Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan Jangan Persulit Korban PHK
Syarat dan kriteria mengakses program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dinilai masih diskriminatif dan menyulitkan pekerja korban pemutusan hubungan kerja. Aturan perlu direvisi agar tujuan melindungi pekerja lebih optimal.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menjanjikan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan sebagai perlindungan sosial bagi pekerja korban pemutusan hubungan kerja. Namun, syarat dan kriteria untuk mengakses program itu dinilai masih mempersulit dan mendiskriminasi pekerja rentan yang paling membutuhkan perlindungan.
Ketentuan syarat kepesertaan dan penyelenggaraan program dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) perlu direvisi agar lebih maksimal dalam melindungi pekerja dan mendorong perputaran roda ekonomi.
Dosen Hukum Ketenagakerjaan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, Rabu (31/3/2021), mengatakan, jika suatu program tunjangan pengangguran (unemployment benefit) semakin mudah diakses, program itu justru akan semakin bermanfaat.
Selain untuk melindungi pekerja, program tunjangan pengangguran juga sebenarnya bertujuan untuk mendorong perekonomian melalui kegiatan ekonomi masyarakat yang terjaga. Terlebih di tengah situasi krisis ekonomi dan meningkatnya kasus PHK seperti saat ini.
Sudut pandang bahwa JKP hanya untuk menguntungkan pekerja harus ditinggalkan karena berpotensi mendorong penyusunan kebijakan terjebak pada bias tertentu yang menyulitkan pekerja dan ujung-ujungnya mengganjal pergerakan ekonomi.
Misalnya, pandangan bahwa kalau program untuk pekerja terlalu gampang diakses, akan muncul potensi kecurangan (fraud). Atau, anggapan jika pekerja diberi tunjangan pengangguran, mereka akan malas kembali ke pasar kerja.
”Ini pemikiran yang usang. Dalam konteks lebih luas, semakin mudah diakses, program ini justru akan semakin menguntungkan negara dan perekonomian. Lagipula, pekerja sebenarnya lebih ingin mempertahankan pekerjaannya dibandingkan mengejar JKP. Maka, kenapa harus dipersulit?” katanya dalam diskusi daring yang diselenggarakan Trade Union Rights Centre.
Beberapa ketentuan yang dinilai menyulitkan pekerja, antara lain, batasan kepesertaan JKP yang mengecualikan pekerja informal. Padahal, sejak pandemi Covid-19, pekerja informal meningkat cukup drastis hingga kini mencakup 60,47 persen dari total angkatan kerja nasional.
Ada pula ketentuan yang mengecualikan pekerja kontrak (PKWT) yang kontraknya sudah jatuh tempo sebagai peserta JKP. Pekerja kontrak yang dapat mengklaim manfaat JKP adalah mereka yang terkena PHK sebelum kontraknya berakhir.
Padahal, pascaterbitnya Undang-Undang Cipta Kerja, jumlah pekerja PKWT diperkirakan akan semakin banyak. Pekerja kontrak juga lebih dibayangi ketidakpastian dibandingkan pekerja tetap. Mereka adalah pekerja yang rentan kehilangan nafkah dan akan lebih aktif berjibaku di pasar kerja.
”PKWT lebih butuh pelatihan peningkatan kapasitas dan akses informasi pasar kerja. Mereka selama ini susah mengakses bantuan, baik lewat Kartu Prakerja maupun program lainnya. Seharusnya, JKP bisa menjawab itu, tetapi ternyata juga dibatasi,” kata Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar.
Masa iur
Ketentuan lain yang mempersulit pekerja dalam mengakses manfaat adalah aturan bahwa peserta harus memiliki masa iur paling sedikit 12 bulan dan telah membayar iuran paling singkat enam bulan berturut-turut ke BP Jamsostek sebelum PHK terjadi.
Artinya, pekerja yang terkena PHK tahun ini tidak bisa mendapat JKP karena manfaat itu baru bisa dicairkan pada Februari 2022 setelah melewati masa iur 12 bulan. Pekerja juga tidak bisa menangguhkan pencairan klaim manfaat, karena ketika ia terkena PHK, iurannya otomatis terhenti.
Timboel juga menyoroti aturan bahwa peserta harus mengajukan klaim JKP paling lambat tiga bulan sejak terkena PHK. Ketentuan itu bisa bertentangan dengan proses penyelesaian sengketa perselisihan PHK yang biasanya membutuhkan waktu cukup lama.
”Bagaimana jika pekerja sudah terkena PHK dari Agustus, tetapi sengketa baru diputus pada Februari tahun berikutnya, dan hakim menetapkan bahwa yang bersangkutan di-PHK sejak Agustus? Ia tidak bisa mengajukan klaim karena sudah melewati batas tiga bulan. Ini jebakan lain yang semakin mempersulit pekerja mengakses bantuan,” kata Timboel.
Program JKP secara umum dinilai baik, apalagi mengingat masih sedikitnya negara di Asia Tenggara yang sudah memiliki program tunjangan pengangguran. Namun, pemerintah harus bersedia merevisi syarat dan ketentuan program yang masih diskriminatif dan mempersulit korban PHK.
Hal itu bisa dilakukan sejalan dengan keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, yang baru keluar pada 25 Maret 2021 lalu. ”Seharusnya, pekerja rentan dan miskin-lah yang harus diprioritaskan mendapat jaminan sosial ketenagakerjaan,” kata Timboel.
BP Jamsostek mencatat, selama satu tahun pandemi, kepesertaan BP Jamsostek menurun signifikan. Secara total, per Februari 2021, ada penurunan jumlah peserta sebanyak 18,93 persen atau 6,47 juta orang jika dibandingkan dengan Desember 2019 sebelum pandemi.
Pada 2019, total peserta aktif adalah 34,17 juta orang. Sementara pada Februari 2021, jumlah total peserta aktif turun menjadi 27,75 juta orang.
Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo mengatakan, penurunan kepesertaan itu akibat banyaknya peserta yang kehilangan pekerjaan selama pandemi dan memilih mencairkan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) untuk menambal biaya kebutuhan hidup.
”Kami mendapat target, tahun ini, peserta BP Jamsostek sudah harus mencapai 37 juta orang. Tugas kami dalam satu tahun ke depan ini adalah mengakselerasi jumlah peserta aktif sebanyak 10 juta orang,” kata Anggoro.
Adapun pemerintah menjanjikan JKP sebagai program perlindungan sosial bagi korban PHK. Anggoro mengatakan, ke depan, pekerja tidak perlu lagi terburu-buru mencairkan klaim tabungan JHT-nya karena sudah ada JKP yang akan menjadi bantalan sosial bagi korban PHK.
Dengan demikian, tabungan pensiun pekerja akan aman untuk jangka panjang. ”Saat ini, yang terjadi adalah begitu kehilangan pekerjaan, JHT langsung dicairkan. Akhirnya, saat pensiun, akumulasi (tabungannya) belum terlalu banyak karena sudah dicairkan duluan. Oleh karena itu, JKP menjadi penting,” kata Anggoro.