Kualitas kredit yang ditandai dengan rasio kredit macet atau NPL perlu dimitigasi. Kebijakan regulator diperlukan agar pemulihan ekonomi tak terhambat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 membuat ruang ekspansi kredit perbankan menjadi terbatas karena risiko kredit meningkat. Perlu kebijakan stimulus lanjutan dari regulator untuk mengantisipasi segala risiko yang mengintai perbankan.
Data Bank Indonesia menunjukkan, kredit perbankan tumbuh minus 2,3 persen secara tahunan, per Februari 2021. Kontraksi pertumbuhan kredit lebih dalam dibandingkan pada Januari 2021 yang tumbuh minus 2,1 persen secara tahunan.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, sektor perbankan membutuhkan reformasi kebijakan susulan untuk menghindari kredit macet (NPL) membengkak pada 2023. Sebab, kebijakan restrukturisasi kredit perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya berlaku hingga 31 Maret 2022.
”Kalau tidak ada kebijakan susulan, yang terjadi adalah tiba-tiba NPL pada 2023 bisa melonjak mencapai dua angka mengingat indikator LAR sudah mencapai 23 persen,” kata Aviliani dalam webinar, Selasa (30/3/2021).
Sektor perbankan membutuhkan reformasi kebijakan susulan untuk menghindari kredit macet (NPL) membengkak pada 2023.
LAR menunjukkan risiko atas kredit yang disalurkan perbankan.
Jika risiko kenaikan rasio NPL perbankan nasional tidak dimitigasi, proses pemulihan ekonomi akan terganggu. Perekonomian nasional yang seharusnya mulai membaik bisa kembali turun karena peringkat investasi Indonesia akan otomatis turun jika risiko perbankan nasional meningkat.
Kebijakan penyelamatan bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga harus permanen. Menurut Aviliani, kebijakan ini perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Sektor Keuangan yang tengah digodok pemerintah.
Sejak pertengahan tahun lalu, LPS bisa menyelamatkan bank-bank sakit selama pandemi Covid-19. Hal ini diatur dalam Peraturan LPS Nomor 3 Tahun 2020, sebagai turunan Peraturan Pemerintah No 33/2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan.
”Penyelamatan bank sakit perlu dilakukan LPS sebelum bank tersebut menjadi bank gagal dan berdampak sistemik dalam sektor keuangan. Adapun, saat ini, kewenangan penyelamatan bank sakit oleh LPS bersifat temporer hanya saat pandemi Covid-19,” ujarnya.
Sebelum pandemi Covid-19, LPS baru akan hadir ketika ada bank yang dilikuidasi.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menambahkan, di tengah pandemi, risiko usaha meningkat drastis dibandingkan dengan situasi normal. Artinya, risiko kredit menjadi tinggi dan membuat kredit yang sudah disalurkan perbankan terancam macet.
”Bank memang tidak akan menggelontorkan kredit karena risiko yang besar. Di sisi lain, dunia usaha—yang sekarang terbatasi pandemi—juga tidak membutuhkan kredit atau pembiayaan,” kata Piter.
Di tengah pandemi, risiko usaha meningkat drastis dibandingkan dengan situasi normal.
Dia menilai, upaya pemerintah dan regulator menerbitkan beragam stimulus belum akan berdampak banyak. Stimulus dan relaksasi hanya mampu mengerem kontraksi kredit dalam waktu dekat, belum akan mendorong pertumbuhan kredit hingga positif.
”Kredit perbankan baru akan bergerak ketika status pandemi berakhir dan dunia usaha kembali normal. Singkatnya, selama pandemi masih berlangsung, kredit bank belum akan naik signifikan,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga telah menyelesaikan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Di dalam RUU tersebut, Menteri Keuangan terlibat dalam penunjukan Dewan Pengawas Bank Indonesia dan Dewan Pengawas Otoritas Jasa Keuangan.
Piter menilai, sebaiknya Badan Supervisi untuk BI dan OJK tetap berada di bawah DPR dan sejajar dengan pemerintah. Tujuannya, menghindari kesan dan praktik intervensi pemerintah terhadap independensi kedua lembaga ini.
”Segala kesan dan upaya intervensi pemerintah terhadap independensi lembaga keuangan harus diminimalkan karena independensi BI dan OJK akan menyangkut kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri,” ujarnya.
Saat ini sudah ada lembaga yang mengawasi BI, yakni Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI). Namun, sejauh ini, belum ada lembaga pengawas yang bertugas mengawasi OJK.
Segala kesan dan upaya intervensi pemerintah terhadap independensi lembaga keuangan harus diminimalkan karena independensi BI dan OJK akan menyangkut kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menilai, RUU PPSK tidak dibutuhkan untuk mengatasi masalah sektor keuangan selama pandemi Covid-19. Menurut dia, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seharusnya mampu menyelesaikan masalah sektor keuangan saat pandemi Covid-19. (DIM)