Keberpihakan terhadap usaha garam rakyat perlu dibuktikan tidak hanya untuk menyelamatkan nasib puluhan ribu petambak dan keluarganya, tetapi sekaligus memastikan masa depan produksi garam nasional di masa depan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Petani memanen garam di lahan yang dilindungi plastik di Desa Bungko Lor, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (5/8/2019). Teknologi tunnel dengan plastik dan geomembran itu diklaim dapat meningkatkan kualitas garam dengan NaCl hingga 97 persen. Selama ini, kadar NaCl sebagian besar garam rakyat di Cirebon jauh di bawah 94 persen.
Kegundahan menghantui petambak garam rakyat. Menjelang musim produksi garam pada pertengahan tahun ini, stok garam sisa panen tahun lalu masih menumpuk. Penumpukan tersebar hampir di seluruh sentra produksi garam nasional.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, stok garam per tanggal 20 Maret 2021 masih mencapai 701.097 ton. Sementara 24 gudang garam nasional untuk penyimpanan garam rakyat tidak berperan optimal karena ongkos angkut ke gudang membebani petambak dan harga serapan garam yang rendah.
Stok garam yang melimpah karena belum terserap pasar dan harganya yang anjlok hingga Rp 300-Rp 400 per kilogram (kg), di bawah rata-rata ongkos produksi, telah memukul semangat petambak garam untuk berproduksi. Nasib petambak semakin rentan dengan kebijakan pemerintah untuk terus menambah impor garam.
Tahun 2021, impor garam direncanakan sebanyak 3,07 juta ton atau meningkat dibandingkan dengan kuota impor garam tahun lalu yang 2,9 juta ton. Alasan kenaikan impor antara lain karena kebutuhan bahan baku garam untuk industri terus meningkat dan hingga kini dinilai belum bisa dipenuhi oleh garam rakyat.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memperkirakan produksi garam rakyat tahun ini mencapai 2,1 juta ton, sementara kebutuhan bahan baku industri mencapai 4,67 juta ton.
Akan tetapi, banyak industri yang disinyalir tidak hanya mengimpor garam sebagai bahan baku, tetapi juga menjual garam impor ke pasar konsumsi. Akibatnya, pasar banjir garam dan petambak garam merugi karena hasil panennya tak terserap. Situasi itu juga merangsang mereka untuk mengoptimalkan ladangnya. Bagai benang kusut, masalah tata niaga garam nyaris berulang setiap tahun.
Komoditas garam merupakan hasil usaha rakyat yang digarap turun-temurun. Sampai saat ini, usaha tambak garam melibatkan sedikitnya 20.000 petambak. Namun, selama puluhan tahun, pusaran masalah garam lebih kurang sama, yakni produksi kurang banyak, kualitas belum optimal, dan harga jual yang kalah kompetitif jika dibandingkan dengan garam impor.
Produksinya juga sangat bergantung pada situasi iklim. Dari sembilan kabupaten/kota yang menjadi sentra produksi garam rakyat, mayoritas tambak berada di wilayah pantai dengan kelembaban dan curah hujan tinggi. Sementara itu, lokasi yang lebih ideal untuk produksi garam, yakni memiliki curah hujan rendah, kemarau panjang, dan tingkat kelembaban rendah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sebagian Nusa Tenggara Barat yang digadang-gadang menjadi sentra produksi garam industri, masih belum digarap secara optimal. Bahkan, produksi garam yang dihasilkan Kabupaten Sabu Raijua, salah satu sentra produksi garam di NTT, kini menumpuk akibat tidak ada pembeli.
Indonesia hingga kini belum memiliki strategi tepat untuk meningkatkan produksi serta mengatur tata niaga garam di sisi hilir. Padahal, tren kebutuhan garam ke depan diperkirakan terus meningkat, baik garam industri maupun konsumsi. Peluang ini akan menguap jika krisis garam rakyat terus berlanjut.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Ladang garam prisma milik Arifin Jami’an dilihat dari udara di Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Jumat (3/7/2020). Pengolahan garam dengan metode rumah prisma tersebut memungkinkan Arifin panen sepanjang tahun.
Awal Oktober 2020, dalam rapat terbatas secara virtual tentang percepatan penyerapan garam rakyat, pemerintah menyatakan tengah menyiapkan infrastruktur untuk meningkatkan produksi sekaligus kualitas garam rakyat agar lebih mudah diserap, terutama oleh industri.
Presiden Joko Widodo meminta rantai pasok garam rakyat dibenahi secara besar-besaran dari hulu hingga hilir (Kompas, 6/10/2020). Amanat ini perlu segera ditindaklanjuti dengan langkah tepat meningkatkan kuantitas dan kualitas serta daya saing produksi garam nasional.
Kementerian Perindustrian menargetkan penyerapan garam rakyat oleh sektor industri tahun ini sebesar 1,5 juta ton atau meningkat dibandingkan dengan dua tahun terakhir yang rata-rata 1 juta ton per tahun. Pelaku industri dan kelompok petambak garam dalam dua tahun terakhir telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) penyerapan garam rakyat untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.
Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menyatakan akan menyerap garam rakyat dengan kadar NaCl minimal 90 persen atau naik 13,8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Komitmen serupa disampaikan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi). Dari sekitar 743.000 ton kebutuhan bahan baku garam industri makanan dan minuman, Gapmmi berjanji menyerap garam rakyat sekitar 131.000 ton.
Keberpihakan terhadap usaha garam rakyat perlu dibuktikan tidak hanya untuk menyelamatkan nasib puluhan ribu petambak dan keluarganya, tetapi juga memastikan masa depan produksi garam nasional yang bergantung pada rakyat. Jangan biarkan elegi garam terus berulang.