Masyarakat di kala pandemi Covid-19 ini menerapkan prinsip hidup ”lagom”. Hidup sederhana, seimbang, tidak kurang atau berlebih, secukupnya, dan pas. Atau dari kacamata orang Jawa, artinya adalah ”sak madya”.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Gelontoran stimulus untuk menggerakkan konsumsi rumah tangga ibarat memancing ikan. Pemerintah berusaha ”memancing” dengan ”umpan” yang menggiurkan untuk mendapatkan ”ikan”. ”Ikan” tersebut ada yang merespons dan ada yang tidak. Di balik itu, ada falsafah lagom yang dipegang erat masyarakat di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19.
Tahun ini, pemerintah ingin menggeliatkan ekonomi di sektor properti, otomotif, dan perbankan dengan memancing konsumsi kelas menengah atas. Kelas menengah atas disasar karena berpenghasilan rata-rata 10-50 dollar AS (sekitar Rp 140.000-Rp 700.000) per orang per hari versi Bank Dunia.
Kelas menengah ini berjumlah sekitar 52 juta orang atau 19 persen dari total penduduk. Dengan stimulus-stimulus yang diberikan, masyarakat kelas tersebut diharapkan turut mengungkit salah satu komponen pertumbuhan ekonomi, yaitu konsumsi rumah tangga, yang pada tahun lalu tumbuh minus 2,63 persen.
Pemerintah telah menggulirkan insentif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mendongkrak pertumbuhan industri otomotif sekaligus konsumsi kelas menengah atas dan penyaluran kredit perbankan. Insentif pertama berlaku bagi pembelian kendaraan baru di bawah 1.500 cc dan disusul berikutnya untuk 1.501-2.500 cc. Dengan insentif itu, harga mobil yang masuk kategori stimulus tersebut bisa turun puluhan juta rupiah.
Selain itu pemerintah juga akan menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan rumah tapak dan rumah susun baru pada Maret-Agustus 2021. Untuk rumah susun atau rumah tapak seharga paling tinggi Rp 2 miliar akan bebas PPN, sedangkan yang seharga di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar hanya hanya membayar 50 persen PPN.
Bahkan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan kebijakan lanjutan terkait stimulus itu sebagai bentuk bauran kebijakan. Melalui kebijakan otoritas moneter dan jasa keuangan, masyarakat dapat membeli kendaraan atau rumah dengan uang muka (DP) 0 persen. Sementara perbankan dapat lebih longgar membiayai permintaan kredit atas pembelian kendaraan atau rumah melalui mekanisme stimulus itu.
Dalam telekonferensi pers ”Pemberian Insentif Kendaraan Bermotor dan Perumahan”, awal Maret 2021, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, insentif di kedua sektor yang memiliki dampak pengganda yang besar itu akan menambahkan pertumbuhan sebesar 0,9-1 persen. Khusus sektor otomotif, Kementerian Perindustrian mencatat, pada pekan pertama Maret 2021, jumlah pemesanan kendaraan di bawah 1.500 cc yang mendapat insentif PPnBM meningkat sekitar 140 persen.
Melalui stimulus tersebut ditambah dengan gelontoran fiskal negara di sektor-sektor lain dan memulihnya sejumlah harga komoditas ekspor, perekonomian Indonesia akan membaik pada tahun ini. Dalam telekonferensi pers ”APBN Kita” pada 23 Maret 2021, Kementerian Keuangan menyebutkan, ekonomi RI pada triwulan I-2021 diperkirakan tumbuh minus 1 persen hingga 0,1 persen. Bahkan, pada triwulan II-2021, ekonomi diperkirakan bisa tumbuh 7 persen. Hal ini mengingat pada triwulan II-2020 pertumbuhannya minus 5,32 persen.
Hingga akhir tahun nanti, pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di kisaran 4,5-5,3 persen. Angka ini jauh lebih baik dibandingkan dengan perekonomian 2020 yang tumbuh minus 2,19 persen. Perkiraan pertumbuhan ekonomi RI pada tahun ini tersebut kurang lebih senapas dengan proyeksi Bank Dunia (4,4 persen), Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD (4,9 persen), dan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan atau UNCTAD (4,7 persen).
Stimulus tetaplah stimulus yang bersifat iming-iming atau pancingan. Masyarakat, terutama kelas menengah atas, memiliki pilihan untuk terpancing atau tidak terpancing dengan umpan tersebut. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 ini, masyarakat lebih memprioritaskan kebutuhan pokok dan menahan konsumsi untuk kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier.
Meminjam falsafah hidup orang Swedia, masyarakat di kala pandemi Covid-19 ini menerapkan prinsip hidup lagom. Hidup sederhana, seimbang, tidak kurang atau berlebih, secukupnya, dan pas. Atau dari kacamata orang Jawa, artinya adalah sak madya.
Stimulus tetaplah stimulus yang bersifat iming-iming atau pancingan.
Dalam bukunya Lagom: Not Too Little Not Too Much (2017), Lola Akinmade Akerström, seorang fotografer dan penulis perjalanan yang tinggal di Swedia, menyebutkan, kata lagom berasal dari tradisi gelas komunal (minum bersama menggunakan satu gelas secara bergantian) Viking, suku bangsa Skandinavia, antara abad ke-8 dan ke-11. Setiap anggota hanya menyesap sedikit dan memastikan agar seluruh anggota tim mendapatkan bagian secara adil, secukupnya, atau tidak kurang dan tidak lebih. Kondisi itu disebut sebagai laget om yang berarti ”di sekeliling tim”.
Istilah tersebut mewaris dan menjadi falsafah hidup orang Swedia. Mereka memanifestasikannya dalam berbagai segi kehidupan, mulai dari soal makanan, fashion, dekorasi rumah, kehidupan sosial, pekerjaan dan bisnis, keuangan, hingga ke hubungan dengan alam.
Stimulus pemerintah dan otoritas terkait merupakan langkah apik untuk mengungkit ekonomi, terlebih di sektor tertentu dan konsumsi rumah tangga. Namun, pandemi membuat masyarakat masih menahan konsumsi dan lebih memilih menabung.
Lembaga Penjamin Simpanan mencatat, jumlah rekening simpanan pada Januari 2021 tumbuh 16,4 persen dibandingkan dengan Januari 2020, yaitu dari 303.132.916 rekening menjadi 352.728.934 rekening. Adapun nilai simpanan masyarakat pada Januari 2021 naik 10 persen secara tahunan, dari Rp 6.035 triliun menjadi Rp 6.639 triliun.
Terlepas dari perbankan yang juga masih berhati-hati menyalurkan kredit dan tengah menyeimbangkan bisnisnya, masyarakat tetap menjadi penentu konsumsi. Stimulus telah diberikan, tetapi di balik stimulus itu ada lagom.