Ekonomi Digital di Kota-kota Nonmetropolitan Bakal Makin Melesat
Perkembangan ekonomi digital diprediksi melesat di kota-kota nonmetropolitan dalam 5 tahun ke depan. Namun, investasi di sektor itu masih menghadapi tantangan dalam infrastruktur dan jejaring logistik.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi digital diprediksi akan semakin masif di kota-kota nonmetropolitan. Gelombang pertumbuhan usaha rintisan dan investasi berikutnya akan ditopang oleh kota-kota lapis kedua atau second-tier dan lapis ketiga atau third-tier di luar Jawa.
Demikian laporan penelitian bertajuk ”Unlocking The Next Wave Of Digital Growth: Beyond Metropolitan Indonesia” yang diluncurkan perusahaan modal ventura Alpha JWC Ventures bekerja sama dengan perusahaan konsultasi global Kearney, Rabu (31/3/2021). Pengelompokan kota itu berdasarkan parameter pengeluaran per kapita, ukuran populasi, penetrasi internet, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) provinsi, dan kepadatan populasi.
Dari 514 kota, sebanyak 15 kota dikategorikan sebagai metropolitan atau lapis pertama, antara lain Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung, dan Surabaya. Sebanyak 76 kota tergolong kota lapis kedua, di antaranya Semarang, Makassar, dan Denpasar. Adapun 101 kota digolongkan lapis ketiga antara lain Magelang, Prabumulih, dan Bangli, serta 322 kota termasuk kategori kota lapis keempat, misalnya Jepara dan Jayapura.
President Director dan Partner Kearney Indonesia Shirley Santoso mengatakan, potensi pertumbuhan ekonomi digital sangat besar untuk kota-kota lapis kedua dan ketiga. Kota-kota tersebut tengah berkembang dalam pembangunan infrastruktur, digital, listrik, sejalan dengan upaya Pemerintah Indonesia dalam mendiversifikasi pembangunan infrastruktur dan pemerataan kegiatan ekonomi antarwilayah.
Saat ini, kontribusi Jabodetabek yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 24 persen terhadap PDB. Dampaknya, aktivitas pendanaan dan usaha rintisan berbasis digital cenderung berpusat di Jakarta. Sementara itu, kota-kota lapis kedua dan ketiga baru mulai mengadopsi kebiasaan digital yang dilakukan kota-kota lapis pertama pada lima tahun silam.
”Pandemi Covid-19 telah mempercepat adopsi digital dan menghasilkan inovasi lebih cepat dari sebelumnya. Adopsi digital meningkat lebih dari 100 persen selama pandemi Covid-19,” kata Shirley.
Dalam 5 tahun ke depan, pertumbuhan ekonomi di kota-kota lapis kedua dan ketiga diprediksi melesat seiring berkembangnya ekonomi digital. Kendati begitu, terdapat sejumlah tantangan, seperti jejaring logistik, infrastruktur, dan pendekatan berbasis kultur lokal.
Shirley menambahkan, ekonomi digital di kota-kota lapis kedua dan ketiga diprediksi tumbuh pesat, terutama di subsektor e-dagang, serta pembayaran dan pembiayaan digital. Pertumbuhan itu merupakan peluang investasi bagi usaha rintisan dan investor.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi digital di kota metropolitan menjadi lebih kompetitif sehingga ruang untuk berkembang menipis. ”Usaha rintisan mulai bergerak ke kota-kota di lapis kedua dan lapis ketiga,” katanya.
Dalam 5 tahun ke depan, pertumbuhan ekonomi di kota-kota lapis kedua dan ketiga diprediksi melesat seiring berkembangnya ekonomi digital.
Co-Founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengemukakan, ekonomi digital di kota-kota lapis kedua dan ketiga Indonesia berpeluang tumbuh lima kali lipat dalam 5 tahun ke depan. Pertumbuhan itu didukung sejumlah usaha rintisan yang memiliki spesialisasi di bidang e-dagang, serta peminjaman dan pembayaran digital.
Hal itu berpotensi mendorong tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan investasi (CAGR) sebesar 27-46 persen hingga 2025. Sejalan dengan perkembangan ekonomi digital, pertumbuhan kota-kota lapis kedua dan ketiga itu diprediksi akan melampaui kota-kota metropolitan, serta meningkatkan PDB nasional sebesar 3-5 persen, yakni sekitar 46 miliar-77 miliar dollar AS pada 2030.
”Berdasarkan observasi, kami memperkirakan dari sektor e-dagang dan pembiayaan akan muncul tiga usaha unicorn. Ini didukung oleh pertumbuhan kota-kota tersebut,” ujarnya.
Di sisi lain, Joe menilai solusi digital akan membawa perubahan positif dalam perkembangan bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, pelaku UMKM cenderung belum memanfaatkan teknologi digital dalam mengembangkan bisnis, serta cenderung menunggu tren konsumen dan penjual lain untuk menerapkan inovasi digital.