Investor bisa terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur melalui Indonesia Investment Authority. Ekosistem baru ini akan menggairahkan investasi di Tanah Air.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia usaha optimistis peluang investor domestik menjadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan infrastruktur semakin terbuka. Keyakinan ini muncul seiring kehadiran Indonesia Investment Authority atau Lembaga Pengelola Investasi milik Pemerintah Indonesia.
Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) digawangi lima orang anggota dewan direktur dan lima orang anggota dewan pengawas.
Ketua Komisi Tetap Kebijakan Strategis Infrastruktur Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Mohammed Ali Berawi mengatakan, INA akan menghadirkan babak baru bagi ekosistem investasi di Tanah Air. ”Kehadiran INA membuka peluang keterlibatan investor dalam negeri untuk proyek-proyek infrastruktur dengan fleksibilitas dalam berinvestasi, baik dalam bentuk dana atau aset, selama sesuai dengan standar investasi internasional,” ujarnya dalam diskusi virtual, Rabu (31/3/2021).
Kehadiran INA membuka peluang keterlibatan investor dalam negeri untuk proyek-proyek infrastruktur dengan fleksibilitas dalam berinvestasi.
Keyakinan Ali berlandaskan arahan Presiden Joko Widodo mengenai upaya melibatkan konten-konten lokal. Caranya, mengikutsertakan pengusaha dalam negeri, terutama usaha kecil dan menengah, dalam setiap proyek pembangunan. Arahan ini agar proyek pembangunan pemerintah berdampak simultan bagi dunia usaha dalam negeri.
Apabila ada proyek-proyek infrastruktur yang diberikan kepada investor asing, pemerintah dan INA harus dapat memastikan pembangunannya berkontribusi pada penciptaan nilai tambah dan mendorong industri nasional.
”Nilai tambah yang dimaksud adalah proyek dapat dibangun dengan efisien dan efektif; tercipta inovasi, transfer teknologi dan pengetahuan; serta bagaimana proyek tersebut dapat meningkatkan kolaborasi antarsektor usaha,” kata Ali.
Selain membuka peluang, INA juga memiliki sejumlah tantangan untuk meminimalisasi risiko kebocoran dan penyalahgunaan dana. Untuk itu, menurut Ali, pemerintah perlu membangun sistem pertanggungjawaban yang transparan dan hati-hati untuk INA.
Anggota Komisi XI DPR, Muhammad Misbakhun, mengatakan, kehadiran INA dapat memacu pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis akibat pandemi Covid-19. Akselerasi percepatan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dapat didorong melalui investasi dari berbagai pihak dan lembaga yang kelak akan dikelola INA.
”Untuk itu, INA perlu menerapkan tata kelola secara baik dalam rangka mencegah potensi yang dapat menghambat proses pemulihan maupun merugikan negara,” ujarnya.
Menurut dia, kehadiran Menteri Keuangan dan Menteri BUMN dalam struktur dewan pengawas INA harus menjadi jaminan agar tidak ada kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan bisnis. Perwakilan pemerintah harus memperhatikan aspek hukum atau legal secara detail karena ada aturan yang melarang aset negara dijadikan proyek investasi dengan mitra investor.
”INA juga harus benar-benar memahami proses bisnis kemitraan dan akuisisi saham perusahaan sebagai calon investor sehingga diperlukan perencanaan, pemetaan, dan penerapan tata kelola yang baik,” katanya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi, modal LPI mencapai Rp 75 triliun pada akhir 2021.
Penghambat
Dihubungi terpisah, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Teuku Riefky berpendapat, biaya logistik yang tinggi dan regulasi yang tumpang-tindih bisa jadi faktor utama yang menghambat investasi nasional.
Kehadiran INA serta penerbitan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja belum dapat memuluskan jalan investor asing dan domestik untuk berinvestasi selama efisiensi biaya logistik dan sinkronisasi regulasi pemerintah pusat dan daerah belum tercipta.
”Butuh kebijakan turunan di level daerah karena sejauh ini memang ada yang tidak sinkron antara kebijakan pusat dan daerah. Pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi ada delapan paket kebijakan, tetapi sejauh ini belum maksimal dalam menarik investasi,” ujarnya.
Biaya logistik yang tinggi dan regulasi yang tumpang-tindih bisa jadi faktor utama yang menghambat investasi nasional.
Selain itu, biaya tenaga kerja yang relatif tinggi juga menjadi faktor lain yang kerap jadi penghambat investasi asing ke Indonesia. Kondisi ini membuat aspek insentif investasi menjadi penentu dalam meningkatkan daya saing investasi nasional.
”Kepastian insentif investasi bukan hanya untuk mengundang investor baru, tetapi juga untuk memberikan perlakuan yang lebih baik bagi investor lama, baik asing maupun lokal yang sudah menanamkan investasinya,” kata Riefky.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal, investasi ke Indonesia pada 2020 sebesar Rp 826,3 triliun. (DIM)