 juta lembar. Pada saat yang sama, industri dalam negeri mampu memproduksi masker 1,3 miliar lembar. ”Produksi di dalam negeri sudah melebihi kebutuhan nasional sejak Juli 2020,” kata Erwin.
Namun, lantaran status darurat kesehatan, pengimpor dan distributor alat kesehatan mengabaikan ketentuan UU No 36/2009 tentang Kesehatan. Pengabaian ini membuka peluang beredarnya masker tidak berkualitas ke pasar bebas, termasuk ke tenaga kesehatan.