Upah Belum Layak, Profesi Jurnalis Bukan Prioritas Anak Muda
Banyaknya jurnalis yang belum mendapat upah layak membuat kalangan anak muda ragu berkecimpung di industri media. Upah layak sangat dibutuhkan untuk mendukung kerja-kerja profesional seorang jurnalis.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya jurnalis yang belum mendapat upah layak membuat kalangan anak muda ragu berkecimpung di industri media. Upah layak sangat dibutuhkan untuk mendukung kerja-kerja profesional seorang jurnalis.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta melakukan survei upah riil dan upah layak bagi jurnalis di Jakarta. Survei yang dilakukan dengan metode kuesioner daring pada Januari-Februari 2021 ini melibatkan lebih dari 100 responden. Hasilnya, 93,8 persen mengaku belum mendapatkan upah layak.
”Kami menetapkan kebutuhan upah layak bagi jurnalis Jakarta pada tahun ini sebesar Rp 8.366.220. Dengan catatan, ada 10 persen dana simpanan dari kebutuhan hidup per bulan,” kata Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta Taufiqurrohman dalam diskusi daring ”Upah Layak Jurnalis 2021” di Jakarta, Jumat (26/3/2021).
Penetapan upah layak jurnalis tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak. Di samping itu, upah layak juga disesuaikan dengan kebutuhan jurnalis di masa pandemi.
Selain itu, hasil survei juga menunjukkan ada 10 responden yang masih mendapatkan upah di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta. Seperti diketahui UMP DKI Jakarta pada 2021 adalah sebesar Rp 4.416.186.
Hal ini membuat Mitha Melanie Putri (21) enggan menjadikan profesi jurnalis sebagai prioritas. Ketua pers mahasiswa di salah satu universitas negeri di Padang, Sumatera Barat, ini lebih cenderung memilih pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya, yakni Teknik Pertambangan.
”Kalau membuat lima daftar profesi yang aku inginkan, jurnalis mungkin ada di urutan ketiga atau keempat,” katanya saat dihubungi di Padang, Sabtu (27/3/2021).
Namun, kalau memang ditakdirkan bekerja di perusahaan media, Mitha akan menuntut upah yang layak agar dirinya dapat bekerja secara profesional.
”Kalau saya bekerja di perusahaan media di Jakarta dan upah yang ditawarkan terlalu jauh dari standar, saya enggak mau. Kalau upah tidak mampu memenuhi kebutuhan, kan, jurnalis akan mencari sumber pendapatan lain. Dari situ pekerjaan bisa terganggu,” katanya.
Apalagi, Mitha kerap melihat seniornya yang bekerja sebagai wartawan media daring di Padang kewalahan saat mencari berita. Hal ini, menurut dia, harus diimbangi dengan jaminan kesejahteraan yang baik.
Aulia (17), siswa kelas XII SMA di Blora, Jawa Tengah, saat ini tengah bersiap masuk ke perguruan tinggi. Dari banyaknya program studi yang hendak dia pilih, program studi yang terkait langsung dengan dunia jurnalistik, seperti Ilmu Komunikasi, tidak pernah dia lirik.
”Enggak tertarik karena kerjanya juga melelahkan kayaknya. Apalagi kalau gajinya enggak layak,” ujarnya.
Afi (23), mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Jakarta, sudah lama bermimpi menjadi wartawan televisi. Mantan Finalis Abang None Jakarta Timur ini terus mencari informasi lowongan wartawan di perusahaan televisi swasta.
”Aku memang punya banyak teman wartawan. Mereka juga cerita suka dukanya, termasuk soal upah. Ya, kalau memang suka, pasti dijalani,” katanya.
Afi berharap suatu saat dapat diterima di perusahaan televisi yang memperjuangkan kesejahteraan wartawannya. Hal itu, menurut dia, dapat menjadi motivasi bagi wartawan yang memiliki tugas tidak ringan setiap harinya.
”Kalau lingkungan kerja enak, kan, semangat bakal terus terjaga,” katanya.
Pandemi Covid-19 juga mengakibatkan pemutusan hubungan kerja di kalangan pekerja media meningkat. Berdasarkan data AJI Jakarta, pada awal 2021 ada tiga perusahaan media memutuskan hubungan ketenagakerjaan dengan dalih efisiensi dan penghentian operasional. Ada juga satu perusahaan yang merumahkan sebagian karyawannya dengan konsekuensi pemotongan gaji hingga 50 persen.
Selama membuka posko pengaduan ketenagakerjaan pada Maret-Desember 2020, AJI Jakarta bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menerima setidaknya 150 pengaduan ketenagakerjaan di perusahaan media. Jenis pengaduan ketenagakerjaan yang diterima, antara lain, pemotongan upah hingga pemutusan hubungan kerja.
Mempengaruhi etika
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya memberi catatan serius mengenai survei upah jurnalis 2021 yang dilakukan AJI Jakarta. Menurut dia, ketidaklayakan upah berpotensi menumbuhkan sikap korupsi di kalangan wartawan.
”Orang tidak mendapatkan upah layak, siap apun, sementara tanggungannya banyak, maka kecenderungan untuk berbuat korupsi itu ada,” ujarnya.
Kondisi tersebut berimplikasi terhadap banyaknya pengaduan etik kepada Dewan Pers karena kualitas pemberitaan yang rendah. Padahal, Dewan Pers telah mengeluarkan aturan terkait Standar Perusahaan Pers.
Selain itu banyak juga kasus penyelewengan mengenai kerja jurnalistik. Menurut Agung, persoalan kesejahteraan di perusahaan juga dapat membuat jurnalis bekerja dengan tidak profesional.
”Ada jurnalis yang menerima ’amplop’ dari narasumber. Salah satu imbasnya adalah citra wartawan,” katanya.
Hal ini dapat menyebabkan generalisasi buruk wartawan di mata publik. Padahal tidak semua wartawan menerima pemberian lembaga atau individu. Masih ada jurnalis yang menjunjung tinggi independensi dan profesionalitas.