Dua Ramadhan Tersulit bagi Grosir Pakaian di Tanah Abang
Berbeda dari tahun lalu, Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tak ditutup jelang Ramadhan 2021. Namun, sebagian grosir pakaian tetap mengeluhkan sepinya pembeli.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bagi sejumlah grosir di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Ramadhan kali ini masih terasa sulit. Tidak ada kenaikan permintaan secara signifikan dari pedagang eceran. Ini terjadi karena pandemi meninggalkan efek berantai dan memukul penjualan mereka.
Pada Jumat (2/4/2021) siang, belum terlihat kepadatan pengunjung di Blok B, Blok A, dan Pasar Metro Tanah Abang. Tak ada antrean orang di lorong pertokoan. Pengunjung lebih banyak mendatangi toko eceran. Sementara toko grosir yang tak melayani penjualan eceran relatif sepi.
Menurut Erin (27), karyawan toko grosir pakaian Mizde D’Style di Pasar Metro Tanah Abang, jumlah pengunjung Pasar Tanah Abang menurun tajam. ”Biasanya, dalam rentang sebulan jelang puasa, di depan Blok A itu macet banget,” ujarnya.
Sebagian pelanggan dari berbagai daerah, lanjutnya, memilih tak berangkat ke Jakarta karena banyaknya aturan untuk naik pesawat. Mereka memesan secara daring, tetapi jumlahnya tak sebanyak biasa. ”Ini tahun-tahun sulit. Ramadhan tahun lalu Tanah Abang ditutup. Sekarang meski sudah buka, omzet masih belum normal,” tambahnya.
Biasanya, menjelang Ramadhan di masa sebelum wabah, toko Mizde D’Style bisa beromzet Rp 100 juta-Rp 200 juta per hari. Kini, omzetnya sekitar Rp 50 juta saja.
Penjaga toko grosir pakaian di Blok B, Venus (35), menuturkan, berjualan kali ini sekadar untuk mempertahankan usaha saja. Dia memaksimalkan penjualan daring karena menyadari tak banyak pembeli datang langsung ke toko. Dari biasanya menjual barang kodian, dia kini mulai menjual per satuan melalui platform e-dagang. ”Siapa pun beli kami jual sekarang. Tidak ada lagi minimal pemesanan,” katanya.
Menurut Venus, biasanya penjualan sudah merangkak naik dua bulan menjelang Ramadhan. Saat itu, pedagang eceran dari berbagai daerah mulai memesan barang guna mengantisipasi keterlambatan pengiriman. Kini, pedagang eceran di daerah masih mempunyai stok barang dari tahun lalu. ”Pokoknya dua tahun ini berat banget untuk kami,” keluhnya.
Masih di Blok B, pedagang semigrosir pakaian muslim, Taufik (37), berpendapat, larangan mudik Lebaran yang diberlakukan pemerintah turut menggerus penjualan. Sebelum wabah, ada langganannya yang memesan baju koko dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada keluarga di kampung. ”Kini, mereka enggak bisa mudik. Otomatis enggak pesan baju juga untuk dibagikan ke saudara di kampung,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menjelaskan, ada beberapa penyebab penjualan di grosir Tanah Abang belum pulih. Pertama, ada jeda antara program vaksinasi di pasar dan kembalinya kepercayaan konsumen untuk berbelanja langsung. Meskipun beberapa pedagang sudah divaksin, pengunjung hingga kurir logistik masih ada yang belum mendapat vaksin.
Selanjutnya, daya beli masyarakat masih lemah. Ini tergambar dari rendahnya inflasi. ”Bahkan, inflasi umum pada Maret ini hanya 0,08 persen. Di samping itu, kelas menengah masih menabung uang di bank dan berhemat karena pendapatan mereka turun,” jelasnya.
Menurut Bhima, pelarangan mudik Lebaran oleh pemerintah turut berpengaruh. Ini karena sebagian masyarakat memahami aturan ini sebagai pembatasan mobilitas.
”Efek berlanjutnya pembatasan sosial dan pelarangan mudik membuat pedagang pakaian menurunkan proyeksi penjualan selama Lebaran. Padahal, biasanya Pasar Tanah Abang sebagai pemasok produk untuk dijual kembali akan ramai jelang Ramadhan. Fenomena itu tidak terjadi tahun ini karena penjual di daerah akan menganggap Lebaran tahun 2021 sama dengan 2020, yakni masih sepi,” tuturnya.